Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ashin dan Nurmaya
Pukul 08.00 malam, Ashin sudah duduk di atas tanah, tepat di belakang pohon beringin tempat ia dan Nurmaya bertemu siang tadi. Kegelapan malam merengkuh penuh seantero Gunung Kawi. Ada beberapa sumber penerangan remang-remang terlihat di sana-sini. Obor nun jauh disana, lampu teplok atau ublik – botol beling diisi dengan minyak tanah atau minyak kelapa, tutup botol dilubangi dan diberi sumbu – menempel di dinding pondok terbuat dari gedeg, alias anyaman bambu. Sisanya, sumber penerangan berasal dari langit, temaram cahaya kebiruan yang menjalar lemah.
Daun pintu gubuk terbuka. Dari situ, Ashin sudah dapat mendengar deritnya. Nurmaya muncul jua, tepat di hadapan Ashin. Di tangannya, Nurmaya memegang satu piring makanan lengkap. Liur Ashin terbit, bukan hanya karena makanan yang dibawa, melainkan pada Nurmaya pula. Bagaimana tidak, gadis itu hanya mengenakan selembar kain batik lusuh yang dililitkan ke tubuhnya sebagai kemban. Itu pun tidak sungguh-sungguh mampu menutupi lekukan tubuhnya. Dengan jelas Ashin dapat melihat sepasang dadanya yang terhimpit, menonjol, serasa ingin meloncat keluar dari balik kemban. Kulitnya luar biasa indah, bersatu di dalam malam, tetapi juga terlihat jelas.
“Ashin, silahkan makan.”
Ashin tidak berpura-pura, ia langsun meraih makanan yang diberikan Nurmaya dan langsung menyantapnya sampai tandas. Nurmaya melihat Ashin makan dengan mata berbinar. Ia girang karena telah membantu remaja laki-laki itu. Walaupun bertubuh kecil, Ashin memiliki otot-otot tubuh yang liat. Nurmaya pun tak berpura-pura, ia sungguh menikmati pemandangan ini.
“Terimakasih, Nur. Aku tidak akan melupakan bantuan kau ini,” ujar Ashin terdengar tulus.
Nurmaya mengangguk. Ia tersenyum manis.
“Ehm … apa kau tadi sedang melakukan ritual?” tanya Ashin. Ia memandang tubuh Nurmaya.
Nurmaya mengangguk. “Ada lelaku yang harus aku lakukan.”
“Lalu, sedang apa kedua orang tuamu sekarang?”
“Mereka sudah beristirahat. Sudah tidur. Seharian mempersiapkan keperluan upacara dan ritual. Kalau kau, lelaku apa yang kau kerjakan?”
Ashin mengedikkan kedua bahunya. “Aku di kelenteng bawah sana, bersembahyang, meminta … ah, entahlah, meminta kepada siapa. Siapa saja yang mau memberikanku kekayaan, aku tidak keberatan. Mau dewa dewi, peri, hantu gunung, setan dan iblis sekalian pun aku terima.”
“Kalau syaratnya kau harus mengorbankan orang-orang yang kau sayangi sebagai imbalan atas permintaanmu itu?”
Ashin tertawa. Ia berdiri, berbalik arah, kemudian berjalan pelan. Ashin mengikutinya.
“Aku tak punya orang yang aku sayangi. Kalau mereka mau ambil orang tuaku, silahkan saja. Sekalian dengan kokoh-kokoh dan adik-adikku sebagai bonus.”
Nurmaya mencelos. Ia tidak menyangka segetir itu hati remaja ini.
“Kalau kau? Apa syaratnya supaya bisa mendapatkan pasangan?” tanya Ashin.
Kini keduanya berhenti, berdiri berdampingan. Ada satu dataran kecil dimana mereka dapat melihat sebagian besar wilayah gunung. Lampu-lampu redup berkelap-kelip berasal dari rumah dan bangunan-bangunan pedesaan.
“Kita berada di tempat yang tinggi, ya?” ujar Nurmaya. Kini suaranya yang terdengar getir.
Ashin berpaling menatap gadis cantik di sampingnya itu.
Nurmaya terlihat berkaca-kaca, tetapi ia tidak menangis. Ia mengangkat kedua bahu telanjangnya sedikit. Sepertinya Nurmaya menerima takdirnya.
“Aku tidak mau tidur dengan laki-laki asing demi mendapatkan jodoh, yang mana sudah pasti adalah laki-laki asing juga. Syaratku adalah menyerahkan kegadisanku kepada sembarang laki-laki yang juga melakukan lelaku di tempat ini. Bagaimana bila aku mendapatkan laki-laki setua bapakku? Yang … ah, amit-amit. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kurasa dan kupikirkan.”
Ashin mencelos. Bahkan ia sendiri tak berani membayangkan bila gadis secantik dan semenarik Nurmaya harus bergumul dengan sosok laki-laki sembarang dalam penuh dan syahwat.
Hening …
“Wuk … Wuk … Wuk …,” suara itu terdengar, hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kepekaan gaib yang tinggi.
Sang mahluk purba serupa manusia, serupa kadal raksasa, dengan belasan mata tersebar di kepala dan rongga mulutnya, merangkak cepat dari dalam kegelapan. Dengan cakarnya yang lancip dan melengkung, menancapkannya tepat ke punggung Ashin.
“Kau tidur saja denganku. Eh … mungkin, mungkin itu bisa membantu. Orang tuamu juga tidak akan peduli dengan siapa kau tidur, bukan? Dibanding kau nanti mendapatkan laki-laki tua bertubuh mengkerut dan kendur, kenapa tidak denganku saja. Walau kecil dan kurus begini, paling tidak, kita sebaya, tidak beda jauh.”
Nurmaya tersentak. Ia memandang tajam ke arah Ashin.
Ashin yang kemudian sadar dengan ucapannya yang lugas itu langsung menunduk. “Sialan. Maaf, aku terlalu lancang dan kurang ajar. Soalnya, kamu … eh, kamu menarik. Ehm … aduhai … semlohai …”
Ashin tidak memiliki pengalaman apapun dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan. Mengetahui bahwa Nurmaya harus tidur dengan lawan jenis sebagai syarat lelakunya, keinginan nalurinya yang lugas itu langsung keluar saja, terdengar lugu dan wagu.
Kini, Ashin agak menyesal telah mengucapkannya. Mau bagaimana lagi, Nurmaya memang semenarik itu.
Nurmaya meledak dalam tawa.
Ashin kini yang terkejut. Ia memandang ke arah gadis itu yang kini menatapnya tetapi tak bisa menutupi tawa. Saking serunya tertawa, ia sampai menangis.
“Apa yang lucu, Nur?”
“Kau mengajak aku bercinta?”
“Ah, aku sudah minta maaf tadi, kan?”
Nurmaya menahan laju tawanya sebisa mungkin. Ia menghapus air matanya, kemudian tersenyum lebar. “Kau tahu apa soal tubuh perempuan?”
Ashin menggeleng.
“Sudah ada pengalaman?”
Ashin kembali menggeleng.
“Nah, lucunya disitu. Kau masih lebih muda dariku, dan perempuan berkembang lebih cepat dibanding laki-laki, lho. Seumur kau saja sudah banyak temanku yang kawin.”
“Lalu, bukan berarti aku tak … ehm, tak bisa melakukannya. Gimana-gimana aku laki-laki normal, kok. Naluri saja nanti yang membimbingku. Lagipula, memangnya kau punya pengalaman? Bukannya malah syaratnya kau harus tidur dengan laki-laki sebelum mendapatkan pasangan? Terus, kalau pun aku tak punya pengalaman, apa kau mau yang punya pengalaman? Berarti tunggu saja dapat bapak-bapak, atau kakek-kakek sekalian. Semoga beruntung!”
Ashin kesal karena diejek oleh Nurmaya. Harga dirinya terluka. Masalah seperti ini memang bisa membuat laki-laki sensitif, kejantanannya ditantang.
“Eh, tunggu dulu, kok ngambek gitu kau.”
Nurmaya menyentuh lengan Ashin yang hendak berangkat pergi. Sentuhan biasa, tetapi keduanya pun tiba-tiba tahu dan merasakannya, gejolak dan letupan berahi muncul disana. Sosok mahluk purba serupa manusia serupa kadal raksasa dengan belasan biji mata di kepala dan rongga mulutnya itu kini sudah mencengkram keduanya.
“Ashin … kau tak bohong mengatakan bahwa aku … ehm, menarik?”
“Kenapa aku bohong? Memang itu kenyataannya.”
Wajah Nurmaya kembali memerah. Ia melepaskan sentuhannya di lengan kurus tetapi berotot liat milik remaja laki-laki itu. Nurmanya mundur dua langkah. Ia menatap sepasang mata sipit Ashin, tetapi kemudian berpaling. Sungguh, laki-laki Cina itu tampan.
Kedua tangannya merambat ke dadanya. Jari-jarinya meraba sempalan jarit, kemudian dengan perlahan, Nurmaya melepaskannya. Selembar jarit batik kusam yang membalut tubuhnya kini terlepas dan jatuh di tanah.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next