Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetap menolak
“Hah?!” Kian, Keira, dan George terperangah mendengar pernyataan Devin.
“Kek, kakek bercanda ya? Aku anak tunggal kok,” protes Keira, nada suaranya tak bisa menyembunyikan keterkejutan.
“Beneran, Keira. Keenan ini abang kamu. Kembaran kamu, lebih tepatnya,” ucap Devin meyakinkan, wajahnya serius tanpa sedikit pun tanda lelucon.
“Kek, bercanda itu nggak lucu loh,” Kian menimpali, bingung sekaligus was-was.
“Ya Allah, ini nggak bercanda sama sekali! Kalau gua bohong, mati kena serangan jantung sekarang juga!” Devin menatap mereka penuh kesal. Dalam hati, ia mengutuk sahabatnya yang telah membuat hidup keluarganya serumit ini. “Norman bangke! Kalau lu nggak mati duluan, udah gue gampar lu.”
George yang sejak tadi hanya mendengarkan akhirnya angkat bicara. “Emangnya ada buktinya, Om? Saya kerja sama Bos Norman bertahun-tahun, tapi nggak pernah dengar soal Keira punya kembaran.”
Devin menghela napas panjang, lalu mengajak mereka duduk. “Sini. Biar si Keenan yang ceritain semuanya, lengkap sama bukti-buktinya.”
Keenan membuka tas kerjanya dan mengeluarkan beberapa foto lawas yang sudah menguning dimakan waktu. Salah satunya adalah foto Norman dan Wendy muda, memegang dua bayi dalam pelukan mereka.
“Kita ini memang terlahir sebagai kembaran, Ra,” Keenan mulai berbicara, suaranya berat namun lembut. “Tapi gue udah sakit-sakitan dari bayi. Papa mutusin buat bawa gue ke Swedia supaya bisa dirawat sama kakek dan nenek di sana.”
Keira menatap Keenan lekat-lekat, ekspresinya mulai berubah dari tidak percaya menjadi penuh pertanyaan.
“Kenapa selama ini nggak pernah ada yang cerita ke aku?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Keenan melanjutkan penjelasannya. “Pas gua SMA, sebenarnya gua udah boleh balik ke Indonesia. Tapi kakek tiba-tiba sakit keras, dan akhirnya meninggal. Gua jadi nggak tega ninggalin nenek sendirian. Papa juga minta gua bantu urus perusahaan kakek di Swedia.”
“Pas lulus SMA, nenek ikutan meninggal, jadinya gua pengen balik. Tapi papa gak bolehin, dan nyuruh gua ngambil alih perusahaan kakek,” Keenan menutup penjelasannya.
“Tapi kenapa gua nggak pernah ketemu lu di pemakaman kakek atau nenek?” Keira kembali bertanya, suaranya lebih pelan, namun penuh rasa penasaran.
“Pas kakek dikubur, gua lagi di Jepang buat study tour. Waktu nenek meninggal, gua lagi ada bisnis besar di Amerika. Dan mungkin alesan papa nggak mau kita tau satu sama lain, adalah papa takut kalo kita tumbuh nggak dari kecil dan ketemu pas gede, malah jadi perebutan warisan.” Keenan menjelaskan dengan penuh kesabaran.
Keira hanya diam, matanya terpaku pada foto-foto di depannya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya saat melihat senyum lebar Norman dan Wendy dalam foto. Kenangan tentang orangtuanya yang semakin samar tiba-tiba terasa hidup kembali.
Keira menundukkan kepala, menutupi wajahnya di atas meja. Kian yang duduk di sebelahnya memperhatikan dengan khawatir. Perlahan, ia mengusap punggung Keira, mencoba menenangkan tanpa kata-kata.
“Kian, tukeran tempat dulu,” bisik Keenan kepada Kian. Kian mengangguk dan berpindah posisi.
“Keira,” panggil Keenan lirih. Keira mengangkat kepalanya dan menatap kakaknya dengan mata yang sembab. Suara itu, lirihannya, begitu mirip dengan suara Norman.
“Gua boleh peluk lu?” Keenan bertanya dengan hati-hati.
Keira hanya mengangguk pelan. Keenan langsung memeluknya erat, menyalurkan kehangatan yang selama ini terpisahkan oleh jarak dan waktu. Keira menangis di pelukan kakaknya. Rasanya seperti kembali dipeluk oleh almarhum ayahnya.
Setelah suasana sedikit mereda, mereka memulai rapat untuk membahas rencana kerja sama. Waktu berjalan cepat, dan Kian yang kelelahan terus mengeluh ingin pulang. Akhirnya, rapat selesai, dan Keira memutuskan untuk tinggal di rumah keluarganya bersama Keenan dan George. Devin mengizinkannya.
......................
Sesampainya di rumah, Kian turun dari mobil lebih dulu. Wajahnya kesal, seolah menahan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Assalamualaikum,” ucapnya datar saat masuk ke rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab Grace yang sedang mengajari Tasya belajar di ruang tamu.
Tanpa berkata apa-apa, Kian langsung naik ke lantai dua dan membanting pintu kamarnya.
Brak!
Grace dan Tasya saling bertukar pandang. Devin yang baru masuk ke rumah hanya bisa menghela napas panjang.
“Abang kenapa lagi sih, Mas?” tanya Grace penasaran.
“Biasa. Energinya habis, jadinya ngambek,” jawab Devin. “Heran gua sama itu anak. Umur udah 19, tapi doyan banget ngambek. Kalau bukan otaknya jenius buat bisnis, udah gua buang ke laut.”
“Ngomong-ngomong, si Keira sama George mana mas?” tanya Grace kembali.
“Kamu tau anak pertamanya Norman si Keenan kan?” tanya Devin dan dijawab anggukan oleh Grace. “Dia baru balik dari Swedia, jadinya Keira milih tinggal sama Keenan dan George dirumah Norman untuk beberapa hari,”
Tasya menyahut dengan nada sarkastik. “Syukurlah Kak Keira nggak pulang. Nggak usah pulang sekalian.”
“Shh, nggak boleh ngomong gitu,” Grace menegur lembut.
Devin menatap Tasya tajam. “Tasya, abang-abang Kian boleh kok cinta sama istrinya. Itu wajar!”
Tasya merespons dengan suara keras, “Nggak mau tau! Aku nggak setuju kalau Bang Kian sama si yat-”
“TASYA!” Devin membentak dengan nada yang membuat Tasya terdiam seketika.
Suasana menjadi hening. Devin berusaha menenangkan dirinya, sementara Tasya berlari ke kamarnya yang berada di lantai dua bersama buku sekolahnya.
bersambung