Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9 : jebakan sang produser
Malam itu, setelah Tiara bercerita panjang lebar kepada Raka, suasana kamar berubah menjadi hening. Raka tetap berada di sisinya, memberikan kehangatan dan dukungan yang sangat dibutuhkan Tiara. Meski hatinya masih terasa hancur, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Ada harapan yang kembali menyalakan mimpinya.
Saat pagi menjelang, sinar mentari mulai menembus tirai kamarnya. Tiara memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikiran dan meredakan sakit yang masih membekas. Pikirannya melayang kembali ke percakapannya dengan Putri tentang impian mereka menjadi penyanyi. Di keheningan pagi itu, suara hatinya berbicara lebih lantang daripada rasa sakit fisiknya.
"Aku mesti bangkit. Aku nggak boleh terus begini," gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, Raka masuk membawa secangkir teh hangat. "Kak, ini teh buat Kakak. Gimana, Kak? Sudah mendingan? Jangan sedih lagi, ya. Kalau Kakak sedih, Raka juga ikut sedih," ucap sang adik dengan perhatian, lalu duduk di tepi tempat tidur Tiara.
Mendengar ucapan adiknya, Tiara tersenyum lemah, merasa bersyukur memiliki adik yang begitu peduli.
Hari itu, Tiara memutuskan untuk beristirahat di rumah, mencoba menenangkan diri dan mengumpulkan kekuatan. Putri sempat mengirim pesan memberitahu bahwa manajer setuju memberikan Tiara beberapa hari libur. Kabar itu sedikit melegakan Tiara, meski ia tahu bahwa waktu istirahat ini bukan untuk meratapi nasib terlalu lama.
Menjelang sore, Tiara duduk di depan cermin di kamarnya, menatap bayangannya sendiri. Ada luka yang tak terlihat oleh siapa pun, tetapi ia tahu bahwa luka itu ada. Namun, di balik luka tersebut, ia juga melihat sesuatu yang lain dalam dirinya—sebuah keinginan kuat untuk berubah dan memperjuangkan mimpinya. Dalam hatinya, ia mulai bertekad untuk tidak membiarkan masa lalu menghancurkan semua yang ia impikan.
Saat malam tiba, Tiara kembali teringat percakapannya dengan Putri tentang menjadi seorang penyanyi. Mimpi yang dulu terasa begitu jauh, kini mulai terasa nyata. Tiara sadar, meskipun jalannya penuh dengan tantangan, ia harus mulai melangkah.
Di luar jendela, bulan tergantung rendah, seolah memberikan ketenangan pada malam yang sunyi. Tiara memejamkan mata, membayangkan dirinya di atas panggung, di tengah sorakan penonton, memegang mikrofon, dan menyanyikan lagu yang keluar dari hatinya. Bayangan itu membuatnya tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
"Demi adik dan kedua orang tuaku, aku akan berusaha untuk mewujudkan cita-citaku ini," pikir Tiara, kali ini dengan keyakinan yang lebih kuat.
Keesokan harinya, Tiara memutuskan untuk berbicara dengan Putri tentang langkah mereka selanjutnya. Ia mengajak Putri ke sebuah kafe kecil di dekat kos Putri.
Percakapan mereka siang itu dipenuhi dengan rencana besar dan impian. Meski perjalanan mereka masih panjang dan penuh ketidakpastian, Tiara dan Putri memiliki semangat yang sama. Sebuah semangat untuk mewujudkan mimpi mereka sekaligus keluar dari dunia yang selama ini mengekang mereka.
Tiara sadar betul bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Namun kali ini, dengan harapan yang tertanam kuat di hatinya dan Putri yang selalu ada di sisinya, ia siap menghadapi apa pun yang ada di depan.
Mimpi menjadi penyanyi profesional bukan lagi sekadar khayalan, melainkan tujuan pasti yang akan ia kejar dengan segenap jiwa.
Siang itu, Tiara dan Putri duduk di sebuah kafe, dipenuhi semangat dan harapan besar. Mereka baru saja membicarakan impian untuk menjadi penyanyi terkenal, namun panggilan dari manajer mereka mengharuskan mereka kembali bekerja. Tamu VIP yang datang malam itu hanya ingin dilayani oleh mereka. Meski hati mereka masih terisi dengan rencana besar, Tiara dan Putri tak punya pilihan selain kembali bekerja.
Sesampainya di club, suasana terasa seperti biasa hingga mereka bertemu dengan seorang tamu VIP yang sebelumnya tak pernah mereka temui. Tamu tersebut tampak berkelas, berbicara dengan santai namun penuh wibawa. Di tengah obrolan, ia menyampaikan sesuatu yang mengejutkan.
"Saya produser di salah satu label musik besar. Saya baru saja mendengar demo suara kalian berdua saat menyanyi. Saya tertarik dengan karakter suara kalian. Kalau kalian mau, besok saya tunggu di studio. Ini kartu nama saya," ucapnya dengan senyum penuh keyakinan.
Tiara dan Putri saling pandang, terkejut sekaligus bingung. Di satu sisi mereka senang karena kesempatan itu tampak seperti jalan menuju impian mereka, tetapi di sisi lain, ketakutan akan kemungkinan tipuan menghantui pikiran mereka.
Namun, keyakinan dari sang produser membuat mereka akhirnya percaya. Tanpa berpikir panjang, mereka pun menerima tawaran tersebut.
Keesokan harinya, Tiara dan Putri menuju alamat studio rekaman yang diberikan. Ketika tiba, mereka terpesona melihat kemewahan bangunan yang ada di depan mereka. Studio itu tampak megah, dengan desain modern dan pencahayaan yang mewah. Harapan mereka semakin tinggi.
Setelah masuk, mereka disambut dengan ramah oleh staf studio. "Selamat datang di studio kami. Silakan duduk," ujar seorang staf sambil tersenyum hangat. Tiara dan Putri duduk di sofa empuk, menunggu di lantai dua.
Beberapa saat kemudian, seorang pria yang dipanggil Pak Mike akhirnya masuk ke ruangan. "Maaf, kalian menunggu lama. Silakan minum," katanya sambil memberikan dua gelas minuman.
"Terima kasih, Pak," jawab Tiara sebelum mulai meminum air tersebut.
Namun, tak lama setelah meneguk minuman, Tiara mulai merasakan sesuatu yang aneh. Senyum Pak Mike terlihat berbeda, dan pada saat yang sama, kepalanya mulai pusing dan matanya terasa berat. Pak Mike duduk di sebelah Tiara, lalu menyentuhnya dengan cara yang tak pantas.
Tiara merasa panik. Ia melirik Putri, yang sudah tertidur. "Bapak mau apa? Jangan macam-macam! Kalau tidak, saya akan teriak!" seru Tiara, meski tubuhnya gemetar ketakutan.
Pak Mike hanya tertawa kecil, tak peduli dengan ancamannya. "Teriaklah sesukamu. Tidak ada yang akan peduli padamu," ucapnya dingin.
Hati Tiara hancur. Harapannya yang indah kini berubah menjadi mimpi buruk. Dengan sisa tenaga, Tiara menarik tangan Putri, lalu mendorong Pak Mike hingga jatuh. Mereka berdua segera berlari keluar dari ruangan.
Dengan perasaan ketakutan yang mencekam, Tiara dan Putri berlari menuju basement, berharap menemukan pertolongan. Napas mereka tersengal-sengal, tubuh bergetar hebat. Sesampainya di basement, mereka menemukan seorang petugas yang berjaga. Dengan suara bergetar, Tiara memohon, "Pak, tolong kami. Kami butuh bantuan. Tolong antar kami pulang."
Namun, alih-alih membantu, petugas tersebut justru membawa mereka kembali ke ruangan Pak Mike. Seketika Tiara dan Putri panik. "Jangan, Pak! Tolong, kami mohon!" jerit Tiara. Tapi jeritan itu sia-sia.
Di dalam ruangan, Pak Mike sudah menunggu mereka dengan senyum licik. "Tak perlu takut. Kalian pasti suka," ucapnya penuh ejekan.
Pak Mike mendekat, lalu dengan paksa menarik kemeja mereka hingga kancingnya berjatuhan. Tiara dan Putri dipaksa duduk di sofa panjang, sementara Pak Mike mulai melancarkan aksi bejatnya. Mereka tak berdaya, menjadi korban nafsu sang produser.
Setelah puas, Pak Mike memanggil karyawan lainnya. Tiara dan Putri dipisahkan, dipaksa melayani karyawan studio yang ada. Mereka hanya bisa menangis, meski tangisan mereka tak berarti apa-apa.
Beberapa jam berlalu. Keduanya keluar dari ruangan dengan kondisi tubuh yang lemah. Mereka dibawa ke suatu tempat sepi, lalu ditinggalkan di bawah pohon besar. Tubuh mereka berantakan, hati mereka hancur.
Di bawah pohon itu, Tiara dan Putri menangis tanpa henti. "Kenapa? Kenapa harus begini?" bisik Tiara di antara isak tangisnya, memandang kosong ke langit malam yang tak memberi jawaban.
Putri, yang biasanya tegar, kini hanya bisa merangkul Tiara, ikut menangis dalam hening. Impian mereka, yang dulu begitu indah, kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak terhapuskan.