Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Pertandingan selesai, tapi otak gue masih sibuk membayangkan Anan Batari bikin gol buat gue. Gue berpikir apa mungkin dia cuma bercanda, atau bisa saja dia punya pacar yang dia panggil "penyihir," dan jelas itu bukan gue.
Tapi...
Dia lihat gue?
Dia senyum ke gue?
Otak gue makin overthinking.
Gue enggak boleh terbawa perasaan, enggak boleh biarkan tindakannya menggoyahkan keputusan gue buat menjauh dari dia.
Oke, dia bikin gol buat gue, dan itu manis banget, mungkin yang paling manis yang pernah dia lakukan buat gue. Tapi itu enggak cukup. Enggak setelah semua sakit yang dia kasih ke gue.
Sebagian dari gue setuju, sebagian yang lain mau lari ke pelukannya. Tapi sisi polos gue, yang akhirnya bangkit dan ingat soal harga diri, enggak setuju sama itu. Dan gue memutuskan buat dengarkan sisi polos gue.
Lagian, gue juga takut dia bakal menyakiti lagi. Takut biarkan dia masuk ke hidup gue, terus gue babak belur lagi. Gue enggak akan sanggup. Jadi, gue enggak bakal ambil risiko.
"Eh, gokil sih tadi." Niria tabrak pinggang gue pakai sikunya sambil ketawa waktu kita jalan turun dari tribune.
"Iya, seru banget," kata Asta polos. "Menang 3-0, tuh kiper pantas banget dapet timpukkan dari penonton. Habisnya dia kepruk kakak gue."
"Kita harus rayain!" Calio mencoba pegang tangan gue, tapi Niria langsung gampar tangannya sebelum sempat menyentuh gue. "Aduh!"
"Lu pantas dapat itu," kata gue sambil mengingatkan dia, “Lagian, gue enggak suka disentuh tanpa izin”
"Siap, aman," jawab Calio.
Gue cari muka Gori. Tapi anehnya, dia kelihatan serius. Enggak kayak biasanya.
“Guys, kita harusnya nyamperin pemain buat kasih selamat.” Saran dari Asta itu benar-benar ide buruk buat gue sekarang. Gue enggak siap buat ketemu Anan.
Niria langsung menangkap momok gelisah di wajah gue. “Nah, mendingan kita langsung ke pesta kemenangan aja.”
“Pesta kemenangan?” tanya gue, bingung.
Calio Menempelkan tangannya ke punggung gue. “Masa, Lo enggak tahu sih, princess? Itu lho, pesta yang diadain tim kalau menang.”
Oh, iya.
Bagaimana gue bisa lupa sama konvoi perayaan kemenangan yang selalu diadakan Bluegard?
Gue pernah datang sekali, itu pun karena Niria yang mengajak. Di lapangan kita satu tim, tapi di luar, tetap saja banyak yang dari sekolah yang berbeda, dan jujur, kita banyak yang enggak saling kenal.
Kita jalan melewati pinggir lapangan menuju parkiran, tapi mata gue enggak bisa enggak melirik ke arah grup pemain yang lagi mengobrol. Anan ada di sana, basah kuyup sama keringat, rambutnya menempel di sisi wajahnya, sama seperti seragam basahnya yang menempel ke badan.
Serius, kenapa dia bisa kelihatan seksi banget kalau kayak begitu?
Dia melihat ke arah gue, dan gue langsung kaku. Langkah gue berhenti. Dia senyum nakal, terus melepas kaosnya dari kepala. Banyak pemain lain juga enggak pakai baju, jadi ini sebenarnya enggak aneh, tapi mata gue otomatis turun ke dada dan perutnya yang berbentuk huruf V itu. Tulisan "PENYIHIR" di kulitnya sudah pudar kena keringat. Gue cuma bisa gigit bibir.
Jangan jatuh, Zielle.
Jangan tergoda.
Gue benci hormon gue. Gue geleng-geleng kepala, buru-buru keluarkan dia dari pikiran gue, terus jalan lagi. Tapi baru saja beberapa langkah, gue menabrak Gori. “Aduh! Sori. Gue enggak liat lo!”
Gori enggak ngomong apa-apa, dia cuma langsung meraih tangan gue. “Ayo cabut dari sini.”
Gori tarik gue sampai ke parkiran, di mana yang lain sudah pada duduk di mobilnya Niria, menunggu gue. Asta duduk di kursi depan, jadi gue kebagian di belakang, diapit Gori dan Calio. Mereka berdua wangi banget. Gue memang suka cowok yang wangi.
Anan juga wangi.
Diam, hormon enggak tahu diri!
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Rumah tempat pesta ini ada di sisi timur kota, cuma sepuluh menit dari rumah gue. Dari luar saja musiknya kedengaran, bassnya sampai bikin tembok rumah dua lantai itu bergetar. Gue kaget lihat orang sebanyak ini. Gila, cepat banget geraknya kalau urusan pesta.
Hati gue menceletuk waktu kita turun dari mobil dan jalan menuju pintu masuk. Beberapa orang kelihatan nongkrong di taman depan, pegang gelas plastik di tangan mereka.
Begitu masuk, gue refleks tutup kuping. Musiknya bikin seluruh rumah bergetar. Lampu utama dimatikan, cuma ada lampu warna-warni remang-remang yang bikin suasana jadi kayak pesta Hippi.
Di ruang tengah, ada DJ kurus berambut panjang dengan tangan penuh tato, terlihat fokus sama mixing-nya.
“Ayo cari minuman!” Niria langsung tarik tangan gue biar kita enggak tersesat di tengah kerumunan.
Dapur penuh sesak, tapi entah bagaimana caranya Niria berhasil dapatkan minuman buat kita semua. Gue minum apa pun isi gelas plastik ini, tapi enggak bisa tahan otak gue buat flashback.
Gue ingat terakhir kali minum di rumah Anan, main game kejujuran, senyumnya, ciumannya.
Enggak, stop, Zielle!!
Gue ke sini buat lupain, bukan buat mikirin dia.
Seperti bisa baca pikiran gue, Niria langsung ajak gue, “Ayo, joget!”
Kita semua jalan ke tengah ruang tamu, yang sudah berubah jadi lantai dansa, terus mulai joget sambil angkat gelas ke udara. Sesaat, gue biarkan pikiran gue terbang jauh dari bayangan si “pangeran.”
Gue joget, minum, ketawa-ketiwi lihat gerakan absurd Calio, atau pipi tomat Asta waktu Niria joget di dekat dia. Rasanya kayak bebas dari semua drama dan beban hidup gue.
Gori tiba-tiba tarik tangan gue dan putar gue ke arahnya. Gue ikuti alurnya, joget bareng dia, terus taruh tangan gue di lehernya. Tapi kesalahan fatal gue, mengangkat kepala dan menatap matanya. Mata kita ketemu, dan tatapannya bikin gue lupa napas.
Gue selalu ada rasa sama dia, tapi baru kali ini kita sedekat ini.
“November” dari Mckenna Gracce mulai diputar, dengan ritme lembut bikin suasana makin aneh.
Kita mulai gerak pelan-pelan, tubuh gue dan Gori nyaris enggak ada jarak. Tangannya perlahan turun dari pinggang gue, akhirnya diam di pinggul. Napas gue mulai enggak teratur. Bibir gue sedikit terbuka, dan dia mainkan bibirnya sendiri, bikin basah.
Gue pingin cium dia.
Perasaan ini menyerang gue tiba-tiba, kayak petir yang datang tanpa aba-aba. Gori kuatkan cengkeramannya di pinggul gue, terus dia menunduk sampai jidatnya lengket ke jidat gue, hidung kita saling menyentuh.
Semua momen yang pernah kita lewati tiba-tiba muncul di kepala gue. Bagaimana cara dia selalu bikin gue ketawa, bikin gue lupa sama masalah-masalah gue, dan selalu ada buat gue. Dia sahabat terbaik gue, dan gue melihat dia kayak begitu selama bertahun-tahun.
Tapi beberapa tahun terakhir, wajah bocah polosnya berubah jadi cowok yang enggak bisa gue anggap cuma teman. Gue beberapa kali merasa tertarik, tapi enggak pernah berani melakukan apa-apa. Takut kehilangan persahabatan kita.
Gori tarik nafas panjang dan tutup matanya. “Zielle...” Nada seriusnya bikin gue tegang. Dia enggak pernah panggil nama gue, selalu "Zee." Kalau dia pakai nama lengkap, pasti ada sesuatu yang penting.
Dengan jantung yang mau copot, gue jawab pelan. “Ya?”
Dia buka mata dan langsung bilang. “Gue udah enggak tahan pengen cium lo.”
Jantung gue langsung berhenti. Tatapannya menunggu reaksi gue, dan tanpa sadar gue mengangguk, kasih izin. Gue tutup mata, merasakan napas hangatnya berhembus dan bibirnya yang hampir menyentuh bibir gue.
Saat itu juga, bayangan Anan muncul di otak gue.
Gue langsung mundur satu langkah.
Gori kelihatan bingung, mau tanya, tapi sebelum gue sempat ngomong, suara cowok pakai mic membelah keramaian. “Oke semuanya! Sekarang waktunya kita sambut para pemain kita!”
Sorak-sorai langsung memenuhi ruangan. Semua orang angkat gelas mereka, teriak-teriak histeris. Satu per satu pemain masuk, semuanya sudah mandi dan ganti baju rapi.
Mata gue otomatis melirik ke arah Anan. Dia pakai kemeja hitam yang pas di badannya. Dan sumpah, warna hitam memang enggak adil banget di dia.
Kenapa dia harus kelihatan keren banget?
Gila.
Cowok yang gue kenal sebagai kiper tim terus ngomong. “Sambut kapten kita yang malam ini kasih tiga gol yang keren banget!
“Anan! Anan! Anan!”
Kerumunan langsung bersorak namanya persis paduan suara. Gue cuma bisa menunduk sambil berharap lantai ini bisa telan gue hidup-hidup.
Si kiper merangkul bahu Anan. “Main lo keren banget hari ini, tapi denger-denger, lo sengaja dedikasiin gol itu buat cewek, ya?
“Iya!”
Orang-orang di sekitar gue pada teriak heboh. “Kayaknya kita semua pengen tahu, siapa tuh cewek beruntung yang lo maksud, kapten?”
Ada cewek dari penonton yang tiba-tiba angkat tangan. “Gue mau jadi cewek lo kapan aja, ganteng!”
Anan ketawa manis sambil geleng-geleng kepala. “Dia tahu kok siapa dia, dan itu udah cukup.”
“Buuu! Kasih tahu dong! Kasih tahu!”
Anan cuma geleng lagi terus cabut, sementara kiper timnya angkat bahu.”Udah lah, balik lagi ke party, yuk! Nikmatin aja, guys!”
DJ mulai mainkan lagu lagi, tapi suasana gue hancur. Gue merasa bersalah, soalnya tadi gue hampir cium Gori. Padahal kalau dipikir-pikir gue ini bukan siapa-siapa buat Anan. Dia bukan pacar gue, gue bebas, dong mau berbuat apa atau sama siapa saja.
Gori tiba-tiba tarik tangan gue, bawa gue melewati kerumunan orang.
“Eh, Gori!” Gue protes karena caranya kasar banget.
Begitu keluar dari rumah, dia bawa gue ke trotoar, cukup jauh dari orang-orang yang masih rame di taman.
Dia akhirnya melepaskan tangan gue, tapi gue bisa lihat dia kelihatan begitu kesal.
“Lo kenapa sih?’
“Jawab gue, please. Jangan bilang lo udah ngelakuin itu sama dia.”
“Lo ngomongin apaan sih?”
“Jangan bilang lo ngasih itu ke si brengsek itu.”
Gue langsung diam. Lidah gue kelu, enggak tahu harus jawab apa.
“Zielle, jawab gue!” Suaranya meninggi, sementara gue cuma bisa menunduk.
“Sial! Anan Batari? Si brengsek arogan itu? Yang perlakuin cewek kayak mainan? Lo mikir apa, hah?”
“Gue... Gue enggak mikir! Gue cuma... Dia...”
“Dia apa? Dia apa?”
“Gue kejebak sama perasaan gue sendiri, oke?”
“Perasaan?” Nada suaranya makin tajam, dan gue menyesal sudah ngomong itu. “Lo jatuh cinta sama dia?”
Gue ingin teriak enggak. Tapi suara itu macet di tenggorokan gue. Gori kelihatan kecewa banget, sampai rasanya sesak lihat dia kayak begitu. “Gori... Gue...”
“Jadi lo emang jatuh cinta sama dia.” Gori usap wajahnya dengan dua tangan, napasnya berat lagi tahan emosi.
Gue diam saja, enggak tahu mau ngomong apa. Perasaan gue campur aduk. Kayaknya ini momen yang paling bikin gue bingung seumur hidup gue.
Gori buka mulut lagi, dia gigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum akhirnya ngomong. “Gue suka sama lo, Zielle. Serius, gue jatuh cinta sama lo.”
Semuanya berhenti.
Dunia mendadak sunyi.
Gue cuma bisa tatap matanya, yang warnanya kayak madu, sekarang sudah berkaca-kaca.
“Dari dulu gue suka sama lo. Gue kira... gue kira kita bakal bisa sama-sama, seromantis cerita-cerita series yang udah kita tonton selama ini.” Dia ketawa kecil, tapi lebih mirip ketawa sedih. “Tapi, ya... mungkin itu cuma mimpi. Terlalu sempurna buat jadi nyata.”
“Gori...” Suara gue hampir enggak keluar.
“Gue cabut aja. Sampaiin salam gue ke yang lain, terus lo, nikmatin aja malam lo sama si idiot itu.”
“Gori, tunggu...”
Dia enggak dengarkan gue. Dia mulai jalan pergi, makin jauh. Dada gue rasanya sesak banget. Gue enggak mau dia pergi, tapi kalau dia tetap di sini, apa yang harus gue katakan?
Apa yang harus gue lakukan?
Tapi tiba-tiba, dia berhenti. Cuma beberapa meter dari gue. Terus dia balik badan, tatap gue lagi. Mata gue melebar, enggak menyangka dia malah berbalik arah. Langkahnya makin cepat, ekspresinya penuh tekad. “Ah, bodo amat!” Dia teriak.
“Gori, apaan sih lo...”
Sebelum gue selesai ngomong, dia sudah pegang wajah gue dengan kedua tangannya, terus dia cium gue.