Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 - Takdir Huruf Ba
"Kalau titiknya satu di bawah itu huruf Ba ... nah kalau titiknya dua di atas itu Ta, terus yang ini kan sama tapi titiknya tiga di atas bacanya Tsa." Sekali lagi Shanum ulangi, walau sudah tiga kali keliru dengan alasan bentuknya mirip, wanita itu seolah tidak bosan menuntun Azkara dari awal.
Benar-benar dari awal, dia hanya mengenali huruf alif sesuai pengakuannya. Kemudian huruf setelahnya jangan tanya, kadang lupa, kadang terbalik dan yang terakhir salah penyebutan.
"Titik satu ba, titik dua ta, titik tiga Sa?"
"Tsa ... agak digigit lidahnya, pakai T."
"Tttttttssssssaah," ulang Azkara dan sukses membuat Shanum memberikan jempolnya.
"Bagus, coba ulangi cara bedain yang tadi," titah Shanum sesekali memandangi Azka kemudian lanjut ke Iqra yang ada di hadapannya.
"Okay ... titik satu dibawah Ta, titik dua di atas Tsa_ eh?" Berlagak linglung, tapi aktingnya natural hingga Shanum tersenyum simpul.
"Pelan-pelan, jangan menghafal, cukup pahami saja."
"Huft sulit ya, itu titiknya kenapa beda tempat? Harusnya atas semua biar mudah diingat," celoteh Azkara layaknya anak belum sekolah.
Bisa-bisanya huruf Hijaiyah dia protes juga. Shanum yang mendengar ucapan sang suami hanya menghela napas panjang, dari sekian banyak yang belajar mengaji padanya, mungkin baru Azkara yang berani protes perkara letak titiknya hurufnya.
"Memang sudah dari sananya, takdirnya di bawah," timpal Shanum yang justru mengimbangi sang suami.
"Ah takdir ya?"
"Iya, takdir." Shanum menatap Azkara sejenak, suasana seketika hening dan mata mereka bertaut beberapa saat. "Ehm, lanjutkan lagi," ujar Shanum sengaja mengalihkan pembicaraan, pun dengan pandangan.
Dia kembali fokus ke halaman Iqra tersebut, sementara Azkara justru betah memandangi sang istri. Dengan posisi ini, mereka sangatlah dekat bahkan Azkara bisa melihat dengan jelas selentik apa bulu mata Shanum.
"Lanjut, sekarang coba baca ini."
Azkara mengerjap pelan, tertangkap basah tengah memerhatikannya, pria itu berlagak fokus seolah memang pandangannya selalu tertuju ke sana.
"Ba ... A ... Ta," ucap Azkara mengikuti arah penunjuk yang Shanum genggam.
"Ba ... Tsa ... A."
"Ta ... Tsa ... Ba."
Sedikit terbata, dan berjeda seolah-olah memang belum pernah belajar dan buta huruf sebagaimana pengakuannya, Azkara berhasil menghabiskan satu halaman setelah cukup lama.
"Sampai sini dulu, besok lagi," ucap Shanum mengakhiri pelajaran hari ini.
"Hem? Kenapa cepat sekali?"
"Rasanya tidak, kita sudah cukup lama." Shanum melirik ke arah jam dinding, tidak lupa menatap ventilasi udara yang telah menampakkan cahaya, pertanda matahari mulai terbit.
Mungkin terasa lama Bagi Shanum, tapi bagi Azkara tidak. Dia sangat betah dengan cara sang istri menuntunnya. Dapat Azkara bayangkan selembut apa wanita di hadapannya ini pada anak kecil, padanya saja begini.
Sungguh, bukan bermaksud membanding-bandingkan. Akan tetapi, memang benar adanya Shanum adalah wanita paling lembut yang dia temukan.
Maklum saja, terbiasa dengan mama yang super galak dan Kakak kandung persis burung beo jika menghadapinya membuat Azkara terkejut. Jika biasanya dia akan mendapat geplakan atau jambakan selama mengaji, di hadapan Shanum tidak sama sekali.
Tidak peduli berapa kali dia salah sebut, Shanum akan mengulang dan caranya bicara tidak berubah. Dari awal sampai akhir konsisten lembut, persis memperlakukan balita.
Melihatnya begini, ada rasa tak tega lantaran memanfaatkan kepolosannya. Akan tetapi, di sisi lain, Azkara suka hingga terbesit pikiran untuk berbohong buta huruf segala.
Padahal, tanpa melihat mushaf sekalipun Azkara mampu membacakan beberapa surah pilihan karena hapal di luar kepala. Dia yang awalnya memperbaiki diri demi seorang wanita, berakhir untuk diri sendiri. Mungkin proses Azkara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memperdalam ilmu Agama sama sekali tidak terlihat, dan memang tidak ingin dilihat.
"Baiklah kalau begitu ... a-aku ke depan ya." Bingung hendak melakukan apa, setelah Shanum mengatakan ngajinya selesai sampai di sana Azkara pamit keluar dengan alasan ingin mencari udara segar.
"Depan mana?"
"Teras, aku gerah," ungkapnya seraya membuka satu kancing bajunya.
"Mandi, Mas kalau panas ... biar nanti jam delapan kita bisa langsung pergi."
Mandi? Azkara mengerjap pelan, untuk yang satu ini dia agak berat hati. Lagi pula hendak kemana sampai harus mandi segala? Sungguh, begitulah isi hati Azkara tatkala Shanum memerintahkannya untuk mandi.
"Pergi kemana?" Azkara mengerutkan dahi, sama sekali dia tidak ingat ucapan Shanum tadi malam.
"Rumah sakit, luka kamu lumayan parah ... khawatirnya infeksi atau lainnya," jelas Shanum sembari mondar-mandir menata kembali media belajar dan juga tempat tidur mereka.
Tanpa melihat ke arah Azkara yang mengangguk-angguk dan baru memahami maksud sang istri. "Tapi apa iya harus mandi?"
"Biar nyaman ya mandi."
Azkara menggaruk kepalanya yang memang sudah terasa gatal. Dia menggigit bibir dan berusaha mencari alasan lain setelah ini.
"Tapi, aku_"
"Aku apa?"
"Tidak bawa pakaian ganti, bukankan percuma mandi tapi celana dalam tidak diganti?" tanya Azkara dan yakin betul Shanum akan menyerah jika sudah menyeret hal pribadi.
Tanpa terduga, Shanum justru membuka laci dan meraih dompetnya di sana. "Kamu biasanya pakai ukuran apa, Mas? M? L? Atau XL?"
Gleg
Pertanyaan Shanum sukses membuat Azkara terdiam, sungguh.
"XL ya?" tebak Shanum sejenak memandangi tubuh tinggi Azkara.
"Bu-bukan, L," jawab Azka kaku dan setelah mendapat informasi terkait ukurannya, Shanum berlalu pergi hingga membuat Azkara menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Impossible ... dia benar-benar pergi untuk membelinya?" tanya Azkara menatap langit kamar yang mulai lapuk itu. "Astaga, Shanum? itu semvak bukan klepon, bisa-bisanya mau beli barang begituan," lanjut Azkara lagi sembari mengusap wajah berkali saking tidak percayanya Shanum bersedia menyiapkan hal sekecil itu untuknya.
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num