Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 26
Hari sudah malam, untuk menghilangkan rasa penatnya, Adeline memutuskan untuk makan malam diluar, tentunya dia tidak sendiri, dia bersama Efran saat ini, karena Efran tidak pernah mengizinkan Adeline untuk pergi seorang diri.
Diwaktu yang bersamaan, Rafael yang sedang dalam perjalanan pulang pasca pertemuan dengan clientnya, ia terjebak lampu merah, kemudian kedua matanya berhasil melihat seseorang yang sangat ia kenali dan itu berhasil membuat pandangannya tertuju pada orang yang tengah menikmati makanannya didalam restaurant.
Hatinya kini merasa geram ketika melihat dua orang disana berbagi tawa disela-sela pembicaraan mereka, dan tanpa sadar Rafael mencengkram setirnya dengan begitu erat. Saat lampu sudah hijau, dia langsung menginjak pedal gasnya dengan kecepatan tinggi.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan Adeline memilih untuk segera pulang, karena besok dia harus masuk lebih awal. Beberapa hari ini Adeline benar-benar disibukkan oleh pekerjaan dirumah sakit, dia jadi sering kali ikut serta dalam melakukan operasi, padahal dirinya hanya perawat biasa.
Setibanya dirumah, Adeline sangat terkejut melihat Rafael sudah berdiri dibalik pintu, hal tersebut mengingatkan Adeline dengan kejadian kemarin malam, kejadian dimana pertama kali mereka melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri.
“Aku lapar. Kenapa kau tidak buatkan makan malam?” Sahutnya seraya menyilangkan kedua tangannya tepat didadanya.
“Jika tidak salah dengar, pagi tadi kak Rafa bilang akan makan malam dengan kak Daren dan kak Al, ‘kan? Ditambah aku pun pulang malam, jadi tidak sempat memasak.”
“Pulang malammu itu hanya jadi alasan agar kau bisa makan malam dengan dia, ‘kan?”
“Dia siapa? Efran?”
“Lupakan saja. Sekarang aku mau makan, dan buatkan sesuatu untukku.” Titahnya yang langsung berjalan menuju ruang makan. Sedangkan Adeline hanya menatap punggung pria itu seraya menghela napasnya dengan kasar.
Jam sudah larut, dan tidak biasanya Rafael akan makan ditengah malam seperti ini. Saat berjalan menuju ruang makan, Rafael terus menggerutu, karena ucapannya pagi tadi itu hanya sebuah pancingan, dan ternyata Adeline benar mengikuti ucapannya.
Menunggu Adeline memasak, Rafael duduk diruang makan seraya memainkan ponselnya, dia merasa bosan dan akhirnya memilih untuk ke ruang tengah untuk menyalakan televisi. “Aku hanya membuat tartiflette, karena aku belum membeli bahan makanan lagi,” tukas Adeline yang langsung menyimpan masakan buatannya di meja yang berada diruang tengah.
“Besok kita mampir ke minimarket untuk membeli bahan makanan.” Ucap Rafael dengan nada yang datar.
“Tidak perlu, biar aku saja yang beli setelah pulang bekerja.” Menanggapi itu, Rafael hanya berdeham. Dia pun langsung meraih tartiflette buatan Adeline. “Jika begitu aku ke kamar dulu,” Adeline menambahkan dan lagi-lagi pria itu kembali berdeham.
**
**
Akhir pekan yang terasa begitu melelahkan bagi Efran, mendengar Adeline libur, Efran memilih untuk mengambil cuti dan membersihkan apartmentnya. Dia juga baru saja kembali dari membeli beberapa barang untuk disimpan di ruang tengah.
Ketika masih sibuk merapikan barang-barangnya, ponselnya berdering menandakan panggilan masuk, dia pun segera menerimanya saat melihat siapa nama yang tertera dilayar ponselnya. “Jadi dia sudah menerimanya?” Efran to the point saat menerima panggilan tersebut.
“Saya sudah mengirimkan salinan kontraknya pada mereka.”
“Jika begitu, aku akan melaporkannya ke pak bos. Kau bisa kembali ke Berlin setelah kontrak itu selesai ditanda tangani dan bantu atasi pekerjaan disana selama kami disini.” Panggilan berakhir saat itu juga, dan Efran kembali mengerjakan pekerjaannya yang tertunda.
Sama halnya seperti Efran, Adeline baru saja selesai membersihkan rumahnya. Dia bahkan baru saja selesai makan siang seorang diri, karena Rafael sedang pergi keluar untuk mengurus pekerjaannya. Bahkan dihari libur pun dia masih harus bekerja demi bisa memulihkan beberapa perusahaannya.
Meskipun perusahaan pusatnya masih aman terkendali dan masih bisa memback-up beberapa perusahaan lainnya, tetap saja Rafael tidak akan menyepelekan masalah sekecil apapun, karena menurutnya, jika dia menganggap hal tersebut sepele dan tidak mengatasinya dengan cepat, perusahaan pusatnya pun akan terkena imbasnya, bahkan bisa ke semua perusahaannya.
"Kau baca dulu salinan kontraknya. Menurutmu ada masalah atau merasa ada yang janggal tidak?" Tutur Rafael menyerahkan dokumen pada Daren.
Daren mengecek tulisan demi tulisan dan membacanya dengan seksama, disamping itu Alvaro memeriksa hal lainnya, dia memeriksa profil perusahaan untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut bukan perusahaan gelap meskipun namanya sudah begitu terkenal.
"Biodata direkturnya bahkan tidak ditemukan dan namanya saja bahkan tidak disebutkan." Ucap Alvaro.
"Aku sudah mencari tahu soal perusahaan itu, Al. Tidak ada yang mencurigakan, dan terlebih direktur mereka memang tidak pernah menampakkan diri jika hanya mengurus kontrak-kontrak seperti kita ini." Daren menyahut seraya membalik lembaran kontrak.
"Tumben sekali. Tidak biasanya kau ikut mencari tahu soal hal seperti ini? Biasanya kau tidak ingin melakukan sesuatu yang merepotkan." Alvaro kembali menyeletuk.
"Bagaimanapun hal seperti itu penting untuk keberlangsungan perusahaan kita kedepannya."
"Jadi bagaimana menurut kalian?" Rafael membuka suara karena penasaran dengan apa yang mereka dapatkan.
"Menurutku kontraknya tidak mencurigakan, dan aku harap hal ini bisa membuat citra perusahaan kita lebih baik lagi." Daren menyerahkan kontrak tersebut pada Rafael dan meminta sahabatnya itu untuk menandatanganinya.
"Aku juga tidak menemukan sesuatu yang salah dengan perusahaannya. Kemudian, perusahaan mereka juga sudah banyak bekerja sama dengan pemerintah sana."
"Jadi, jika aku menandatanganinya, semua akan baik-baik saja, 'kan?" Rafael kembali memastikan.
"Jika kau tidak melanggar perjanjian, semua akan berjalan lancar tanpa ada kendala." Balas Daren.
"Jika sudah selesai menandatanganinya, sebaiknya kau pulang sekarang. Wajahmu sedikit pucat, untuk selanjutnya serahkan saja pada kita berdua, kau istirahat saja dulu."
Mempercayai kedua sahabatnya, Rafael memutuskan pulang setelah membubuhkan tanda tangannya di atas kontrak kerja sama yang akan dia lakukan dengan perusahaan besar di Jerman dan besok harinya Daren lah yang akan pergi menemui perwakilan D'Gchar Company.
Rafael yang baru saja tiba dirumah langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang besar miliknya. Dia bahkan tidak mempedulikan Adeline yang saat itu tengah menonton acara televisi di ruang tengah, dan Adeline yang menyadari kehadiran Rafael pun tidak menggubrisnya.
Ketika sedang asyik menonton film disalah satu channel, Adeline dikejutkan dengan suara yang berasal dari kamar atas. Tanpa pikir panjang, Adeline pun langsung bangkit dari duduknya dan memeriksa kamar Rafael.
Sebuah tiang untuk menggantung jas milik Rafael jatuh dan Adeline kembali dikejutkan saat melihat Rafael tidak sadarkan diri dekat samping lemari. Dia tidak ingin sembarangan menyentuh Rafael, terlebih pada bagian lehernya, karena dia takut Rafael akan mengalami cidera jika dirinya salah menindak.
Perlahan Adeline mengecek detak jantung Rafael dan juga nadinya. Semua normal, hanya saja pria itu demam. Setelah dipastikan semua baik-baik saja, Adeline berusaha sekuat tenaga untuk memindahkan Rafael kembali ke ranjangnya.
Tubuh mungilnya dipaksa untuk kuat menahan tubuh berat Rafael. Meski dengan menyeretnya sedikit, Adeline berhasil membawa pria itu ke ranjangnya dan ia pun lekas mengambil peralatan untuk mengompres pria yang berstatus sebagai suaminya.
"Sudah tahu sakit kenapa tidak bilang?" Gumam Adeline saat hendak menaruh handuk kecil pada dahi Rafael.