Zaky Wijaya diantara dua wanita bernama Zaskia dan Shannon. Kia sudah dikenal sejak lama dan disayangi laksana adik. Shannon resmi menjadi pemilik hati dalam perjumpaan di Bali sebelum berangkat ke Zurich.
Hari terus bergulir seiring cinta yang terus dipupuk oleh Zaky dan Shannon yang sama-sama tinggal di Swiss. Zaky study S2 arsitektur, Shannon bekerja. Masa depan sudah dirancang namun komitmen berubah tak sejalan.
"Siapanya Kia?" Tanya Zaky dengan kening mengkerut. Membalas chat dari Ami, sang adik.
"Katanya....future husband. Minggu depan khitbah."
Zaky menelan ludah. Harusnya ikut bahagia tapi kenapa hati merasa terluka.
Ternyata, butuh waktu bertahun-tahun untuk menyimpulkan rasa sayang yang sebenarnya untuk Kia. Dan kini, apakah sudah terlambat?
The romance story about Kia-Zaky-Shannon.
Follow ig : authormenia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengikis Diterbangkan Sayap Waktu
Kia pulang dengan diantar oleh Yuga. Satu mobil hanya berdua. Daffa dan Riva sudah diajak ikut serta, namun kedua adiknya itu memilih satu mobil dengan Bapak dan Mamah menggunakan mobil rental.
Yuga hanya setengah jam berada di rumah Kia. Selanjutnya berpamitan pulang ke hotel Seruni tempatnya menginap atas referensi Kia yang menjelaskan jika hotel tersebut milik suaminya Ami.
"Kia, nanti sore temenin di hotel bisa gak? Abang gak ada teman makan dan teman ngobrol nih. Mau ya?" Bujuk Yuga yang diantar Kia hingga trotoar depan gang. Mobil sedan mewahnya terparkir di bahu jalan.
"Ya nanti minta izin dulu sama Bapak ya. Kalau diizinkan, aku meluncur."
"Berharap diizinin. Kan menemani calon suami. Apa aku balik lagi minta izin dulu ke Bapak?"
"Biar aku aja yang bilang. Nanti dikabarin."
"Okay. Bye, calon istri." Yuga mengedipkan sebelah mata.
Kia tersenyum tersipu. Melambaikan tangan begitu mobil akan melaju. Memutar badan dan melangkah lagi memasuki gang dengan hati riang. Keinginan Yuga disampaikan di hadapan Bapak dan Mamah. Ada Daffa juga yang rebahan di karpet sambil memainkan ponsel.
"Boleh asal jangan sendirian. Ajak Daffa atau Riva. Gak baik cuma berduaan di hotel. Menjaga fitnah, Kia." Sahut Bapak.
"Sama aku aja, Teh. Jam berapa?" Daffa menyahut dengan pandangan tetap tertuju pada ponsel. Sedang membalas chat satu persatu dari beberapa orang.
"Sekitar jam lima-an deh." Kia berlalu pergi ke kamarnya. Sejak tadi diantar Yuga pulang, ia langsung berganti baju dengan setelan blouse dan rok. Lebih santai dan lebih ringan dibanding busana lamaran tadi. Ada Riva sang adik yang sedang tidur siang sambil memeluk guling. Ia memang harus berbagi kamar dengan adik bungsunya itu.
Riva menggeliat begitu mendengar suara pintu lemari dibuka. Melirik ke sumber suara dengan mulut menguap panjang. "Teh, Bang Yuga udah pulang belum? Aku mau keluar males kerudungan."
"Udah." Kia menutup lemari usai mengambil gantungan baju. Akan dipakai untuk menggantungkan gaun bekas lamaran yang tersampir di meja rias.
"Aku tadi foto-foto sama A Zaky banyak. Mau lihat gak, Teh. Tadinya mau disimpan yang bagusnya aja tapi ternyata bagus semua jepretan A Daffa."
Kia urung menggantungkan gaun. Beralih menghampiri Riva yang kini duduk sila di kasur sambil memandang ponsel. Jadi kepo.
"Mana lihat." Kia mengambil alih ponsel yang dipegang Riva. Tidak sabar ingin melihat. Foto berdua Riva dan Zaky ada lima, foto bertiga dengan Daffa ada tiga, ditambah foto bertiga dimana Zaky sambil menggendong Moci dengan gaya tersenyum menyengir yang sama. Spontan ia tertular mengikuti gaya senyum itu.
Difoto ini gaya senyumnya natural semua. Tapi pas tadi ketemu kok beda, senyumnya kaku.
"Teh, umur A Zaky berapa?"
Keheranan Kia tidak sempat terucap sebab lebih dulu mendengar Riva bertanya. "Twenty six years old," jawabnya yakin.
"Aku sixteen. Beda 10 tahun. Bisa lah ya." Riva terkikik.
"Eh maksudnya apa? Dek, fokus sekolah dulu. Jangan pacaran. Teteh, A Daffa, lulus SMA tanpa pacaran. Lagian A Zaky udah punya pacar." Kia sewot kali ini.
"Ya...iya. Aku tahu. Plan dulu boleh lah ya. Siapa tahu pas aku kuliah, A Zaky putus sama pacarnya. Aku siap nikung deh. Sayang banget spek cowok kaya si Aa kalau jadi milik orang lain. Hm, beda 10 tahun oke lah, dapat cowok matang dan calon sultan. Ikutan Teh Ami yang suaminya matang and real sultan." Riva masih saja berceloteh diakhiri dengan cekikikan.
"Riva, gak boleh gitu! Gak boleh doain A Zaky putus. Bentar lagi mau lamaran." Kia berucap tegas.
"Eh, si teteh ngegas. Canda atuh Teh, canda. Ngehalu doang kan bebas kuota." Riva menyengir dengan kedua jari diangkat membentuk simbol V. "Emang pacar A Zaky siapa, Teh? Ada fotonya? Ig-nya? aku mau follow ah."
"Cantik blasteran Bali Australia. Gak punya fotonya." Kia beranjak turun lagi dari ranjang. Melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
"Ig-nya, Teh? Pasti banyak fotonya disana."
Kia menghela napas. Keinginan Riva kalau belum dituruti pasti akan terus merecoki. Ia membuka kunci layar ponselnya namun lebih dulu membuka chat yang baru saja melintas dari nomor luar negeri.
[Hi Kia, lama kita lost contact ya. Eh tahu-tahu dapat kabar dari Zaky kalau kamu lamaran hari ini. Happy engagement to Kia and Yuga. Yeay, one step closer. Aku dan Zaky rencanya Februari ini tapi kami sepakat pending dulu. Nunggu aku pulang. Ups, ujungnya malah curhat hehe]
[Once again, Happy Engagement. I'm happy for you. From Shannon ~ Washington]
Pesan dari Shannon dibaca ulang hingga tiga kali. Meresapi kata demi kata. Menggaris bawahi kata 'pending dulu'. Membuat Kia terpekur dengan bibir terlipat.
"Teh, mana?"
***
Terlambat kusadari kau teramat berarti
Terlambat tuk kembali dan tuk menanti
Kesempatan kedua yang takkan mungkin pernah ada
Zaky tersenyum miris mendengar lagu Setelah Kau Tiada milik Cakra Khan mengalun di audio mobilnya. Menyentil sanubarinya. Menohok hingga ke dasar hati. Mematikan musik lebih baik daripada menambah kegalauan. Sudah tidak ada gunanya meratapi penyesalan yang selalu datang diakhir.
"Hati yang patah bukan berarti dirimu patah. Hidup terus berjalan. Patah hati bisa bikin kita bijaksana jika mengelola mental dengan benar. Jangan mau disiksa oleh kegalauan. Semangat, Om Zaky!"
Berbekal nasihat coach Akbar itu, Zaky menutup penyesalan dengan membangun percaya diri lagi. Life must go on. Merelakan cinta pada Kia mengikis hingga tipis diterbangkan sayap waktu. Sambil menunggu apply diterima atau tidak, ia pergi ke Bandung di hari Selasa siang sesuai janjinya pada Mizyan untuk silaturahmi. Menyenangkan sekali bertemu lagi dengan anak-anak MR Architeam yang semuanya masih lengkap.
"Gabung sini lagi kan, Zak?" Joy menjadi salah satu yang ikut berada di kantin gado-gado ditraktir oleh Zaky di jam istirahat.
"Nggak, Joy. Aku mau cari pengalaman di luar dulu."
"Kau datang bukan untuk kembali tapi untuk pergi. Hiks. Patah hati adek, Bang." Rika memasang wajah sedih. Menyusut sudut mata dengan ujung lengan kemeja Bagas yang duduk di sampingnya.
"Tenang, Rika. Masih ada Roma di sini. Jangan sedih, sayang." Bagas mengusap rambut Rika mengikuti gaya film lama.
Semua orang yang berkumpul tergelak bersama tak terkecuali Zaky yang terbahak-bahak. Inilah suasana absurd yang selalu dirindukan. Memang pekerjaan arsitek butuh banyak hiburan agar tidak suntuk bergelut dengan gambar dan skala.
Baru satu jam kemudian Zaky bisa bertemu dengan Mizyan yang baru pulang meeting di luar. Bos rasa kakak itu memeluk hangat dan meminta menginap di rumahnya.
"Biar jadi surprise buat Dika. Tahu gak, Zaky. Semua tentang ETH Zurich kiriman kamu udah dibuat kolase. Ditempel di kamarnya. Buat penyemangat belajar katanya. Biar bisa dapat beasiswa seperti Om Zaky." Mizyan berbinar menceritakan tentang passion Mahardika Al Malik, anak sambungnya.
Zaky terkekeh. "Oke deh, Mas. Nanti malam aku ke rumah Mas Mizyan. Sekalian emang mau ngasih oleh-oleh buat trio M."
"Jangan malam. Sore deh bareng sama aku pulang. Kamu disini aja dulu kita kan baru ketemu. Pas sekali kamu datang ada info architectural competition skala nasional. Kamu harus ikut, Zak. Anggap ini ajang pembuktian hasil cumlaude kamu di Zurich. Kamu ikut kategori individu, aku ikut kategori company. Next ikut skala internasional di WAF. Siap terima tantangan?" Mizyan membakar semangat Zaky.
(WAF \= World Architecture Festival)
Zaky mengangguk. "Siapa takut."
***
Mobil Zaky dan Mizyan beriringan memasuki pekarangan rumah tanpa pagar. Ada dua anak yang sudah menungu di teras sambil berjingkrak-jingkrak. Zaky tidak lantas turun. Memperhatikan dulu dengan senyum ke arah dua orang anak yang menyerbu mobil Mizyan. Mentari dan Mahesa. Sepertinya sudah biasa menyambut kedatangan Papa nya pulang kerja. Berebutan bersalaman dan minta digendong. Padahal sudah pada besar.
Aku nanti pengen seperti itu. Obat lelah alami.
Zaky masih mengembangkan senyum. Bahagia Hot Daddy Mizyan menular padanya. Zaky lantas membuka mobil begitu Mizyan menunjuk mobilnya kemudian Mentari dan Mahesa menatap ke arahnya.
"Hah, Om Zaky? Seriously? Om ganteng aku datang. Aaahhhh, aku malu Papa." Mentari bersembunyi di belakang Papa Mizyan dengan gerak seperti cacing kepanasan sebab dihampiri oleh Zaky.
Zaky tergelak melihat kecentilan anak gadis bule yang baper itu. Malah Mahesa mencegah jalannya, ingin lebih dulu menyalami.
"Adek Mahesa masih ingat sama Om?" Zaky sedikit membungkuk di hadapan Mahesa yang mencium tangannya.
"Sure. Om Zaky suka diceritain sama Abang Dika. Foto Om Zaky ada di kamar Abang. Om, masuk ke rumahnya ayo gendong adek. Adek udah gede nih kuat gak gendong atau payah kayak Opa Mark." Mahesa menantang dengan gaya menyebalkan.
Zaky tergelak kemudian berjongkok menerima tantangan. Mizyan geleng-geleng kepala. Si bungsu memang foto copy masa kecilnya.
"Stop! Kakak belum salaman sama Om Zaky." Mentari keluar dari persembunyian punggung Papa Mizyan. Menahan lengan Mahesa yang akan naik ke punggung Zaky.
"Makanya jangan ngumpet. Centil sih kakak." Mahesa meledek.
Mentari tidak peduli. Ia maju menyalami Zaky diiringi senyum malu-malu.
"Mentari kelas berapa ya sekarang? Om lupa." Zaky mengusap rambut pirang anak gadis berwajah blasteran itu.
"Kelas empat, Om."
"Aku kelas satu, Om." Ucap Mahesa yang sudah nemplok di punggung Zaky.
Sebuah mobil perlahan berhenti di bahu jalan dengan membunyikan klakson satu kali. Zaky dan yang lainnya spontan menoleh.
"Om Zaky!" Seorang remaja laki-laki berteriak riang. Berlari saat turun dari mobil yang dikemudikan sopir keluarga.
"Woi, Bang Dika." Zaky meminta Mahesa turun dulu dari punggungnya. Berdiri lalu adu tos dan berpelukan dengan Dika yang pangling. Semakin tinggi.
"Om Zaky gak bilang kalau mau datang. So surprise ini sih." Dika tak menyembunyikan kebahagiannya bertemu dengan orang yang sudah dianggap idola.
Zaky terkekeh. "Ya kan sengaja surprise. Om mau nginep di kamar Dika, boleh?"
"Boleh banget. Yuk Om masuk. Aku mandi dulu abis latihan in line skate."
"Keren nih udah jadi atlet." Zaky mengacungkan ibu jarinya
"Om, janji mau gendong adek. Eits, gak bisa masuk." Mahesa merentangkan tangan mencegat di depan Zaky.
Zaky tergelak. "So sorry lupa. Ini oleh-oleh dari Swiss pegang sama Mentari ya."
"Yeay. Thank you, Om." Mentari menerima paper bag berukuran sedang sambil menggoyangkan bahu.
Keseruan di rumah keluarga Mizyan selama semalam berhasil melupakan lara hati. Zaky baru pulang esok pagi bersamaan dengan ketiga anak itu berangkat sekolah. Ia kembali pulang ke Ciamis.
Meski berada di rumah, bukan berarti pengangguran. Zaky memiliki project bersama teman asrama yang masih tinggal di Zurich. Membuat desain taman yang akan diterapkan di desa Zermatt, Swiss. Meeting virtual hampir tiap hari. Sehingga waktu tak terasa berlalu dua pekan berada di kampung halaman. Cinta pada Kia mengikis tipis diterbangkan oleh sayap waktu. Memilih merelakan. Asal Kia bahagia.
Subuh kali ini dikerjakan di rumah sebab di luar hujan deras. Dinginnya cuaca terabaikan oleh dada yang membuncah usai mengecek email. Bergegas ke luar kamar mencari keberadaan Ibu yang ternyata ada di dapur.
"Bu, ada kabar baik." Zaky merengkuh bahu Ibu dengan wajah semringah. Dari minuman yang sedang diracik, ia tahu itu disiapkan untuk Papa.
"Kabar apa tuh?" Ibu tetap melanjutkan menuangkan minuman herbal ke dalam gelas berjumlah tiga. Kemudian Papa muncul masih dengan setelan baju koko dan sarung. Duduk di kursi mini bar.
"Alhamdulillah...apply aku masuk semua, Bu. Sekarang Ibu deh yang putusin ambil yang mana. Swiss, Jepang, Singapura." Zaky memperhatikan Ibu menuangkan madu ke semua gelas yang berjajar.
"Kenapa harus ibu yang milih? Apa kamu gak pede?" Ibu selesai membuat minuman kesehatan berbahan rimpang.
Zaky membantu membawa dua gelas ke mini bar. Jadilah duduk bertiga menghadap gelas masing-masing. Tadinya mengira hanya membuat untuk Papa. "Bukan gak pede. Tapi pilihan Ibu pasti yang terbaik. Aku butuh keberkahan dari Ibu."
Ibu Sekar mengerjapkan mata yang mendadak berembun. Anak bujangnya itu memang selalu seperti itu sejak dulu. Dirinya selalu jadi prioritas dalam membuat keputusan. "Minum dulu jamunya. Mumpung hangat. Ini sangat bagus buat menjaga imunitas."
Zaky meneguk segelas tinggi minuman herbal itu hingga tandas. Memang terasa perpaduan rimpang, segar jeruk nipis dan manis madu menghangatkan tubuhnya. Ia beranjak dulu begitu mendengar ponselnya berdering di meja ruang tengah. Shannon calling.
"Assalamu'alaikum, Sha." Zaky menerima telepon dengan duduk di sofa. Sudah dua pekan baru mendengar lagi suara Shannon yang menjawab salam dengan riang. Komunikasi chat tetap berjalan meski delay dalam membalas.
"Babe, aku akan pulang early. Cause miss you so bad. Mau langsung ke Jakarta. Bisa jemput, kan?"
"Kapan?"
zaky sedekat itu sama ibu. gak pakai malu merayu istri di hadapan ibu. love love buat semua.
vcs gak perlu setiap hari biar ada kangen2 yg menggigit gitu.
lanjut lagi merencanakan acara resepsinya. ok... lanjutkan.
bapaknya Kia juga sehat terus ingatan pak Idrus kembali pulih.
abis itu aku ditarik ke kmr /Smile//Shy//Shhh//Smirk//Applaud/