Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Tentu saja boleh. Kapan?" Mata Tikno terlihat bercahaya. Ia ikut bahagia mendengar rencana Dirga untuk beribadah umroh dan meminta izinnya.
"Nanti, setelah Aku resmi jadi Duren."
"Gaya, Lo! Sok keren banget!" Dirga tertawa terbahak - bahak melihat kerucut Di bibir sahabatnya ini.
"Kamu nggak mau bilang sama Nara?"
"Ngapain?" Ganti bibir Dirga yang mengerucut. Nara Itu kan bukan siapa - siapanya?
"Sama calon pacar masa' begitu?"
"Calon pacar kepala Kamu peang! Dia punya suami! Emang Aku mau jadi pebinor?" sergah Dirga kesal.
Tikno hanya tersenyum - senyum nggak jelas dalam pandangan Dirga.
"Senyum - senyum terus Kurobek mulutmu, biar Kamu Nggak bisa nyium istrimu lagi!"
"Aw - aw! Sadis, Maan!" Tikno tergelak seraya menyerahkan sebuah buku catatan.
"Semua yang mau Kamu beli udah ada situ. Tolong minta cap dan parafnya, ya."
"Aku jalan sendiri?" Dirga menggaruk kepalanya.
"Ya iya, lah! masa' mau nempel sama Aku terus? Kenapa? Takut? Apa mau kutelpon Nara biar nemenin Kamu?"
"Anjrit!" buku melayang ke kepala Tikno.
Bukannya marah, Tikno justru tertawa terbahak - bahak.
"Aku jalan sekarang!" gerutu Dirga sambil meraih kunci motor yang tergantung di dinding.
"Kok naik motor?" dahi Tikno berkerut.
"Cuma beli aja, kan? Mereka yang antar?"
"Makanya, lihat dulu catatannya." Tikno meraih buku yang tadi dilempar oleh Dirga dan membukanya. Di tunjuknya part yang perlu dilihat Dirga.
"Nih, baca!" Dirga hanya melihatnya sekilas sebelum mengambil helm dan mengenakannya.
"Segitu mah bisa dibawa pakai motor."
"Nggak ribet?"
"Nggak." geleng Dirga. Tikno menghela nafas. Ya, sudahlah.
"Mana?" tangan Dirga terulur.
"Apa?"
"Duitnya, lah! masa' mau bayar pakai daki?"
Tikno kembali tertawa. Ia membuka dompet lalu menghitung uangnya.
"Kayaknya nggak cukup. Pakai ini aja, deh!" Dirga ternganga melihat kartu debit yang diulurkan Tikno bersama secarik kertas.
"Itu nomor pinnya. Aku tulis karena Aku juga suka lupa." Cengiran Tikno menguap melihat Dirga menatapnya seakan tak percaya.
"Kenapa lagi, sih?"
Dirga menelan salivanya.
"Kamu percaya sama Aku? Kamu nggak takut kartu ini Aku gesek buat yang lain?"
"Kan ada ini." Tikno menggoyang - goyang ponselnya.
"Transaksi apapun akan muncul di sini." Gerry tersadar. Memang semestinya begitu. Ia bahkan melupakannya setelah hampir 2 tahun tak Ada lagi laporan seperti itu di ponselnya. Rasanya sudah lama sekali.
Tikno mengerti perasaan Dirga. Sahabatnya ini selalu melow kalau berurusan dengan uang.
"Aku ini percaya kok, sama Kamu." ditepuknya bahu Dirga.
"Lagian Kamu nggak bisa ngegesek kartuku kalau cuma mau beli cilok."
"Sialan!" Dirga tertawa. Kartu itu ia masukkan ke dalam dompetnya. Berdampingan dengan kartu - kartunya yang mungkin sudah kadaluarsa. Ya, dulu Dirga juga sama dengan Tikno. Mempunyai lebih dari 1 kartu ajaib di dompetnya.
"Aku berangkat, Bos!" Katanya seraya beranjak keluar.
Tikno melepas kepergian Dirga dengan senyum.
Dirga adalah sahabatnya sejak kecil. Ia sangat mengenal Dirga luar dalam. Ia juga mengerti mengapa Dirga menolak tawaran Nara untuk bekerja di perusahaannya.
"Aku takut semakin jatuh kalau tiap hari harus bertemu dengannya."
"Jatuh?" Tanya Tikno heran.
Saat Dirga memegang dadanya, Tikno tergelak.
"Sudah kuduga! Kamu ada hati sama Nara!"
Dirga tidak menyanggahnya. Ia memang jatuh hati pada perempuan tirus dan pucat itu. Sangat jauh berbeda dengan Maya. Apa sakit hati dan kecewa pada Maya membuat seleranya pada wanita berubah?
"Kenapa nggak pepet Dia terus? Kayaknya Dia juga ada rasa sama Kamu. Lumayan, anaknya direktur, lho!"
Dirga melotot. Bagaimanapun, Dia ini tetaplah laki - laki baik - baik.
"Kamu nyuruh Aku jadi pebinor? Aku nggak mau, ya? Aku udah ditikung orang, Aku benci orang seperti itu! Lalu kenapa Aku juga mau nikung orang? No!"
"Sabar, Bro. Kan Aku cuma bercanda. Ngapa sensi amat, sih?"
"Bercandaa~ bercaandaa~!" Dirga mengikuti gaya tiktoker sambil menjebik.
**************
Maya mulai merasa kehilangan. Ia seperti tidak mengenal Dirga lagi.
"Bukannya Kamu tidak pernah ingin bercerai denganku? Tapi kenapa sekarang Kamu yang begitu ngotot ingin Kita berpisah? Bukannya Kamu sangat mencintaiku?"
"Itu dulu." singkat saja tapi telah membuat hatinya patah.
Maya berusaha keras menyembunyikan airmatanya. Kesombongan menghalanginya. Ia tidak mau Dirga menertawakannya.
Maya terbiasa mendapat cinta yang luar biasa dari Dirga. Cinta yang dapat mentolerir semua kesalahannya.
"Karena Aku terlalu cinta. Aku tidak sanggup mendengar ia dengan rela dan sadar menyerahkan dirinya pada laki - laki lain." itu yang Dirga teriakkan pada dirinya, dalam rongga dadanya.
"Memang Aku terlalu ceroboh." Maya meremas rambutnya. Merutuki kesalahannya yang berakibat fatal.
Maya baru menyadarinya,
"Tidak ada orang yang mencintaiku sebesar Dia."
Dirga yang selalu mengalah dan merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginannya.
Hari ini sidang perceraian akan segera diputuskan.
Dirga masih menyimpan aibnya, ia bahkan menuding dirinya sendiri yang tidak lagi mampu menafkahi istrinya, baik lahir maupun batin.
"Saya tetap akan menceraikan Dia, Pak Hakim. Biarkan Dia bahagia dengan keputusan ini." bahkan untuk menyebut namanya pun, Dirga enggan.
Maya tercekat. Bahkan sampai detik terakhir menjadi suaminya, Dirga tetap menjaga kehormatannya di mata orang lain.
Saat palu diketuk dan menyatakan mereka sudah resmi berpisah, akhirnya airmata penyesalan mengalir di pipi Maya. Ia setengah berlari menghampiri Dirga untuk memeluknya tapi Dirga langsung menyadari gelagat Maya. Ia bergerak mundur, kedua tangannya terentang ke depan untuk menolaknya.
"Maaf, bukan muhrim lagi." dalam kemarahan yang menggumpal di dada, Dirga masih dapat bersikap santun.
"Dirga, Aku minta maaf." Dedi yang ikut menghadiri persidangan terakhir ini segera memeluk lengan Dirga dan mengajaknya langsung menuju mobilnya.
"Kita rayain, ya?" bisik Dedi. Dirga tertawa. Apa perceraian itu suatu hal yang baik sehingga harus dirayakan?
Maya tergugu di belakang mereka yang terlihat bahagia.
"Jangan langsung pulang." Dedi ingin berteka - teki saat Dirga menyalakan mobilnya.
"Kemana dulu, Pak?"
Maya kembali berlari mendengar mesin mobil telah dinyalakan.
"Dirga, Aku ingin bicara."
"Nggak ada yang perlu dibicarakan."
"Bagaimana kalau Aku ingin ketemu anak - anak?" Dirga tersenyum sinis sedangkan Dedi memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin melihat Maya ataupun ikut berkomentar karena itu yang dipesankan oleh Juwita.
"Bapak diam aja, ya. Nggak usah ikut campur kalau mereka bicara, apalagi marah - marah."
Maya mengikuti mobil yang mulai berjalan perlahan.
"Dirga, bagaimana kalau Aku ingin ketemu anak - anak? Mereka kan anak - anakku juga?"
"Kamu bisa menemui mereka kapan saja. Di rumah juga boleh, tapi itu kalau Kamu udah keluar dari sana dan lagi nggak ada Aku di sana." tegas, tidak seperti saat menjadi suaminya.
Dirga yang lemah dan selalu menurutinya, kemana Dia?
"Minggir sedikit kalau nggak mau kesenggol mobil." usir Dirga. Maya bergerak mundur dengan hati yang membiru.
*****************