Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 : Malam Panas (Warning!)
Naina menelan ludah, dagunya disentuh Tuan Minos dan perlahan dinaikkan hingga membuat kepalanya menanggah. Menciptakan tatapan lebih dalam, intim dan menimbulkan desiran panas yang mulai menjalari diri.
Tuan Minos menoleh, menjatuhkan pandangan pada Tora yang sejak tadi menonton. “Tinggalkan kami berdua,” titahnya mengalun tegas.
Tora mengangguk, tanpa perlu menjawab dirinya sudah langsung terbang meninggalkan ruangan. Sehingga tinggal lah mereka berdua di sana, dalam ruangan remang yang diiringi lantunan dari gemerutuk perapian.
Bulir-bulir air yang berasal dari rambut pria jangkung itu beberapa kali jatuh menimpa wajah Naina. Dingin dari airnya membangkitkan bulu kuduk, sedang matanya tak berpaling dari sosok Tuan Minos yang perlahan mulai mendekat.
Ketika hanya tersisa beberapa centi lagi sebelum hidung mancung milik pria itu menyentuh permukaan wajahnya, Naina reflek memejamkan mata kuat-kuat. Ini di luar dugaannya, Naina tak pernah menyangka kalau beginilah wujud lain dari suaminya.
Tangan Tuan Minos merayap ke belakang kepala Naina, menyentuh lembut rambut gadis itu dan sedikit menekannya ke depan. Membuat tubuhnya lebih mencondong, lalu bibirnya ia dekatkan pada telinga Naina.
“Apa dengan melihat wujudku yang seperti ini membuatmu bergairah?” bisiknya dengan suara berat.
Detik itu juga Naina langsung membuka mata. Menyadari bahwa dagunya nyaris menempel dengan bahu Tuan Minos, bulu kuduknya kembali meremang kala mendapatkan sentuhan sensual di bawah sana.
Naina bisa pastikan itu respon alami dari tubuhnya saat menerima rangsangan. Tubuhnya bergelinjang, saat jemari panjang milik pria itu mulai merengkuh mesra pinggulnya.
“Sudah kuduga.” Tuan Minos menarik tubuhnya menjauh dari Naina, sedikit memberi jarak agar bisa saling bertatapan lagi.
“Kau mana mungkin bisa menolak kali ini,” tambahnya seraya menyunggingkan senyum penuh arti.
Naina yang sedari tadi diam, mencoba untuk buka suara. Mencoba mengabaikan semua yang dikatakan Tuan Minos, memilih fokus pada apa yang menjadi tujuannya saat ini.
Sambil memasang senyum yang tertahan, Naina berujar lembut, “Sebagai balasan atas kemurahan hatimu karena telah mengizinkanku untuk melihat wujud yang indah ini, maka biarkanlah aku yang memimpin malam ini, Tuan.”
Tubuh Naina sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat. Setelah cukup lama tinggal di sini dan berbaur dengan keseharian pria itu, Naina cukup bisa menebak kelemahan yang dimiliki Tuan Minos.
“Biarkan aku yang melayanimu, Tuan. Aku akan melakukan yang terbaik,” sambung Naina seraya berjongkok, kemudian setengah berdiri menggunakan kedua lututnya.
Harus selalu disanjung dan diagung-agungkan, itulah Tuan Minos. Dengan begitu dirinya akan terbuai.
Tuan Minos melebarkan senyum smirk saat mendengar perkataan tersebut. Senyum yang terukir di wajahnya jelas menggambarkan kemenangan karena perasaannya tervalidasi.
“Baiklah. Mari kita lihat apa yang bisa kau lakukan untukku malam ini.” Tuan Minos menyisir rambutnya ke belakang, lantas mulai melepas piyama putih dari tubuhnya.
Sedikitpun Naina tidak mengalihkan pandangannya, kepalanya tetap menanggah, menunggu pemandangan luar biasa yang akan dilihatnya sebentar lagi. Alih-alih terpana karena ketampanan yang dimiliki Tuan Minos, Naina justru bertanya-tanya mengapa bisa suaminya itu memiliki dua wujud.
Mendadak Naina jadi teringat sesuatu. Tentang perkataan Tora hari itu, apa ini yang dimaksud dengan kutukan yang mesti dijalani Tuan Minos?
Ketika piyama itu sudah tergeletak ke lantai, Tuan Minos menjentikkan jari tepat di depan wajah Naina yang tengah memasang ekspresi melamun.
Membuat gadis itu langsung mengerjap-ngerjap. Rona kemerahan pun terpatri pada kedua pipi Naina, merasa malu karena pandangannya tertuju pada pemandangan yang tak pernah dirinya lihat sebelumnya.
“Hei, sadarlah! Aku tahu kau begitu terpesona dengan rupaku yang sekarang.” Tuan Minos bertolak pinggang, tanpa malu memamerkan tubuh polos tanpa sehelai kain yang menutupinya.
Tuan Minos menganggap bahwa reaksi maupun ekspresi yang ditunjukkan Naina saat ini adalah bentuk dari kekaguman. Dengan begini, nampaknya Naina akan berhasil menjalankan rencananya.
“... Tapi waktuku tidak banyak. Sebelum fajar nanti, kita harus segera selesaikan permainan panas ini. Jadi tunjukkanlah apa yang kau bisa lakukan untukku sekarang,” perintah Tuan Minos mempersilakan.
Perlahan pria dengan tubuh telanjang itu menjatuhkan diri pada ranjang yang penuh dengan taburan kelopak bunga. Menunggu Naina yang akan memulai permainan.
Atmosfer berubah tegang, entah sudah berapa kali Naina menelan saliva. Meski begitu kerongkongannya tetap terasa kering.
Di sisa keheningan sebelum gemericik dari hujan mulai turun, Naina memaksa otaknya untuk berpikir lebih keras. Tentang apa yang harus dirinya lakukan saat ini, kembali mencoba mengingat beberapa hal yang sudah dirinya pelajari.
Suara hujan dan gemerutuk dari kayu di perapian saling berlomba-lomba mengusir keheningan. Membuat malam ini terasa berbeda dari malam pada waktu itu. Hawa dingin pun samar-samar menguar dari dinding yang lembap akibat hujan.
Melihat Naina yang masih diam di tempat, mulutnya gatal ingin mengoceh, “Kau yang menawarkan diri, lantas kenapa kau—”
“Sepertinya kau memang tidak sabaran, Tuan,” sela Naina sebelum pria itu sibuk mengomel.
Menyingkirkan segala keraguan, Naina mulai menanggalkan gaun abu-abu yang melekat pada tubuhnya. Sehingga dua bongkahan yang semula menonjol dari balik gaun, kini tak lagi tertutup apapun.
Sambil melepaskan satu per satu pakaian dari tubuhnya, Naina berjalan mendekat pada Tuan Minos. “Mari kita nikmati malam ini...”
Tepat di satu langkah sebelum tubuh keduanya bersentuhan, Naina mencondongkan badannya ke depan. Sebelah tangannya mengalung pada leher Tuan Minos, sementara tangan satunya lagi ia pakai untuk meremas lembut belakang rambut pria tersebut.
“... Tanpa perlu terburu-buru, Tuan,” kata Naina dengan suara yang terlampau pelan, tapi mampu membuat hasrat pria itu naik berkali-kali lipat.
Naina masih mencari cara bagaimana dirinya bisa mengambil beberapa helai rambut miliknya tanpa menimbulkan rasa curiga. Tapi lain yang dirasakan Tuan Minos, pria itu justru menikmati setiap sentuhan yang diberikan Naina, terlihat dari cara matanya yang bergerak terpejam dan terbuka dalam waktu singkat.
Bahkan lenguhan beberapa kali lolos dari mulutnya, Naina yang mendengarnya pun kembali merinding. Terlebih lagi, Tuan Minos mulai ikut masuk ke dalam permainan ini.
Kedua tangan besar yang penuh dengan urat menonjol milik Tuan Minos, sudah mencuri-curi kesempatan di saat Naina masih melakukan pemanasan. Karena tak mau membuang waktu, Naina pun melebarkan kakinya saat akan duduk di antara paha milik pria di depannya.
Sehingga saat ini tubuh keduanya jadi saling duduk berhadapan, bahkan dada mereka kini sudah saling beradu. Napas mereka menderu-deru, menyapu habis paras masing-masing.
“Dari mana kau belajar semua ini?” Tuan Minos bertanya sembari menyelipkan sebagian rambut Naina ke belakang telinga, agar lebih jelas saat memandang peluh yang bercucuran di wajah istrinya itu.
“... Tidak kusangka kau bisa senakal ini,” imbuhnya diiringi kekehan meledek.
Naina memutus kontak mata, gerakan matanya menyapu ke samping. “Aku sempat membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. Beberapa buku menjelaskan tentang hal semacam ini,” cicitnya malu-malu.
“Itu semua koleksiku. Selama ini hanya dengan membaca buku-buku itu aku menyalurkan semua hasratku. Tapi sekarang, karena kau ada di sini—”
Naina memotong ucapan dengan meletakkan kedua tangannya di leher Tuan Minos, masih berusaha mencari cara mengambil rambutnya. Bahkan dirinya berani memulai pagutan, menciptakan decakan demi decakan yang menjadi penghuni suara baru dalam ruangan ini.
Tentunya Tuan Minos menerima semua itu dengan penuh semangat. Bahkan tak segan membalas berkali-kali lipat, hingga posisi berubah menjadi dirinya yang mengendalikan permainan panas ini.
Naina tidak benar-benar menikmati, masih terus berusaha mencuri-curi kesempatan. Sampai ketika tubuhnya menerima dorongan yang membuatnya harus menahan sakit, Naina tanpa sadar menjambak rambut Tuan Minos.
“Akhh, kumohon pelan-pelan, Tuan!” Naina berusaha mengalihkan perhatian, di tangannya saat ini sudah ada beberapa helai rambut milik pria itu.
Dalam posisi yang sama, masih saling berhadap-hadapan, Naina mendorong tubuh Tuan Minos hingga terjatuh dan berbaring ke kasur.
Seolah dipertontonkan bahwa Naina ingin memegang kendali, padahal dirinya melakukan itu karena ingin menyembunyikan beberapa helai rambut itu di bawah bantal.
“Tuan, biarkan aku yang melakukannya!”
Lagi-lagi Naina mencoba mengalihkan perhatian, ia berhasil menyelipkan helai rambut itu di bawah bantal. Untungnya Tuan Minos tidak curiga, mungkin karena nafsunya yang sudah mencapai ubun-ubun.
Mereka tetap melakukan permainan panas itu sampai di sisa-sisa pergantian langit. Entah karena kelelahan setelah mengerahkan seluruh tenaga dan energi untuk bertempur di kasur, Tuan Minos langsung terlelap.
Sementara Naina tetap terjaga hingga pagi, tubuhnya berbaring membelakangi Tuan Minos. Tidak bisa bergerak banyak sebab tangan besar pria itu sudah mengunci tubuhnya, seolah tidak dibiarkan pergi.
“Bagaimana ini? Seharusnya aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk membawa rambutnya bahkan kabur dari sini,” gumam Naina dalam hati, tapi setiap kali tubuhnya bergerak, tangan besar itu justru semakin mengunci pinggangnya.
Hingga detik-detik matahari mulai terbit dan gulita malam sudah tak lagi menghiasi langit, Naina dapat merasakan perubahan wujud Tuan Minos di belakang sana.
Bau busuk langsung menusuk hidung, membuat Naina harus menahan napas beberapa saat. Tangan besar yang melingkar pada pinggangnya pun terasa kasar dan lengket. Dapat dipastikan bahwa memang Tuan Minos sudah kembali pada wujud buruk rupanya.
Tangannya merogoh-rogoh ke bawah bantal untuk memastikan rambut itu ada di sana. Tapi...
“Apa kau mau mendengar sebuah cerita?”
Bariton serak yang menyapa gendang telinga barusan, membuat jantung Naina hampir copot dari tempatnya. Yang dirinya tahu, Tuan Minos masih tidur. Tapi tahu-tahu saja menyapa dengan perkataan seperti itu.
***