"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Siapa Dia?
“Akkh… panas… panas…”
“Ma-maafkan saya Bu,” Dewi benar-benar tidak sengaja. Nasib malangnya yang kakinya tersandung sendiri ketika memberikan minuman pada Alisha.
“Dewi! Apa yang kamu lakukan?? Kenapa kau begitu ceroboh sekali?” teriak Sadewa marah dan membentak Dewi.
Puspa dan Richardo sampai terkejut dan tidak menyangka kalau Sadewa akan sebegitu marahnya.
“Sa-saya… saya ti-tidak se-sengaja, Tuan.”
“Memangnya dimana matamu??”
“Sudah, sudah. Dia gak sengaja. Aku ke kamar dulu untuk ganti baju.” Alisha berdiri dan menaikan sedikit bajunya yang basah karena air panas itu agar tidak menempel dikulit.
“Aku akan memanggil dokter, kau tunggu saja di kamarmu.” Sadewa juga berdiri, sibuk mencari ponselnya.
“Tidak perlu. Ini tidak apa-apa. Nanti sembuh sendiri.”
“Kalau meninggalkan bekas, bagaimana?”
“Gak, paling kayak melepuh dikit. Eh…? Anisha? Kamu kenapa menangis, Sayang?”
Mulut Anisha cemberut hampir menangis. Dia turun dari pangkuan Puspa, “Mba Dewi jahat! Anish benci sama Mba Dewi!” teriaknya menyalahkan Dewi sembari memeluk Alisha.
“Non, saya… saya sudah bilang kalau saya-
“Dewi, lebih baik kau kembali ke dapur, atau bersembunyi saja disana agar tidak ada yang emosi melihatmu.” Sadewa mengibaskan tangan pada Dewi, seperti mengusir serangga yang terbang didepan wajahnya.
“I-iya Tuan.” Dengan menundukan wajahnya, dan membawa nampan, Dewi pun pergi ke dapur.
“Anisha, sini sama Papa. Biar Mama-nya ganti baju dulu.”
“Gak mau! Anis mau sama Mama!”
“Mama nya kan lagi sakit disana, kalau kamu ikut, malah merepotkannya.”
Anisha melihat Alisha, “Mama gak apa-apa kok. Mama hanya ganti baju saja.”
“Sini, biar kamu sama Papa ke kamar.” Sadewa merentangkan kedua tangannya agar anaknya datang padanya.
“Tapi Dewa… tamu kamu?”
Sadewa melihat mereka berdua, “Maafkan aku, aku harus menemani puteriku dulu.”
“Oh… i-iya, tidak… apa-apa. Iya kan, Bu?”
“Iya, iya. Mungkin kedatangan kami tidak tepat waktu. Silahkan, silahkan pergi saja, karena kami juga akan pulang. Oh iya, ada bingkisan yang kami bawa, tolong nanti diberikan pada Anisha.”
“Ya, tentu. Terima kasih dann mohon maaf.”
‘Mohon maaf? Aku yakin dia tidak benar-benar sedang minta maaf. Wajahnya saja datar begitu.’ Pikir Richard dan Puspa.
Akhirnya, walau tidak diinginkan, Anisha, Alisha dan Sadewa pergi menaiki tangga menuju kamar tempat Alisha.
Sadewa yang menggendong Anisha, berjalan ditangga mengikuti Alisha. Orangtua Miranda masih tak percaya dengan tingkah Sadewa yang mengusirnya secara tidak langsung.
‘Tapi, kenapa aku seperti pernah melihat gadis itu ya? Tapi… dimana?’ pikir Puspa memaksa otaknya untuk berpikir keras.
*
“Oke! Cukup sampai di sini!” Alisha menempelkan telapak tangannya didada Sadewa yang hendak masuk ke dalam kamarnya.
“Kenapa?”
“Hah? Kenapa? Anda serius menanyakan itu? Aku kan mau ganti baju, masa anda harus ada di sini? Apa anda mau melihatnya?”
“Apa? Ah… tidak. Anisha, kita menunggu di luar-
“Gak mau! Anish kan peyempuan. Biyal Anis saja yang masuk. Boleh kan, Ma?”
“Oh kalau untuk Anisha tentu saja boleh. Ayo Sayang.” Setelah menerima Anisha, Alisha menutup pintunya, ‘Apakah aku baru di usir dari rumahku sendiri?’
“Hey, aku akan memanggil dokter, jadi kau harus sudah selesai berganti pakaian-
Ceklek!
Alisha membuka pintunya lagi, “Tidak perlu, Tuan. Kan aku sudah bilang, ini hanya luka kecil saja-
“Aku tidak perduli. Kalau kau sakit dan gak bisa turun dari tempat tidurmu, anakku akan terus merengek karenamu.” Sadewa bersikeras menghubungi dokter.
Alisha membuka pakaiannya dan melihat bagian yang terkena air panas itu di depan lemari kaca.
“Mama, itu meyah banget. Kayak digigit nyamuk.” Kata Anisha menunjuk bagian dada Alisha yang terkena air panas tadi.
“Pasti sakit banget ya Ma?”
“Enggak kok Sayang. Ini hanya merah saja, tapi sudah gak sakit lagi.” Dia tidak mau Anisha khawatir padanya.
Tok! Tok! Tok!
“Alisha, aku membawakan dokter untukmu. Kau sudah berganti pakaian kan? Biarkan kami masuk.”
‘Akh… memang orang yang keras kepala sekali.’
Sambil menggendong Anisha yang terus menempel padanya, Alisha membuka pintu.
“Anisha, kenapa kamu masih digendong? Kan mamanya lagi sakit. Sini turun.” Sadewa mengambil Anisha, dan untungnya anak itu tidak menangis.
Dokter yang dibawa, berjenis kelamin perempuan.
“Hallo Nona Alisha, perkenalkan nama saya Riani. Saya dan Sadewa dulu teman SMA, jadi kami sangat dekat.”
Alisha melihat Sadewa yang tidak memungkiri tentang apa yang Riani katakan.
“Hallo juga, saya… Alisha. Saya pengasuh Anisha sekarang.”
“Wah… tapi kok tadi…” merasa curiga, Riani melihat Sadewa, dan Anisha.
‘Aku tahu apa yang dia pikirkan saat ini.’
“Riani, cepat kau periksa saja dulu dia. Siapa tahu kulitnya ada yang melepuh.”
“Mana ada ya.” Alisha berbohong.
“Ya, ya, biar dokter sendiri yang menilainya.” Kata Sadewa.
Alisha disuruh berbaring di tempat tidur, “Yang mulia, bisakah kau berbalik badan dulu? Apa anda sengaja ingin melihat saya?”
“Dasar cerewet! Aku akan disini, tidak akan kelihatan.”
‘Ada apa dengan mereka berdua ini? Apa mereka sepasang kekasih? Tapi kata Sadewa, mereka awalnya tidak saling kenal.’
“Astaga, kulit anda memang melepuh, Nona Alisha.” Dokter Riani sampai terkejut ketika memeriksa lukanya.
“Tuh kan, apa aku bilang.” Sela Sadewa.
“Ini… kalau tidak segera diberi krim luka dan obat dari dalam, bisa berbekas dan warna kulit jadi tidak sama. Untungnya Sadewa cepat-cepat memanggil saya.” Tambahnya lagi. Sadewa semakin besar kepala karena merasa dirinya hebat.
“Ya ampun, sebegitu parahnya ya?”
“Mama…”
“Tenang Anisha, Mama kamu gak sampai mati kok. Buktinya dia masih hidup kan?” ucap Sadewa.
‘Nih, anak ini memanggilnya ‘Mama’ lagi. Berarti aku tidak salah dengar kan?’
Kalau orang-orang yang melihat, Sadewa dan Alisha seperti anjing dan kucing, tapi terkadang seperti Romeo dan Juliet.
Dokter Riani selesai memeriksa dan memberi obat dua jenis, untuk diminum dan dioleskan.
“Sudah selesai. Hindari gesekan-gesekan dulu sampai lukanya mengering.” Kata dokter memberi saran.
“Terima kasih, Dokter.” Ucap Alisha.
“Iya, sama-sama. Sadewa, aku ingin bicara padamu, bisakah kau mengantarkanku kebawah?”
“Boleh. Anisha, kamu jangan ganggu mama-mu dulu.”
“Iya Pa.”
Sebelum pergi, dokter Riani kembali melihat Alisha dan Anisha lagi, ‘Dan mereka berdua seperti… ada hubungan yang sangat dekat. Tapi… apa ya?’ pikirnya.
“Ada apa, Riani? Dari tadi ekspresi wajahmu terlihat kebingungan begitu?” tanya Sadewa setelah mereka sudah berada di luar kamar.
“Sadewa, apa kau yakin kalau wanita itu bukan ibu kandung dari Anisha?”
“Hah? Apa? Apa maksudmu?”
‘Kenapa dia malah jadi kebingungan begitu?’
“Maafkan aku. Tapi… sekilas, hanya sekilas saja, aku merasa, Anisha dan… nona tadi, terlihat sangat mirip sekali, apalagi dari… samping.”
“Hahaha…” Sadewa tertawa sebentar, tapi ikut memikirkannya juga.
“Sadewa, di mana sebenarnya ibu kandung dari Anisha?”