Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sial Banget Hidupmu
Lana muring-muring dikerjai Vincent dan Jefry dari siang sampai malam. Dia dibalut seperti mumi berjam-jam lamanya, disuruh diam dan tidak bergerak sampai tubuhnya terasa kaku, dan berkeringat banyak juga bau. Namun Vincent tidak jua segera datang.
Begitu dilepaskan, Jefry tidak ada ditempat, ditelepon tidak dijawab, dicari di rumah juga tidak ada, yang ada dirinya justru dilempar oleh keamanan rumah sebab dianggap berisik.
Ia kelelahan parah sampai akhirnya tertidur dibawah alunan omelan mamanya.
Pagi hari pada keesokannya, Lana belum membaik, tetapi dia mencoba mengikuti saran Mamanya. Menguntit Brie di sekolah.
Ia memakai celana kulot kain yang lebar, kaos crop berpotongan pas dengan ban celana, kacamata hitam lebar dan topi.
Nungki heran melihat kelakuan anaknya yang aneh. "Biasa saja kan bisa, kenapa pakaiannya kaya begitu? Norak sekali!"
Namun ia membiarkan Lana pergi. Memang orang yang kehilangan pria kadang bertingkah gila.
...
Lana menggigit burger besar-besar, sesekali meminum cola agar tidak terlalu seret. Gerakannya terbatas sebab luka di punggungnya masih terasa sakit, tetapi masih mampu ia tahan usai berobat tadi di klinik yang ia temui menuju sekolah Brie.
Bahkan sampai burger habis dan kini beralih ke fried chicken, Brie dan Vincent belum muncul juga. Lana mengabaikan batinnya yang mulai tak sabar, membiarkan logikanya bekerja.
Terus saja dia menggumamkan kata sabar disela mulutnya yang mengunyah.
Jam tujuh lewat beberapa menit, ia melihat Pak Wahyu dan Brie.
Ayam yang sedang ia nikmati segera ia jejalkan ke mulut, mengelap tangan sekenanya kemudian bersiap menguntit Pak Wahyu.
Lana menahan tenggorokannya yang sesak, ketika Pak Wahyu meninggalkan sekolah. Tangannya yang bebas meraih cup cola, namun karena tidak memperhatikan, cup itu oleng dan isinya tumpah.
Aih sial!
Lana gedabrusan meminum sisa cola dan sedikit berhasil melegakan seret yang melanda, sehingga dia kembali fokus ke Pak Wahyu.
Ketika Pak Wahyu berbelok ke sebuah rumah, Lana melongo tak percaya.
"Mereka tinggal di sini?" Mengamati sekeliling, ia yakin Vincent mampu tinggal di cluster paling mewah sekalipun. Tapi ini—kontrakan, kan?
Lana speechless. "Yakin nih, mereka nggak sedang ngeprank aku?"
Kejadian semalam membuat Lana tidak percaya begitu saja apa yang dilihatnya, sehingga dia berinisiatif menanyakan kepada warga sekitar.
Ia turun setelah berjarak agak jauh dari rumah yang ditempati Vincent. Bertanya pada warga yang kebetulan berkumpul.
"Bu, rumah yang pintunya hitam, itu!" Lana menunjuk persis belokan ke rumah Vincent. "Benar rumah Vincent ya, Bu? Dia dokter—"
"Oh iya, bener! Itu disewa Pak Vincent." Seorang wanita yang menggendong anak menjawab. "Bu kontrakan bilang kemarin. Kaya bener loh, makanya dia bayar penuh padahal sewa katanya cuma beberapa bulan."
Lana kaget tapi segera mengerti. Vincent pasti berniat segera pindah setelah menemukan rumah yang sesuai dengan keinginannya. Lana hafal betul soal itu.
Usai mengucapkan terimakasih, Lana segera memutar balik dan memeriksa lagi rumah Vincent. Ia memfoto plat nomor mobil dan segera meninggalkan tempat itu.
"Padahal apartemen sekitar sini, bagus-bagus, masa malah sewa kontrakan petak?" Lana akhirnya menyuarakan keheranan yang ia rasa. Melewati apartemen yang berjajar, gedung-gedung perkantoran, lalu rumah sakit swasta terbesar dimana—
Lana sejenak kaget. Rumah sakit dimana Jefry bekerja.
Lana segera memutar kemudi. "Aku harus buat perhitungan dengan Jefry!"
Mendadak emosi Lana memuncak dan siap meledak. Pria kurang ajar itu, awas kau ya!
...
Pagi hari Egi menemani El yang sudah semakin baik hari ke hari. Anak itu mulai menggerakkan tangan dan kadang merasa haus. Vincent menyewa perawat yang bergantian menjaga El siang dan malam jadi Egi tidak terlalu kelelahan menjaga El.
"Bu Virginia!" Egi menoleh ke sumber suara yang tak lain adalah Arifin Sudiro. Saat Egi menggeser pandangan, tampak juga Setya Nugraha.
Egi segera menghampiri keduanya. Ekspresi Egi selalu tegas dan angkuh menatap dua pria itu.
"Soal uang damai itu—"
"Tidak jadi, Pak, saya udah nggak butuh uang lagi!"
Setya Nugraha kaget bukan main. Padahal satu-satunya jalan agar Arfayuda bebas adalah Egi mencabut laporan itu dan sepakat untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
"Kamu nggak bisa bersikap kaya gitu, dong!" refleks Setya berdiri dan siap memaki Egi karena merasa dipermainkan oleh anak kecil. "Kamu kalau ngomong yang konsisten! Ini kami bawa cek senilai 10 milyar seperti yang kamu mau, tapi—"
"Pak Setya tolong sabar, Pak!" Arifin menenangkan, lalu setelah Setya Nugraha tenang, Arifin menghadapi Egi.
"Bu Virgi, kami setuju dengan uang damai 10 milyar itu asal Ibu cabut laporan ke polisi dan menyelesaikan semua dengan damai." Arifin menjeda, menunggu respons Egi. "Nanti pencairan akan saya urus semuanya, anda tinggal menerima saja, bagaimana?"
Egi bersikeras dan jual mahal. "Ya gimana, adik saya sudah sadar dan saya dapat bantuan banyak banget, jadi 10 milyar terasa sedikit. Gimana dong?"
"Saya tambah satu—"
"Tiga baru mau!" Egi menakar dengan usulan Vincent semalam. "jadi semuanya 13 milyar."
"Baik!" Setya Nugraha tanpa basa basi mengiyakan. "Kasih dia sebanyak itu, Rif! Capek aku ngurus anak matre kaya dia!"
Setya Nugraha pergi begitu saja, menyisakan Arifin yang masih bernegosiasi dengan Egi.
"Jadi setelah uang Ibu terima, anda harus mencabut laporan sebelum masuk ke ranah pengadilan. Setuju ya, Bu Virgi?"
Egi mengangguk. "Saya hanya akan mencabut laporan jika uang itu sudah ditangan saya!"
Tentu Egi hanya ikut apa kata Vincent saja. Mereka kemarin membahas soal ini tanpa sengaja dan hanya berandai-andai. Ketika menjadi kenyataan, Egi tentu lega bukan main. Setidaknya El bisa mendapatkan fasilitas yang baik meski akhirnya cacat.
Saat itu, Lana juga berkeliling mencari Jefry yang sedang visit. Tanpa diduga ia melihat Arifin dan Egi.
"Lah, kok mereka ngobrol?" Lana mendekat, lalu samar mendengar soal pencabutan laporan.
Mata Lana melotot. Ia baru menyadari hal ini. Yang ditabrak Arfa adalah keluarga Virgi? Astaga!
Jangan-jangan anak itu sengaja balas dendam dengan merebut Vincent darinya?
Lalu setelah mereka itu sepakat berdamai, Arfa bebas?
Sialan
Lana dalam bahaya jika tidak menyelamatkan diri. "Kemana aku mesti kabur yak?"
Lana panik sendiri hingga lupa pada Jefry. Ia lari terbirit meninggalkan rumah sakit.
"Ya Tuhan, jangan sampai Arfa menemukanku dalam keadaan miskin dan lemah begini!"
Jika ketahuan, anak itu pasti tidak akan mengampuninya.