Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21
"Bagaimana kalian dapat bertemu disini?"tanya Reyvan dengan penuh keterkejutan.
"Takdir mungkin,"jawabku dengan lemah.
"Lantas kamu masih menyimpan perasaanmu padanya? Bukankah kamu pernah bilang kalau dia sudah menikah?"
"Dia bercerai dari istri pertamanya dan istri keduanya meninggal,"ceritaku santai tanpa beban.
Reyvan mengusap wajahnya dengan tangsn kanannya karena terkejut. Aku geli melihatnya dan tersenyum.
"Sepertinya kamu sangat terkejut. Oh iya, dia juga sudah punya anak satu, umur tiga tahun dan diberi nama Anetta,"kataku sambil tertawa karena melihat Reyvan terkejut.
"Teganya kamu tertawa melihat aku terkejut, Jane"sungut Reyvan padaku.
Aku tertawa terbahak-bahak.
"Habisnya kamu lucu wajahnya. Lagian kenapa kaget begitu sih?"
"Ya gimana nggak kaget sih. Bisa-bisanya alam semesta ini mempertemukan kalian kembali setelah belasan tahun. Dan kondisinya sama-sama single pula." Ucapnya dengan wajahnya merengut.
"Terus memangnya kenapa? Kan malah bagus, jadinya nggak sungkan untuk berkomunikasi. Bagaimanapun kami sudah saling mengenal sejak lama." Tanyaku menggodanya.
"Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu padanya saat ini. Tapi aku harap kamu nggak melihat kebelakang, Jane. Ingat sudah ada aku disini,"tegasnya dengan ekspresi penuh tekanan.
"Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku padanya saat ini. Tapi perasaanku padamu nggak berubah, Rey. Kamu tetap masih menjadi satu-satunya sahabatku, twin flame aku, yang paling mengerti aku."
"Ah, kamu tahu persis aku menginginkan lebih dari itu. Ayo menikah, Jane. Aku siap jika kamu menginginkan mahar yang besar."
"Hahahaha, tahu nggak, wajah kamu itu lucu kalau lagi ngambek gitu. Udah ah, jangan bahas-bahas menikah. Kamu tahu sendiri aku lebih suka jadi perawan tua,"
"Berdua itu lebih baik daripada sendiri. Lihat kamu, harusnya dalam kondisi begini, aku bisa merawatmu dengan leluasa. Tanpa harus bersaing dengan lelaki itu,"
"Pokoknya aku mau kamu pindah kost dengan segera. Nggak baik satu kost dengan mantan,"
"Hahahaha, kamu makin aneh, Rey. Udah ah, infusnya uda mau habis, panggilkan susternya donk, supaya aku bisa pulang. Aku ingin segera rebahan di tempat tidurku,"
Reyvan berlalu dengan wajah ditekuk dan memanggil suster untuk melepas infusku. Saat suster datang dan melepaskan infus, Antonio juga datang dan dengan sigap membenahi obat-obatan yang ada di dekatku. Tanpa diminta, Reyvan langsung memeluk pundakku untuk menuntunku. Dengan segera kulepaskan pelukan Reyvan dan menurunkan tangannya dari pundakku.
"Tenang, Rey, aku bisa jalan sendiri koq. Kepalaku sudah tidak pusing lagi,"tolakku hanya karena aku takut menimbulkan benih kecemburuan di hati Antonio.
Ah, lagi-lagi aku memikirkan Antonio. Aku kesal kepada diriku sendiri. Sebagian dari diriku senang sekali dengan kehadirannya, tetapi sebagian lagi tidak. Sebagian dari diriku menolak untuk menerimanya kembali. Bagaimanapun dia sudah meninggalkanku karena putus asa, dia juga sudah menikah dua kali, punya satu anak juga. Harusnya itu sudah menjadi alasan yang cukup untuk tidak mencintainya lagi. Apa sebaiknya aku pindah kost saja seperti ucapan Reyvan? Hmmm...
Kami tiba di kost dan kedua lelaki ini bersikukuh mengantarku sampai ke depan kamar. Aku yang masih sedikit lemah memilih mengalah dan membiarkan mereka mengantarku ke depan kamar.
Sesampainya di depan kamarku, kusambar kantong obat yang ada di tangan Antonio, dan bungkusan roti dari tangan Reyvan, yang tentu saja aku tahu dia membelikan itu untukku.
"Sekarang kalian sudah boleh kembali ke tempat kalian masing-masing, aku mau tidur, selamat malam semuanya,"kututup pintu kamar tanpa menunggu jawaban dari mereka.
Kurebahkan tubuhku dan kupejamkan mataku. Tidak lama aku terlelap dan berlayar ke dunia mimpi.
Aku terbangun mendengar ketukan di pintu. Aduh siapa sih yang ketuk-ketuk pintu di hari yang masih pagi ini.
"Ya, sebentar,"
Aku beranjak dari tempat tidur, menguncir rambutku lalu menuju pintu kamar. Kubuka pintu dan kulihat Antonio sedang berdiri di depan pintu, sudah rapi layaknya pegawai kantoran yang akan berangkat kerja.
Tanpa menjawab dia menerobos masuk ke kamarku. Dengan sedikit kesal karena tidurku terganggu, kututupkan daun pintu.
Antonio ternyata membawa bubur dan teh hangat. Dia meletakkan barang yang dibawanya di atas meja. Antonio juga membawa beberapa butir apel.
"Ayo, kamu sarapan dulu. Aku sudah belikan bubur ayam untuk sarapanmu. Dan aku akan menunggumu sampai selesai makan, karena kalau tidak ditungguin bisa-bisa kamu nggak jadi sarapan. Sia-sia deh itu bubur,"
"Iya, iya, bawel amat sih. Bentar ya, aku cuci muka dan sikat gigi dulu. Aku masih enak-enaknya tidur tahu. Kamu sudah ganggu mimpi indahku,"jawabku dengan nada ketus.
Antonio cuma tersenyum dan tanpa disuruh dia merapikan tempat tidurku. Hah, dasar lelaki kalau ada maunya ya begitu.
Selesai cuci muka dan sikat gigi, aku duduk dan meminum air putih, lalu menenggak onat yang diminum sebelum makan. Memberi jeda setelah minum obat lalu mulai menyantap bubur ayam dengan perlahan. Perutku masih terasa sedikit perih, maka aku memang harus makan supaya bisa minum obat.
Kuhabiskan bubur itu dalam diam, Antonio pun tidak berkata apa-apa. Dia sibuk membereskan dan membersihkan kamarku, padahal dia sudah berpakaian rapih.
Selesai makan dan minum obat lagi, Reyvan lalu mendekatiku dan mencium keningku tiba-tiba. Ketika aku hendak protes dan membuka mulut, jari telunjuk Antonio ditempelkan ke bibirku untuk menyuruhku diam.
"Sstt.. Aku tahu kamu tidak suka, tapi aku tahu jauh di dalam lubuk hatimu masih ada aku. Aku tahu kamu akan menolakku mati-matian, karena aku memang tidak pantas lagi untukmu. Tapi aku tidak akan menyerah, karena walaupun hanya tinggal sedikit rasa itu dihatimu, aku akan berusaha memperbesarnya. Aku mencintaimu, Neta. Dulu, sekarang dan selamanya. Bisa atau tidaknya aku memilikimu, aku tetap mencintaimu. Kamu boleh kukuh tidak menerimaku, tapi aku akan tetap berusaha untuk mengisi harimu. Penolakanmu akan kuanggap sebagai hukuman buat dosaku selama ini padamu. Jadi cukup terima semua perlakuanku untukmu. Kelak jika kamu tetap tidak memilihku untuk memilikimu, aku tidak akan menyesal karena telah memujamu. Aku pergi dulu ya. Cepat sembuh, Sayangku," ucapnya sambil berlalu keluar dari kamarku sebelum aku mengucapkan apapun.
Perkataan Antonio membuat perasaanku campur aduk. Ah, sudahlah, kalau dia mau seperti itu biarkan saja, aku tetap tidak akan menyerahkan diriku padanya. Kubangun benteng pertahanan dalam hatiku, dan kukritik habis-habisan dia di dalam pikiranku. Kususun daftar kesalahan dan dosanya dulu padaku. Kulakukan itu sebagai perisai untuk menolak curahan kasih sayang darinya.
Masih memikirkan Antonio, tiba-tiba saja ponselku berdering. Di layarnya kulihat Reyvan memanggil.
"Halo, Rey"
"Gimana, Jane? Sudah lebih baik? Sudah sarapan? Mau aku kirim makanan apa buat kamu?" cerocos Reyvan.
"Satu-satu, Rey. Iya aku sudah lebih enakan, walau perutku masih terasa perih. Aku sudah sarapan, dan kamu nggak perlu kirim makanan apapun. Selain aku juga nggak boleh makan terlalu banyak, di kamarku juga masih ada buah-buahan,"
Kulirik buah apel di hadapan yang dibawa Antonio tadi.
"Oke, kalau makan siang mau apa, Jane?" tanya Reyvan.
"Aku bisa lho pesan sendiri. Udah ah, kamu kerja lagi sana. Nggak usah khawatirkan aku, Rey,"
"Tentu saja aku khawatir, kamu nggak bisa melarangku. Baiklah kalau begitu, sebaiknya kamu istirahat lagi supaya besok sudah bisa bekerja lagi."Reyvan menutup telepon.