Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Catur
Belle menatap ibunya dengan senyum lemah. "Aku baik, Bu, tapi rasanya... agak sepi di sini." Ia menghela napas pelan. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang, dan semakin hari, semakin sulit untuk menahannya."
Ibunya terdiam sejenak, mengerti apa yang Belle maksudkan. Mereka berdua sama-sama tahu bahwa kesepian yang Belle rasakan bukan hanya karena ia berada jauh dari rumah, tapi juga karena posisi mereka dalam keluarga ayah Belle yang selalu menjadi rahasia.
"Sayang, hidup kita memang tidak mudah, tapi kamu sangat kuat. Kamu telah melalui begitu banyak hal yang mungkin tak semua orang bisa hadapi," ujar ibunya dengan penuh kasih. Wajahnya sedikit menegang, menahan emosi. "Tapi kamu harus tahu, tidak peduli seberapa jauh kamu pergi, aku selalu ada di sini untukmu. Aku selalu mendukungmu."
Belle mengangguk pelan, meski masih ada rasa berat di hatinya. "Tapi, Bu... Kadang aku merasa aku seperti hantu. Tidak ada yang tahu siapa aku, atau siapa kita. Semua orang melihatku hanya sebagai 'gadis kaya' yang tinggal di luar negeri, tapi mereka tidak tahu cerita di baliknya."
Ibunya menatap Belle dengan tatapan penuh kasih. "Kamu bukan hantu, Belle. Kamu anakku, dan kamu istimewa. Mereka mungkin tidak tahu, tapi itu tidak mengubah siapa kamu sebenarnya. Dan suatu hari nanti, kamu akan menemukan tempatmu di dunia ini, tanpa harus bersembunyi."
Perkataan itu membuat hati Belle sedikit lebih ringan. Namun, di balik semua nasihat itu, ia tahu ibunya juga menyimpan perasaan yang sama. Hidup mereka terlalu rumit, diikat oleh rahasia yang sulit untuk dipecahkan. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada bagian dari percakapan yang terselubung oleh kesedihan yang mendalam, seolah-olah ada dinding tak kasatmata yang tak bisa ditembus.
"Ibu, apa Ayah pernah bicara tentang... kita?" Belle bertanya hati-hati, pertanyaan yang sudah lama ia pendam.
Wajah ibunya seketika berubah, sedikit muram, tapi tetap berusaha tenang. "Ayahmu... selalu sibuk. Kamu tahu itu," jawab ibunya sambil tersenyum tipis, namun mata Belle menangkap jejak kesedihan di sana. "Dia masih peduli, Belle. Dia hanya... tidak tahu bagaimana caranya."
Belle tahu bahwa ibunya mencoba melindunginya, tapi di dalam hati, ia selalu merasakan bahwa pernyataan itu hanya sebagian dari kebenaran. Ayahnya, seorang pria berpengaruh yang tidak pernah benar-benar hadir, selalu meninggalkan mereka dalam bayang-bayang keluarga pertamanya yang lebih dihormati dan diakui.
"Terkadang aku ingin kita bisa seperti keluarga lain, Bu. Yang tidak harus bersembunyi," Belle berkata lirih, perasaan terpendamnya tumpah begitu saja.
Ibunya terdiam sejenak, lalu berkata dengan lembut, "Aku juga menginginkannya, sayang. Tapi hidup kita sudah seperti ini. Kita hanya bisa berusaha menjalani yang terbaik dari apa yang kita miliki."
Setelah beberapa saat berbicara, mereka berdua mengucapkan selamat tinggal dengan rasa rindu yang lebih dalam dari sebelumnya. Panggilan video itu terputus, dan Belle duduk diam di kamar, memandangi layar yang gelap. Pikirannya berputar, antara percakapan dengan ibunya dan pertemuannya dengan Draven. Dua dunia yang berbeda, tapi entah bagaimana keduanya membuatnya semakin merenung tentang identitas dan hidupnya yang sebenarnya.
Belle menarik napas panjang dan berbaring di tempat tidur. Pandangannya menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh pertanyaan. Di kota yang jauh dari rumahnya, Belle bertanya-tanya apakah ia akan menemukan jawabannya jawaban tentang siapa dia sebenarnya dan apakah ia bisa mengubah takdir yang telah lama ditentukan keluarganya.
***
Draven duduk di sofa ruang tamu penginapan mewah yang mereka sewa bersama. Udara malam Manchester masih dingin, tapi ruangan itu terasa hangat, kontras dengan suasana yang baru saja ia alami di luar. Teman-temannya sedang bersantai, tertawa, dan menikmati malam, tapi pikiran Draven melayang. Wajah wanita asing yang ditemuinya di gang beberapa jam lalu terus terngiang di benaknya. Belle, nama yang ia ingat jelas, meskipun pertemuan mereka singkat.
"Dia berbeda," pikir Draven, tanpa sadar memutar gelas bir di tangannya. Ada sesuatu tentang cara Belle menatapnya dengan tulus bukan seperti orang lain yang biasanya mendekatinya karena uang atau statusnya. Dia merasa ada ketulusan dalam perhatiannya yang sederhana. Dan entah kenapa, itu membekas dalam pikirannya.
Tiba-tiba, tawa salah satu temannya memecah lamunannya. "Draven, ada telepon dari tunanganmu!" seru Nathan, salah satu teman terdekatnya, dengan nada bercanda. "Ayo, jawab sebelum Paula mengamuk!"
Draven mendengus, kesal, saat mendengar nama itu. Paula Sissy Damian. Seorang wanita cantik dan ambisius dari keluarga terpandang. Keluarganya memiliki hubungan bisnis dengan keluarganya, dan pertunangan mereka adalah bagian dari kesepakatan itu. Mereka tidak pernah benar-benar saling mencintai bagi Draven, hubungan itu hanyalah beban tambahan dalam hidupnya yang sudah penuh dengan harapan dan tekanan dari keluarganya.
"Biarkan saja," Draven menggerutu, mencoba mengabaikan telepon yang terus berdering. Namun, teman-temannya terus menggodanya.
"Ayo, jangan bersikap seperti pengecut. Paula pasti sudah merindukanmu," ledek Jason sambil tertawa.
Draven mendesah panjang, lalu akhirnya meraih ponselnya dengan rasa jengkel. Ia menatap layar ponselnya yang memunculkan nama "Paula" dengan emoji hati di sampingnya, sesuatu yang dulu Paula paksa dia tambahkan di kontaknya. Draven menggeser layar untuk menjawab, tapi wajahnya sudah menunjukkan ketidaknyamanan.
"Draven?" Suara Paula terdengar tajam di ujung telepon. Tidak ada sapaan hangat, hanya nada penuh tuntutan yang langsung menusuk telinga Draven.
"Ya, Paula," jawab Draven datar, berusaha menahan nada bosannya. Dia berdiri dari sofa dan berjalan ke balkon untuk menghindari tatapan teman-temannya yang masih tertawa kecil di belakangnya.
"Kamu di mana sekarang? Sudah hampir seminggu kita tidak bicara. Kamu bahkan tidak memberitahuku rencana liburanmu. Apa kamu lupa kalau kita sedang merencanakan pesta pertunangan?" Paula berbicara cepat, nadanya penuh keluhan. Draven bisa merasakan tekanan di balik kata-katanya, tekanan yang selalu ada setiap kali mereka berbicara tentang masa depan.
"Aku di Manchester dengan teman-temanku. Kami sedang berlibur. Aku sudah bilang minggu lalu," jawab Draven, mencoba untuk tetap tenang meskipun kesabarannya sudah menipis.
"Liburan? Dengan teman-temanmu? Dan kamu tidak mengajakku?" suara Paula semakin tinggi, seolah tidak terima bahwa Draven memilih menghabiskan waktu tanpa dirinya. "Kamu harusnya bersamaku. Kita harusnya mempersiapkan pesta besar itu bersama!"
Draven menutup matanya, merasakan sakit kepala yang mulai datang. Pesta besar itu, pertunangan yang Paula impikan, adalah hal terakhir yang ia inginkan saat ini. Di satu sisi, ia tahu ini penting bagi keluarga mereka, bagi bisnis mereka. Tapi di sisi lain, hatinya tidak berada di sana. Terutama setelah pertemuannya dengan Belle, Draven semakin merasa jauh dari hubungan yang ia jalani dengan Paula. Tidak ada kehangatan, tidak ada cinta yang tulus—hanya sekadar kewajiban.
"Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, Paula. Ini hanya sementara. Setelah ini, kita bisa membahas apa pun yang perlu kita bicarakan," jawabnya, mencoba meredakan situasi.
"Tapi, Draven, kamu selalu seperti ini! Selalu ingin lari dari tanggung jawab. Aku tidak mengerti kenapa kamu tidak bisa fokus pada hubungan kita!" Paula mulai terdengar frustrasi. Dia selalu ingin kontrol penuh, selalu ingin Draven ada di sisinya setiap saat, memastikan segalanya berjalan sesuai dengan keinginannya.
Draven menggigit bibirnya, menahan amarah. Ia tahu bahwa Paula tidak akan pernah benar-benar mengerti. Bagi Paula, segalanya adalah soal penampilan, soal status. Sementara Draven semakin merasakan bahwa hidupnya hanyalah sekadar permainan catur yang diatur oleh keluarganya dan keluarga Paula.
"Paula, aku akan bicara lagi nanti. Aku tidak ingin berdebat sekarang," potong Draven dengan nada dingin. "Nikmati saja malam ini. Kita bisa bicara tentang pesta itu nanti."
Tanpa menunggu balasan, Draven segera memutus panggilan. Dia menatap ponselnya sesaat, merasa lega sekaligus lelah. Setiap kali berbicara dengan Paula, ia selalu merasa terperangkap. Perasaan itu semakin kuat belakangan ini dan pertemuannya dengan Belle hanya memperjelas betapa terasingnya ia dari hidup yang sebenarnya ia inginkan.
Draven menyandarkan dirinya ke pagar balkon, menatap bintang-bintang di langit Manchester yang gelap. Di tengah kota yang besar dan ramai ini, ia merasa seperti kehilangan arah. Di satu sisi, ada Paula dan semua tuntutan keluarganya. Di sisi lain, ada dirinya sendiri dan mungkin juga Belle, gadis asing yang hanya sebentar ia temui tapi meninggalkan kesan yang begitu mendalam.
Apakah hidupnya akan selalu seperti ini? Selalu diatur oleh orang lain, tanpa kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri?
Draven menghela napas panjang, lalu kembali masuk ke dalam kamar. Teman-temannya masih bercanda dan tertawa, tanpa tahu bahwa di dalam dirinya, ada perang yang terus berkecamuk. Draven tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih. Dan kali ini, mungkin ia harus memilih bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus