Naura memilih kabur dan memalsukan kematiannya saat dirinya dipaksa melahirkan normal oleh mertuanya sedangkan dirinya diharuskan dokter melahirkan secara Caesar.
Mengetahui kematian Naura, suami dan mertuanya malah memanfaatkan harta dan aset Naura yang berstatus anak yatim piatu, sampai akhirnya sosok wanita bernama Laura datang dari identitas baru Naura, untuk menuntut balas dendam.
"Aku bukan boneka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Dua
Malam itu, di sebuah restoran yang bergaya modern di pusat kota, suasana terasa sangat berbeda dalam konteks yang biasanya hanya untuk pertemuan bisnis. Alex duduk di meja yang sudah dipesan sebelumnya, menunggu Laura yang dijadwalkan tiba untuk dinner meeting. Meskipun mereka adalah rekan bisnis, Alex tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya untuk Laura.
Sejak pertengkarannya dengan Weny minggu lalu, mereka belum bertemu lagi. Namun, Alex selalu menghubungi wanita itu.
Sambil menatap ke luar jendela, Alex memeriksa jam tangannya berulang kali. Hatinya berdebar-debar, bukan hanya karena penantian biasa, melainkan karena niatnya untuk mengungkapkan perasaannya kepada Laura.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, Laura memasuki restoran. Dia terlihat anggun dengan gaun hitam yang simple namun elegan. Ekspresi wajahnya terlihat tenang, meskipun ada sedikit kekhawatiran tersembunyi di balik senyumnya. Laura memang sangat terampil dalam menutupi perasaannya. Dia telah terbiasa menghadapi Alex.
"Maaf, Alex! Terjebak macet," kata Laura saat menghampiri meja mereka. "Aku tidak ingin kita terlambat, jadi aku berusaha secepat mungkin."
"Tenang saja, Laura. Aku baru saja sampai. Senang kamu bisa datang," jawab Alex dengan senyum cerah. Di dalam pikirannya, dia sudah merancang langkah-langkah untuk mengungkapkan perasaannya.
Setelah memesan makanan, suasana perbincangan semula terasa santai. Mereka membahas proyek yang sedang mereka kerjakan bersama, tapi perlahan-lahan, perbincangan itu beralih ke hal yang lebih pribadi.
“Jadi, bagaimana menurutmu tentang ide baru di proyek kita?” tanya Alex. Dia menatap Laura dengan penuh harap.
“Hmm, menurutku ide itu menarik. Tapi kita perlu mencari cara untuk membuatnya lebih menonjol di pasar. Apa kau sudah memikirkan itu?” balas Laura penuh perhatian.
“Ya, aku memiliki beberapa ide. Namun aku juga penasaran dengan pendapatmu. Kamu punya wawasan yang berbeda,” Alex menjawab, kemudian melanjutkan, “Kamu selalu terlihat yakin dengan ide-ide yang kau sampaikan. Itu menarik.”
"Kamu terlalu memuji, Lex. Aku tak sehebat yang kamu katakan," ujar Laura.
"Tapi, aku sangat mengagumimu!" seru Alex.
Setelah menikmati makanan mereka, Alex mulai merasa lebih percaya diri. Dia menyandarkan tangannya pada meja dengan posisi miring, bersiap untuk melangkah ke pernyataan yang lebih dalam. “Laura, aku harus jujur padamu. Selama waktu kita bekerja bersama, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kerjasama bisnis di antara kita.”
Laura merasakan jantungnya berdegup kencang, tetapi ia cepat-cepat menetralkan perasaannya. “Oh? Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada yang terasa ringan seolah-olah tidak ada yang mencolok.
Laura berharap jika pria itu akan mengatakan perasaannya. Dia sudah tak sabar ingin menjebaknya dalam cinta.
“Aku merasa semakin nyaman bersamamu. Dan ... aku mulai menyukaimu, Laura. Bukan hanya sebagai rekan kerja,” ucap Alex, berusaha menancapkan perasaannya.
"Wow," kata Laura sambil tertegun. Dia tidak menyangka akan mendengarnya, meskipun di dalam hatinya ia tertawa bahagia karena tenyata begitu mudah membuat Alex menyukainya. “Aku...,” dia terdiam sejenak, seolah tengah berpikir dalam-dalam. “Aku rasa ini mungkin sedikit aneh.”
“Aneh? Kenapa?” Alex terlihat bingung dan sedikit kecewa dengan reaksi Laura.
“Karena kita baru berkenalan. Kamu belum mengenalku sepenuhnya. Lagi pula kita ini hanyalah rekan kerja!" seru Laura.
“Walau kita baru berkenalan, aku sudah yakin dengan perasaan ini. Namun kita bisa menjalin hubungan yang sehat meskipun bekerja bersama. Banyak pasangan di luar sana yang melakukan hal serupa,” balas Alex dengan optimisme, berharap meraih perhatian Laura yang lebih.
Laura menghela napas, kemudian tersenyum. “Aku hanya takut saja. Suamiku dulunya suka kasar dan buaya. Beruntung akhirnya maut memisahkan kami."
“Aku mengerti dengan ketakutan yang kamu rasakan. Tapi tidak semua laki-laki itu buaya dan kasar. Kamu tak bisa menyamakan."
"Aku tau, Lex."
"Bagaimana kalau kita mulai dengan saling mengenal pribadi dulu?" tanya Alex.
“Baiklah, Lex. Seperti katamu, aku tak boleh menyamaratakan semua pria. Kita bisa memulainya dengan saling mengenal pribadi masing-masing."
Alex tersenyum semringah mendengar jawaban dari Laura. Sepertinya sangat bahagia.
Setelah selesai makan malam, Alex membawa Laura berjalan-jalan di dekat restoran. Langit malam dipenuhi bintang-bintang, suasana terasa sejuk dan nyaman.
“Ini malam yang indah, ya?” Alex berkata sambil menikmati suasana. "Aku senang bisa berbagi momen ini denganmu.”
Laura hanya mengangguk. “Iya, indah sekali. Terima kasih, Alex.”
Mereka berjalan menyusuri trotoar, dan tiba-tiba Alex menghentikan langkahnya. Dia menatap Laura dengan seksama. “Tahu nggak? Aku berpikir ... mungkin kita bisa mencoba sesuatu yang berbeda, mungkin kencan yang lebih santai untuk pertama kalinya, di luar bisnis. Apa kamu mau?”
"Lex, selain takut karena trauma dengan suami pertamaku, aku juga takut dengan satu hal lain," ucap Laura.
"Apa lagi yang kamu takutkan?" tanya Alex.
"Aku takut Weny marah. Bukankah dia wanitamu?" Laura balik bertanya.
"Dia bukan wanitaku. Kamu salah besar. Kami memang pernah menjalin hubungan dulunya. Tapi semua telah lama berakhir."
"Apa kamu bisa menjamin jika Weny gak akan marah dan mendatangiku?"
Laura sengaja membawa nama Weny agar yakin jika suaminya itu memang tak mengharapkan wanita itu. Dia ingin Weny merasakan apa yang pernah dia alami. Dicampakkan oleh pria yang sama.
"Katakan saja padaku jika dia mengganggumu atau mendatangimu!" seru Alex.
"Baiklah jika memang kamu tak ada hubungan dengannya. Aku akan mencoba memulai hubungan denganmu. Walau aku merasa ini terlalu cepat, kita baru saja berkenalan."
Laura sengaja berkata begitu agar Alex tak curiga karena dia begitu cepat mau menerima cinta pria itu. Padahal semua dia lakukan agar secepatnya dapat mengambil kembali apa yang menjadi miliknya.
"Lex, apa yang membuatmu menyukaiku? Aku rasa banyak wanita di luar sana yang lebih dariku? Apa benar yang Weny katakan, jika kamu menyukai aku hanya karena wajahku mirip dengan mantan istrimu?" tanya Laura.
"Bukan karena itu. Aku mencintaimu tanpa karena. Jatuh cinta tidak butuh alasan, jika ada alasan bukan cinta namanya. Aku mencintaimu tanpa tahu kenapa atau di mana atau dari mana itu berasal. Aku hanya mencintaimu tanpa masalah atau kebanggaan. Aku mencintaimu seperti ini karena aku hanya merasa sangat nyaman saat berada di dekatmu!" seru Alex.
Laura tersenyum mendengar ucapan gombal dari mantan suaminya itu.
"Saatnya membuatmu jatuh ke dalam perangkapku semakin mudah. Jatuh cinta lah padaku biar aku lebih mudah mengambil semua milikku lagi. Kau dan Weny juga harus merasakan sakit yang aku alami dulu!"