DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Ah, akhirnya..."
Bella menghela napas lega begitu duduk di kursi penumpang. Ia mengusap-usap hidungnya yang kemerahan, lalu segera meraih tisu dari dashboard untuk mengelap sisa ingus. Ia baru saja berhenti bersin-bersin.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Louis yang baru saja masuk ke dalam mobil.
"Ya, aku baik-baik saja. Itu hanya... ugh, bunga-bunga itu. Aku alergi."
Bella menjawab sambil berusaha membenarkan rambut ikalnya yang berantakan.
"Alergi bunga? Aku baru tahu ada orang yang bisa alergi bunga," ucap Louis.
Bella memutar matanya sambil memasang kembali kaca matanya. "Louis, seriusan? Kamu baru tahu?"
"Iya, aneh sekali," jawab Louis.
"Lain kali kita bisa pergi ke tempat yang lebih ramah untukku," kata Bella.
Louis hanya menghela napas pelan, matanya tetap fokus ke jalan. Tapi Bella bisa melihat dari sudut matanya bahwa Louis mencoba menahan senyum. Mungkin dia sebenarnya senang mengetahui sesuatu yang baru tentang istrinya, meskipun cara dia menunjukkannya tetap saja sama yaitu dingin dan nyaris tak berperasaan.
"Aku mungkin alergi bunga, tapi bukan berarti aku tidak suka bunga," ucap Bella.
"Kedengarannya aneh. Kamu alergi, tapi suka?"
"Yah, aku suka lihat mereka karena bunga itu indah, cuma aku tidak bisa terlalu dekat."
"Mungkin lain kali kita bisa cari taman kaktus," ucap Louis.
"Hahahhaa... tidak lucu, Louis!" kata Bella.
Louis menatap Bella sejenak, ia mengulurkan tangan dan melepaskan kaca mata dari wajah Bella. Bella tersentak, matanya langsung menyipit.
"Hei! Apa-apaan sih? Aku tidak bisa lihat apa-apa tanpa itu!"
"Kenapa kamu masih pakai ini? Kamu tidak tahu ada yang namanya softlens?" tanya Louis.
"Aku tahu, tapi aku tidak bisa pakai. Mataku jadi iritasi kalau pakai softlens."
Louis akhirnya menyerahkan kaca mata itu kembali pada Bella. Ia menatapnya sejenak, lalu menghela napas.
"Kalau begitu ya sudah, tapi kaca mata ini membuatmu kelihatan lebih tua," ucap Louis.
"Terima kasih atas pujiannya. Lagipula, itu bukan urusanmu," ketus Bella.
Louis tak membalas, matanya kini tertuju pada rambut Bella yang berantakan, ikal alami yang sudah teracak-acak oleh angin di kebun bunga tadi. Ia menyisir rambut Bella dengan pandangannya seolah menilai setiap helai.
"Kamu tidak mau coba merapikan rambutmu di salon?" tanya Louis.
"Kamu pikir aku tidak mau? Aku juga benci rambut ini, Louis. Tapi pergi ke salon itu mahal, dan aku belum ada uang untuk itu."
"Kalau kamu benar-benar mau, kita bisa cari salon sekarang," kata Louis.
"Kamu mau bayarin aku ke salon?" tanya Bella.
"Ya, supaya kamu berhenti mengeluh tentang rambutmu setiap hari."
Bella tersenyum kecil, merasa ada kehangatan samar di balik sikap dingin suaminya itu. "Mungkin aku akan pertimbangkan tawaranmu, tapi jangan harap aku akan berhenti mengeluh."
"Alister, belok ke salon yang ada di pusat kota," kata Louis.
Bella menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. "Louis, kita mau ke mana? Aku pikir kita langsung pulang."
"Ada sesuatu yang harus kita lakukan dulu."
Tidak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah salon mewah dengan jendela kaca besar dan lampu kristal menggantung di langit-langit. Bella memandang ke luar dengan tatapan bingung.
"Kamu bawa aku ke sini? Salon ini kan jelas mahal, Louis."
Louis tidak menjawab dan langsung turun dari mobil kemudian membukakan pintu untuk Bella. Sebelum Bella sempat protes lebih jauh, Louis memanggil salah satu pegawai salon yang dengan cepat mendekati mereka. Pegawai itu, seorang wanita berpenampilan rapi dengan senyum profesional, menyapa mereka dengan ramah.
"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?"
"Saya ingin istri saya mendapatkan perawatan terbaik. Luruskan rambutnya, dan pastikan dia terlihat cantik tanpa kaca mata itu."
"Aku kan bilang aku tidak bisa pakai softlens. Kenapa kamu..."
Louis menatap Bella dengan tatapan tegas. "Setidaknya coba dulu, Bella. Kamu layak mendapatkannya. Percaya saja."
"Tenang saja, Bu. Kami akan memastikan semuanya nyaman dan sesuai keinginan Anda. Silakan ikut saya."
Bella menghela napas panjang, menatap Louis dengan sorot mata yang menunjukkan protesnya. Namun, ia akhirnya mengikuti pegawai salon itu masuk ke dalam, merasa bahwa menolak Louis saat ini sama saja percuma.
Louis memperhatikan dari kejauhan sambil menyilangkan tangan di dada sambil melihat Bella dibawa ke kursi perawatan. Di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang tersimpan di dalam hatinya yaitu sebuah keinginan sederhana untuk melihat Bella tanpa merasa terbebani oleh kaca mata atau rambut ikalnya yang sering ia keluhkan diam-diam.
Sementara itu, Bella duduk di kursi salon yang empuk lalu melihat pantulan dirinya di cermin besar. Pegawai salon mulai menyentuh rambutnya dengan lembut.
"Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti ini..." gumam Bella pada dirinya sendiri, tetapi sedikit senyum tak sengaja terukir di wajahnya saat ia memikirkan Louis. Meskipun terkadang membuatnya kesal, ada sisi dari Louis yang benar-benar ia sukai.
Bella masih memandang cermin besar di depannya dan merasa canggung saat para pegawai mulai sibuk mengurusi rambutnya. Alister berdiri tak jauh dari sana, mengawasi proses dengan wajah serius, sementara Louis duduk di sofa mewah di ruang tunggu.
Pegawai salon mulai menyisir rambut Bella dengan lembut. "Rambut Anda sangat tebal dan indah, Bu. Dengan sedikit pelurusan, pasti akan terlihat luar biasa."
"Uh, terima kasih, tapi apakah bisa lebih cepat? Aku tidak mau terlalu lama di sini."
Sang pegawai tersenyum ramah. "Kami akan melakukan yang terbaik. Jangan khawatir, Anda akan merasa nyaman setelah perawatan ini."
Bella melirik ke arah Louis di luar kaca, lalu menghela napas pelan. "Yah, aku juga tidak punya pilihan. Suamiku yang maksa."
"Beliau sepertinya sangat perhatian. Tidak semua suami akan melakukan hal seperti ini."
"Dia perhatian, tapi caranya agak menyebalkan," ucap Bella.
"Aku mendengarmu, Bella," kata Louis.
Bella memutar bola matanya. "Bagus kalau kamu dengar. Mungkin lain kali kamu bisa tanya dulu sebelum membuat keputusan seperti ini."
"Kalau aku tanya dulu, kamu pasti akan menolak. Jadi lebih baik langsung saja."
Bella mendengus kesal, sementara pegawai salon hanya bisa tersenyum kaku melihat interaksi mereka.
"Kamu tahu, kan, aku lebih suka rambutku seperti ini? Aku tidak perlu kelihatan beda hanya karena..."
"Aku cuma ingin kamu merasa lebih percaya diri. Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Lagipula, kita tidak sering datang ke tempat seperti ini," sahut Louis.
"Jadi, ini semua tentang percaya diri, ya? Apa kamu pikir aku tidak cukup percaya diri tanpa semua ini?" kata Bella.
"Bukan begitu. Tapi aku ingin kamu melihat dirimu seperti aku melihatmu, tanpa harus merasa ada yang kurang. Itu saja," jawab Louis.
Bella terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Sebelum ia sempat mengatakan apapun, pegawai salon menyela dengan senyum cerah.
"Maaf mengganggu, Bu, Pak. Kami akan mulai proses pelurusan sekarang. Apakah Anda ingin melihat beberapa pilihan gaya?"
"Semua terserah kamu. Pilih apa yang kamu suka," kata Louis.
Bella menatap pilihan gaya rambut yang ditunjukkan, tapi pikirannya masih berkutat pada kata-kata Louis tadi. Ia mengangguk pelan kepada pegawai itu.
"Oke... mari kita coba yang ini saja."
Louis mundur kembali ke sofa, membiarkan Bella melanjutkan dengan proses perawatannya. Saat ia duduk, Alister mendekat dengan ekspresi serius seperti biasa.
"Pak, Anda yakin ini yang terbaik?" tanya Alister.
"Dia layak mendapatkan yang terbaik. Kalau ini bisa membuatnya sedikit lebih bahagia, aku akan lakukan apa saja untuknya," jawab Louis.