Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menjaga Calista
Calista mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan sambil memejamkan mata. Rasa pusing yang menghantam kepalanya seperti gelombang yang datang tanpa ampun, membuatnya sulit untuk tetap fokus. Tubuhnya terasa lemas dan berat, seolah energi yang tersisa perlahan-lahan terkuras habis. Ia hanya bisa bersandar pada Jehana, sementara sahabatnya itu terus mengomel dengan nada khawatir.
"Lo pasti stres, Cal. Ibu hamil gak boleh banyak pikiran, tahu gak?" omel Jehana, cemas. Namun, Calista hanya bisa merespons dengan anggukan lemah. Matanya terasa berat, dan dunia di sekitarnya tampak berputar.
Jehana, yang panik melihat keadaan Calista semakin memburuk, segera merogoh tas Calista, mencari ponselnya. Setelah menemukan ponsel itu, Jehana segera menelepon Kenneth.
Kenneth, yang baru saja selesai mandi, mendengar ponselnya berdering. Nama "Calista" tertera di layar, dan tanpa ragu, ia langsung mengangkat telepon itu. Namun, suara yang muncul dari seberang bukanlah suara istrinya, melainkan suara perempuan lain yang ia kenal sebagai Jehana.
“Ken, ini Jehana, temennya Calista. Gue nelpon pake handphone Calista,” suara Jehana terdengar terburu-buru.
Kenneth mengerutkan kening. “Oh, kenapa? Calista mana?”
“Lo cepetan ke kampus, jemput Calista. Dia sakit nih,” jawab Jehana cepat, jelas nada khawatir.
Kenneth yang semula santai, langsung tersentak. "Hah?! Oke, gue jemput sekarang!"
Tanpa menunggu lebih lama, Kenneth segera bergegas berpakaian. Rasa panik menyelimutinya seiring dengan pikiran-pikiran yang mulai berlarian di kepalanya. Apa yang terjadi dengan Calista? Mengapa dia mendadak sakit?
Setelah siap, Kenneth segera melesat keluar rumah, berlari ke mobilnya. Ia menjalankan mobil dengan kecepatan yang tidak biasa, pikirannya terus berfokus pada kondisi Calista. Dalam perjalanan, ia mencoba menenangkan diri, tapi kegelisahan tetap menghantuinya.
Di gazebo kampus, Calista masih menyandarkan tubuhnya yang lemas pada Jehana. Matanya sesekali terpejam, tetapi rasa pusing itu masih belum hilang. Ia merasa kesulitan untuk tetap sadar, namun berusaha keras untuk tidak membuat Jehana semakin panik.
Jehana, yang sudah setengah gila karena cemas, mencoba tetap tenang. Namun dalam hatinya, ia sudah mulai berpikir tentang kemungkinan terburuk. Bagaimana jika Calista pingsan di sini? Bagaimana jika ia terlambat mendapatkan pertolongan?
Tak lama kemudian, Kenneth tiba. Setelah beberapa menit mencari di sekitar kampus, ia akhirnya menemukan Calista dan Jehana di gazebo. Melihat kondisi Calista yang terkulai lemas di samping Jehana, rasa takut semakin membuncah dalam dirinya.
"Cal, Calista, kamu kenapa?" Kenneth berlutut di sampingnya, menatap wajah pucat istrinya dengan penuh kekhawatiran. Namun, Calista hanya bisa mengerang pelan, terlalu lelah untuk menjawab.
Jeana berdiri, menatap Kenneth dengan ekspresi khawatir. "gue gak tahu, Ken. Dia bilang pusing, terus tiba-tiba jadi lemas kayak gini," jelas Jehana panik.
"Udah, cepetan bawa dia ke mobil," lanjut Jehana, memberi instruksi dengan cepat. Kenneth tak berpikir dua kali. Dengan hati-hati, ia menggendong Calista dalam posisi bridal style dan segera membawanya menuju mobil. Jehana mengikuti mereka dari belakang, sambil membawa tas Calista.
Sesampainya di mobil, Kenneth menaruh Calista di kursi penumpang dengan lembut, memastikan ia nyaman, lalu dengan telaten memakaikan sabuk pengaman untuk istrinya. Calista masih terlalu lemah untuk bergerak, matanya setengah terbuka, tapi pandangannya kabur.
Jehana menyerahkan tas Calista kepada Kenneth, sambil berkata, "Gue gak bisa ikut kalian, tapi tolong kasih kabar ya kalau ada apa-apa. gue khawatir banget sama Cal."
Kenneth mengangguk. "Iya, makasih banyak ya, Jehana," ucapnya sebelum masuk ke mobil dan menutup pintu. Ia kemudian segera menyalakan mesin dan melajukan mobilnya menuju rumah, meski dengan hati yang ragu.
"Kita ke rumah sakit ya, Cal?" Kenneth bertanya sambil melirik Calista dengan khawatir.
Namun, Calista menggeleng lemah. "Nggak, aku mau pulang aja," jawabnya dengan suara parau.
Kenneth ragu. "Tapi, Cal... Kamu sakit. Kamu butuh pemeriksaan."
"Tolong, Ken, aku mau pulang..." Suara Calista terdengar tegas, meskipun lemah. Kenneth akhirnya menyerah, tak ingin membuat istrinya semakin stres. Dia memutuskan untuk menurut, berharap dengan istirahat, kondisi Calista akan membaik.
Sesampainya di rumah, Kenneth kembali menggendong Calista menuju kamar. Tubuh istrinya terasa ringan di pelukannya, namun itu hanya menambah rasa khawatir yang ia rasakan. Kenneth dengan hati-hati menidurkan Calista di kasur, memastikan bahwa ia nyaman sebelum duduk di sampingnya.
"Masih pusing banget ya?" tanya Kenneth lembut sambil menyentuh kening Calista, mencoba merasakan suhu tubuhnya. Calista hanya mengangguk lemah, matanya terpejam rapat, berusaha melawan rasa pusing yang tak kunjung reda.
"Kalau gitu, aku pijitin ya kepalanya, biar mendingan." Kenneth mulai menggosok pelipis dan kening Calista dengan lembut, mencoba memberikan sedikit kenyamanan.
Namun, Calista segera menepis tangannya. "Nggak usah, Ken. Aku nggak enak," tolaknya lemah.
Kenneth tersenyum tipis, mencoba menghilangkan kekhawatiran di wajahnya. "Gapapa, Cal. Kamu istirahat aja. Aku di sini." Tanpa menunggu jawaban, Kenneth kembali memijat kepala istrinya dengan lembut. Perlahan-lahan, Calista merasa sedikit lebih tenang dan mulai memejamkan mata sepenuhnya.
Kenneth duduk di sana, diam, mengamati wajah istrinya yang perlahan-lahan tertidur. Rasa khawatir yang membuncah di dalam dirinya tidak kunjung hilang. Kenneth tahu bahwa kehamilan Calista bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, sejak beberapa minggu terakhir, hubungan mereka terasa semakin renggang. Ada jarak yang tumbuh di antara mereka, dan Kenneth belum tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Dia mempertimbangkan untuk memanggil dokter keluarga mereka, tetapi ia ragu. Kenneth takut jika itu akan membuat Calista semakin marah atau merasa tertekan. Jadi, untuk sementara, Kenneth memutuskan untuk menjaga Calista dengan ekstra hati-hati, memastikan bahwa ia tidak kekurangan apapun.
Malam mulai larut, dan Kenneth tetap terjaga di samping Calista. Sesekali, ia memeriksa suhu tubuh istrinya, atau membetulkan selimut yang menyelimuti tubuhnya. Kenneth sadar bahwa mungkin ia tidak bisa langsung memperbaiki semua masalah di antara mereka, tetapi satu hal yang pasti: dia akan selalu ada di sisi Calista, tak peduli apa pun yang terjadi.
Pagi hari, Calista terbangun dengan kepala yang masih sedikit berat, tapi tubuhnya sudah mulai terasa lebih baik. Kenneth, yang masih duduk di samping tempat tidurnya, terjaga dengan wajah lelah.
"Kamu udah mendingan?" tanya Kenneth begitu melihat Calista membuka mata. Ada sedikit senyum lega di wajahnya.
Calista mengangguk perlahan. "Udah, Ken. Makasih ya," ucapnya dengan suara yang masih lemah.
Kenneth menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Kamu harus lebih banyak istirahat, Cal. Kamu gak boleh terlalu capek atau banyak pikiran."
Calista tahu Kenneth benar, tetapi masalah yang ia hadapi tidak sesederhana itu. Kehamilan, rasa bersalah, dan pikiran-pikiran tentang hubungan mereka membuat segalanya terasa lebih rumit. Namun, di saat yang sama, ia merasa lega karena Kenneth ada di sisinya, meskipun ia belum tahu bagaimana cara memperbaiki hubungan mereka sepenuhnya.
Matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai kamar, memberikan sedikit kehangatan di ruangan yang sunyi. Kenneth masih tetap di samping Calista, menatapnya dengan perhatian penuh. Tanpa kata-kata, Kenneth mengambil tangan Calista, menggenggamnya erat, seolah ingin memberikan kekuatan melalui sentuhan itu.
“Aku tahu kita lagi gak baik-baik aja, Cal,” Kenneth akhirnya berbicara pelan. “Tapi, apapun yang terjadi, aku gak bakal ninggalin kamu. Kamu istri aku, dan aku bakal selalu ada buat kamu.”
Kata-kata Kenneth terasa seperti angin segar bagi Calista. Meski hati dan pikirannya masih belum sepenuhnya damai, setidaknya ia tahu bahwa Kenneth mencintainya dengan tulus. Mungkin itu cukup sebagai alasan untuk bertahan, setidaknya untuk sekarang.