Ariana tak sengaja membaca catatan hati suaminya di laptopnya. Dari catatan itu, Ariana baru tahu kalau sebenarnya suaminya tidak pernah mencintai dirinya. Sebaliknya, ia masih mencintai cinta pertamanya.
Awalnya Ariana merasa dikhianati, tapi saat ia tahu kalau dirinya lah orang ketiga dalam hubungan suaminya dengan cinta pertamanya, membuat Ariana sadar dan bertekad melepaskan suaminya. Untuk apa juga bertahan bila cinta suaminya tak pernah ada untuknya.
Lantas, bagaimana kehidupan Ariana setelah melepaskan suaminya?
Dan akankah suaminya bahagia setelah Ariana benar-benar melepaskannya sesuai harapannya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat peringatan
Setelah mobil yang ditumpangi Ariana dan Tatiana berjalan agak jauh, perlahan tangis Ariana tumpah. Tatiana pun tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Dulu ia pernah berada di posisi ini, tapi apa yang Ariana alami kali ini jauh lebih menyakitkan. Tidak pernah ia sangka, kisah rumah tangga anak sambungnya ini lebih menyakitkan dan menyedihkan sebab sang suami jelas-jelas masih mencintai dan memiliki hubungan dengan perempuan masa lalunya. Bersaing dengan seseorang yang sudah tiada saja rasanya amat sangat menyakitkan apalagi perempuan yang menjadi saingannya itu jelas-jelas berada di hadapannya. Perempuan manapun pasti takkan sanggup untuk menghadapinya. Menyerah bukan karena lemah, tapi untuk apa bertahan kalau hanya untuk tersakiti. Biarlah dianggap kalah, yang penting kewarasan tetap terjaga.
"Bunda ... " lirih Ariana sambil terisak-isak pilu. Tatiana lantas menarik Ariana ke dalam pelukannya.
"Iya, Sayang." Tatiana menjawab dengan linangan air mata.
"Apa yang Ana lakukan ini salah?"
"Tidak, Sayang. Apa yang kau lakukan sudah benar. Bunda pun kalau berada di posisimu pasti akan melakukan hal yang sama," tukas Tatiana sambil menatap lekat mata Ariana yang basah dan merah.
"Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan setiap orang memiliki hak untuk menentukan pilihan. Jikalau melepaskan bisa membuat hatimu jauh lebih tenang, kenapa tidak. Mengalah bukan berarti kalah, Sayang. Ada kalanya kita harus mengalah demi mendapatkan sesuatu yang lebih besar dan hebat. Dan ... Bunda yakin, perpisahan ini merupakan salah satu jalan untukmu mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya." Tatiana mengusap air mata yang membasahi pipi Ariana. Hati ibu yang mana yang tidak ikut hancur saat melihat anak yang begitu disayanginya dilukai orang lain. Meskipun ia hanya seorang ibu sambung, tapi Tatiana menyayangi Ariana seperti putri kandungnya sendiri.
"Anak bunda hebat. Anak bunda kuat. Bunda yakin, akan ada pelangi sehabis badai. Jangan berputus asa ya, Sayang. Kami selalu bersamamu."
Ariana tersenyum dengan air mata bercucuran. Ia pun kembali memeluk sang ibu. Ia senang memiliki ibu sambung yang begitu menyayanginya. Dalam hati, Ariana membenarkan kalau mengalah bukan berarti kalah. Ia harap, ini yang terbaik, baik untuknya maupun calon mantan suaminya.
"Jadi Ana mau pulang ke mana dulu?" tanya Tatiana memecah lamunan Ariana.
"Pulang ke rumah Bunda dulu, boleh?"
Tatiana tersenyum lebar, "tentu saja boleh. Pintu rumah ayah dan bunda akan selalu terbuka untukmu. Tak peduli kau sudah memiliki suami, anak, bahkan cucu sekalipun, pintu rumah kita akan selalu terbuka. Sebab mau bagaimanapun dirimu kelak, kau tetap putri kami. Putri tersayang ayah dan bunda."
...***...
Danang kini sudah kembali ke rumah sakit. Ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Namun ada yang beda kali ini. Danang tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Bahkan saat ada pasien yang menjelaskan keluhannya pun, Danang kedapatan beberapa kali melamun membuat pasien kesal karena menganggap Danang merupakan dokter yang tidak profesional. Bahkan ada yang menyebut Danang merupakan dokter malpraktek.
"Hari ini saya mendapatkan keluhan beberapa pasien karena kinerja mu yang benar-benar tidak profesional. Melamun di saat sedang bekerja, apakah ini yang disebut sebagai dokter lulusan terbaik?" tukas Samudera datar dan dingin. Sore ini, Samudera mendapatkan protes dari beberapa pasien yang ditangani oleh Danang. Jelas saja, Samudera marah dan segera memanggilnya sebagai tindak lanjut.
"Maafkan saya, Dok. Saya memang sedang memilki masalah hari ini." Danang menunduk lesu. Baru kali ini ia mendapatkan panggilan karena kinerjanya yang tidak memuaskan. Jelas saja Danang merasa malu.
"Seharusnya kau tahu, seorang dokter itu harus bekerja secara profesional. Tak peduli ia sedang memiliki masalah, ia tetap harus memusatkan perhatiannya pada apa yang sedang dikerjakan. Ingat, pekerjaan kita ini menyangkut masalah nyawa manusia. Sedikit saja terjadi kesalahan karena ketidakprofesionalan kita, bisa berdampak buruk pada pasien. Salah diagnosa, salah pemberian resep, hal itu bisa berdampak fatal pada pasien," tegas Samudera.
"Maafkan saya, Dok."
"Maaf? Oke, aku akan memaafkan mu. Tapi peraturan tetaplah peraturan. Ini ... " Samudera menyodorkan sebuah amplop berisi surat peringatan pertama. Danang sampai tercekat melihatnya.
"Dok, apa ini tidak berlebihan? Saya hanya kedapatan melamun, bukan salah diagnosa apalagi salah memberikan resep dan obat." Danang tidak terima diberikan surat peringatan meskipun ini baru yang pertama. Apalagi Danang memilki sifat perfeksionis jelas ini seakan menjatuhkan harga dirinya.
"Jadi menurutmu harus menunggu korban berjatuhan baru kau boleh mendapatkan surat peringatan, begitu?" desis. Samudera.
"Bukan begitu, Dok. Tapi ini benar-benar berlebihan. Apa ini ada hubungannya dengan masalah kemarin?" ucap Danang membuat mata Samudera terbelalak.
"Saya selalu bekerja dengan profesional. Keluar sekarang atau kau mau aku mengeluarkan surat peringatan selanjutnya?" seru Samudera dengan suara yang lebih meninggi.
Danang pun segera beranjak dengan menahan gemuruh di dadanya. Ingin rasanya ia meluapkan kekesalannya, tapi Danang memilih menahannya dalam hati. Tentu ia harus menjaga citranya sebagai seorang dokter di hadapan semua orang.
Sekeluarnya dari ruangan Samudera, Danang pun segera menyusuri koridor untuk kembali ke ruangannya. Saat sedang melewati toilet, tiba-tiba ada sebuah tangan menariknya masuk ke salah satu bilik toilet.
"Si---Lisa? Apa yang kau lakukan?" desis Danang seraya berbisik.
"Kau itu yang apa-apaan, Mas. Kenapa kau tiba-tiba menyuruhku untuk tidak masuk ke ruangan mu? Kau juga sejak kemarin tidak bisa dihubungi. Sebenarnya ada apa?" lirih Monalisa seraya berbisik, khawatir ada yang mendengar pembicaraan mereka. Meskipun ia sudah memasang tanda toilet rusak di depan sana, tetap saja ia khawatir ada yang berusaha membuka pintu toilet itu dengan paksa.
Danang menghela nafas panjang lalu menatap lekat mata Monalisa.
"Dokter Samudera sudah mengetahui hubungan kita. Dia mengetahuinya dari rekaman cctv."
"Apa? Bagaimana bisa? Ah, aku tahu, pasti ini perbuatan putri manjanya itu. Pasti dia yang melaporkan hubungan kita, bukan?"
"Entahlah. Aku tidak tahu. Yang jelas sekarang kita harus pura-pura sudah tidak memiliki hubungan lagi."
"Mana bisa begitu. Bagaimanapun aku ini ... "
"Sa ... "
"Kalau mereka sudah tahu, kenapa lagi mesti ditutupi sih, Mas? Aku pun memiliki hak atasmu."
"Sa, please, untuk kali ini bersabarlah dulu. Aku tidak ingin semua jadi semakin runyam."
"Nggak. Pokoknya aku nggak mau. Sudah cukup ya, Mas, aku mengalah dan aku tidak ingin terus-terusan mengalah."
"Sa, please bersabarlah sedikit lagi. Kau tahu, aku baru saja mendapatkan surat peringatan pertama. Dan aku sedang benar-benar kesal saat ini."
"Apa? Bagaimana bisa kau mendapatkan surat peringatan pertama, Mas?"
"Aku kedapatan melamun saat berhadapan dengan pasien."
"Apa? Astaga. Memangnya kau melamunin apa sih, Mas?"
Danang menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya kasar.
"Ana mengajak berpisah," lirih Danang.
Monalisa terbelalak. "Yang benar, Mas? Kenapa Mas malah kepikiran sih? Bukankah seharusnya Mas senang. Selama ini Mas menjalani pernikahan terpaksa dengan dia. Jadi bukankah ini merupakan kabar baik buat kita jadi kita bisa segera meresmikan hubungan kita?" cecar Monalisa dengan mata berbinar.
"Tidak bisa begitu, Lisa. Mas ... "
"Mas kenapa? Jangan bilang Mas sudah mulai jatuh cinta pada perempuan itu ya?"
"Bukan begitu. Hanya saja ... Aaargh ... Sudahlah. Aku harus segera keluar dari sini. Bisa kacau kalau ada yang sampai memergoki kita berdua." Danang berdecak tak mau menjawab pertanyaan Monalisa.
Monalisa berdecak kesal. Apalagi saat melihat Danang sudah keluar dari sana secara mengendap-endap, meninggalkannya begitu saja.
"Awas kau Mas kalau sampai jatuh cinta padanya! Aku takkan membiarkannya."
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
tolong kirim obat sakit kepala thor,aku banyak nangis hu hu hu.....
surpres......😁
nggak perduli kamu udah pacaran berapa abad,tapi kamu menikah dengan wanita lain dan tetap berhubungan dengan pacarmu
Itu namanya SELINGKUH