Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Di persimpangan Jalan
Keadaan ayah Amara sedikit membaik. Dokter menyarankan untuk pulang dan melanjutkan perawatan di rumah. Meskipun kondisi stroke yang dialaminya belum pulih sama sekali, dokter mengatakan bahwa ayah Amara sudah bisa dirawat di rumah.
"Ayah, kita pulang ya," ujar Amara dengan suara gemetar. Ia merasa lega karena ayahnya bisa pulang, namun kekhawatiran baru menyergapnya saat ia melihat tagihan pengobatan ayahnya di rumah sakit. Angka empat juta tertera dengan jelas di kertas tagihan itu.
Amara tertegun. Ia tak memiliki uang sebanyak itu. Pekerjaannya sebagai kasir di Kupu-kupu Klub sudah berhenti sejak ayahnya sakit. Ia hanya memiliki uang sedikit yang ditabung untuk menghadapi keadaan darurat.
"Mira...," panggil Amara, mencari adiknya. Ia ingin bertanya tentang uang yang dimintanya seminggu yang lalu untuk membeli buku cetak bahasa Inggris.
Mira yang sedang asyik bermain game di ponselnya menoleh dengan cemberut.
"Apa sih, Kak?" tanyanya dengan suara yang sinis.
"Kamu kan minta uang buat beli buku bahasa Inggris seminggu yang lalu. Uangnya masih ada kan?" tanya Amara, suaranya bergetar kecewa.
"Aku sudah pakai buat beli makan sama beli pulsa," jawab Mira dengan santai. "Lagian, itu kan uang kamu. Kenapa aku harus nanya ke kamu?"
Amara terdiam. Ia merasa kesal dengan sikap adiknya yang acuh tak acuh dengan keadaan ayah mereka. Ia mencoba menahan amarahnya, tak ingin bertengkar dengan Mira di hadapan ibunya.
"Amara... kamu kenapa sih? Kok diam saja?" tanya ibunya dengan prihatin.
"Tidak apa-apa, Ma. Amara hanya sedikit pusing," jawab Amara, mencoba menutupi perasaannya.
Ibu Amara menangguk dengan penuh keprihatinan. Ia tahu, anak perempuannya sedang mengalami kesulitan, namun ia tak tahu bagaimana cara .
Amara terdiam. Ia tak bisa menceritakan tentang kesulitan yang ia hadapi. Ia takut membuat ibunya khawatir.
"Tidak apa-apa, Ma. Amara baik-baik saja," kata Amara, mencoba menenangkan ibunya.
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia harus mencari solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Bu Ratna, pemilik Kupu-kupu Klub.
"Bu Ratna, saya Amara. Maaf mengganggu, Bu. Saya mau minta tolong," ujar Amara, suaranya sedikit gemetar.
"Ada apa, Amara? Ada masalah?" tanya Bu Ratna dengan nada ramah.
"Begini, Bu. Ayah saya baru saja keluar dari rumah sakit. Biaya pengobatannya lumayan besar, dan saya kekurangan uang," jelas Amara dengan suara terbata-bata.
Bu Ratna menangguk dengan penuh simpati. Ia tahu keadaan Amara yang selama ini bekerja di Kupu-kupu Klub untuk menghidupi keluarganya.
"Tenang saja, Amara. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membantu," ujar Bu Ratna, suaranya menenangkan. "Kamu bisa minjam uang ke aku. Nanti kamu kembalikan setelah kamu bekerja lagi."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Bu Ratna mau membantu di saat ia sedang kesulitan. Ia merasa lega dan berterima kasih pada Bu Ratna.
"Terima kasih, Bu Ratna. Saya sangat berterima kasih," kata Amara, suaranya bergetar harus.
"Tidak perlu berterima kasih, Amara," jawab Bu Ratna. "Kamu kembalikan setelah dua minggu ke depan, ya."
"Baik, Bu," jawab Amara.
Amara merasa sedikit lega. Ia akhirnya mendapatkan solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia berterima kasih pada Bu Ratna yang telah membantu di saat ia sedang kesulitan.
Amara menutup teleponnya. Ia berjalan menuju kamar ayahnya. Ia menatap ayahnya yang terbaring lemah di ranjang.
"Ayah, kita pulang ya," ujar Amara, suaranya bergetar harus. "Amara sudah mencari jalan keluarnya. Ayah tidak perlu khawatir lagi."
Ayah Amara menangguk lemah. Ia merasa lega karena Amara sudah mencari solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia mencintai anak perempuannya itu. Ia bangga memiliki anak perempuan yang begitu kuat dan menyayanginya.
"Amara...," bisik ayahnya lemah. "Ayah cinta kamu."
Amara mengangguk. Ia menatap ayahnya dengan mata yang berbinar-binar. Ia merasa bahagia karena masih memiliki ayahnya. Ia berjanji akan menjaganya dengan sepenuh hati.
Amara mengelus kening ayahnya dengan lembut. Ia merasa sedikit lega karena akhirnya mendapatkan solusi untuk menghadapi masalah ini. Ia bertekad akan mencoba untuk tetap kuat dan optimistis.
Amara berjalan menuju pintu kamar. Ia berniat untuk memberitahu ibunya bahwa ayahnya akan segera dipulangkan dan ia sudah mendapatkan solusi untuk menghadapi masalah ini.
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berharap bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ia berharap bahwa keluarganya akan bisa melewati masa sulit.
*****
Ayah Amara akhirnya diizinkan pulang. Meskipun kondisi kesehatannya belum pulih sepenuhnya, Amara merasa lega karena ia bisa menjaga ayahnya di rumah. Amara pun bertekad untuk kembali bekerja di Kupu-kupu Klub untuk membiayai kebutuhan keluarga dan melunasi hutangnya pada Bu Ratna.
Sore hari, Amara bersiap-siap untuk pergi bekerja. Ia mengenakan pakaian kerja yang sudah lama tak ia pakai. Ia merasa sedikit gelisah karena sudah lama tak bekerja di klub itu. Ia takut jika ada perubahan yang signifikan di klub itu.
Amara tiba di Kupu-kupu Klub sekitar pukul enam sore. Ia menatap klub itu dengan tatapan yang heran. Tampilan klub itu sudah berubah drastis. Dulu, klub itu berkonsep elegan dengan nuansa biru dan putih. Sekarang, klub itu berkonsep modern dengan nuansa hitam dan emas.
"Alber...," panggil Amara, mencari Alber, karyawan bencong yang merupakan teman dekatnya di klub itu.
Alber muncul dari balik meja bar dengan wajah yang berbinar-binar. Ia menyapa Amara dengan hangat.
"Amara! Kamu sudah balik?" ujar Alber, sambil memeluk Amara erat. "Lama nggak ketemu, Amara. Kamu kemana saja?"
"Aku ngurus Ayah yang sakit," jawab Amara. "Bagaimana kabar di sini?
"Oh, ya. Kasian, Ayahmu sakit," ujar Alber dengan nada simpati. "Tapi seneng kamu bisa balik kerja di sini."
"Eh, kamu nggak ngeliat ya perubahan di klub ini?" kata Alber, dengan ekspresi heran. "Klub ini udah dipermak total. Gimana? Keren kan?"
Amara mengangguk. Ia menatap sekitar klub yang sudah berubah total. Ia merasa kagum dengan perubahan itu. Ia tak pernah menyangka klub itu akan berubah sekeren ini.
"Siapa yang ngerubah klub ini?" tanya Amara, penasaran.
"Klub ini udah diganti pemilik, Amara," jawab Alber. "Pak Rehan udah nggak punya klub ini lagi. Sekarang pemiliknya adalah..."
Alber berhenti berbicara. Ia menoleh ke arah pintu masuk. Rini, manajer klub itu, sedang mendekati mereka.
"Alber, kumpulin semua karyawan di ruangan miting. Kita ada pengumuman penting," kata Rini dengan wajah serius.
Alber menangguk. Ia berjalan menuju sekelompok karyawan yang sedang berbincang-bincang di pojokan klub. Ia menyuruh mereka untuk berkumpul di ruangan miting.
Amara terkejut. Ia tak menyangka akan ada miting secepat ini. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan diberitahukan Rini kepada mereka.
Alber kembali ke tempat Amara.
"Amara, ikut ke ruangan miting, ya," ujar Alber. "Ada pengumuman penting."
Amara menangguk. Ia mengikuti Alber menuju ruangan miting.
Amara berjalan masuk ke dalam ruangan miting. Ia melihat semua karyawan sudah berkumpul di sana. Amara mencari Rini, namun Rini belum ada di ruangan itu.
"Alber, Rini mana?" tanya Amara. "Kenapa dia belum ada di sini?"
"Rini lagi ngobrol sama pemilik klub baru," jawab Alber. "Bentar lagi dia bakal masuk ke ruangan ini."
Amara terdiam. Ia menatap sekitar ruangan itu. Ia merasa sedikit gelisah. Ia tak tahu siapa pemilik klub baru itu.
Beberapa menit kemudian, Rini masuk ke ruangan miting. Ia berjalan menuju meja dan menatap semua karyawan yang berkumpul di sana.
"Halo, semua," sapa Rini. "Selamat datang di Kupu-kupu Klub yang baru."
"Eh, Rini, ini pemilik klub baru," ujar Rini, sambil menunjuk ke arah pintu masuk.
Amara menoleh ke arah pintu masuk. Ia terkejut. Ia melihat seorang pria berjas rapi sedang berjalan menuju ke arah mereka. Amara menutup mulutnya dengan tangannya.
Amara terkesiap. Ia mengenali pria itu. Pria yang pernah menyelamatkannya dan ayahnya di tengah hujan deras beberapa minggu yang lalu. Pria yang telah mencuri hatinya dengan kebaikannya. Pria yang bernama Radit.
"Radit?" gumam Amara, tak percaya. "Kenapa dia?"
Radit tersenyum dan mendekati Rini. "Halo, semua," sapa Radit dengan suara yang lembut. "Saya Radit. Saya pemilik baru Kupu-kupu Klub. Senang bertemu dengan kalian semua."
Karyawan lain menyapa Radit dengan hormat. Mereka tak menyadari bahwa Amara sedang mengalami kejutan besar.
Amara merasa terkejut dan bingung. Radit, pria yang telah menolongnya dan ayahnya, ternyata pemilik baru klub itu. Klub yang telah memberinya nafkah dan membuatnya terjebak dalam lingkaran kehidupan yang tak mudah.
Amara menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya, mengapa Radit membeli klub itu? Apakah ia tahu bahwa Amara bekerja di klub itu? Apakah ia masih mengingat pertemuan mereka yang tak terduga itu?
Amara merasa bingung dan sedikit takut. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia ingin menjelaskan pada Radit bahwa ia adalah karyawan di klub itu. Namun, ia takut akan reaksi Radit.
"Amara... kamu kenapa sih? Kok diam saja?" tanya Alber, yang sedang berbisik dekat dengan Amara. "Kamu nggak baik-baik aja?"
Amara mengeleng lemah. Ia masih terkejut dengan pertemuan yang tak terduga ini.
"Tidak apa-apa, Alber," jawab Amara, sambil mencoba menenangkan dirinya. "Aku cuma kaget aja ngeliat pemilik klub baru."
"Oh, iya. Radit nama pemilik klub baru," ujar Alber, menangguk. "Dia orangnya baik kok, Amara. Kamu nggak usah khawatir."
Amara menangguk. Ia masih merasa sedikit takut. Ia tak tahu bagaimana reaksi Radit jika ia tahu bahwa Amara adalah karyawan di klub itu.
Radit mulai menyampaikan kata-kata sambutan kepada para karyawan. Ia berbicara tentang visinya untuk mengembangkan Kupu-kupu Klub menjadi klub malam yang lebih baik dan profesional.
Amara menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia tak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan ketakutan dalam hatinya. Ia bertanya-tanya, apakah Radit akan merasa terkecewa jika ia tahu bahwa Amara bekerja di klub itu?
Amara merasa terjebak dalam situasi yang tak mudah. Ia ingin menceritakan segalanya pada Radit, namun ia takut akan reaksi Radit.
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia harus menemukan jalan keluar dari situasi ini. Ia harus berani menghadapi Radit dan menjelaskan segalanya padanya.