Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Terlambat
"Pilihanmu hanya dua, Cakra atau Kama."
Belum usai kegelisahannya, Ameera tiba-tiba dihadapkan dengan pilihan yang sama sekali tidak bisa dia hindari. Jika ditanya siapa, antara dua nama itu jelas saja hatinya dengan mantap memilih Cakra. Sayangnya, untuk menyampaikan hal itu Ameera memiliki keraguan tentu saja.
Ragu andai perasaannya memang bertepuk sebelah tangan, alangkah malu dirinya karena dengan jelas melanggar perjanjian yang dia ciptakan sendiri. Sebagai wanita, jelas saja dia gengsi dianggap menjilat ludah sendiri karena kekalahan dan berakhir melibatkan perasaan.
Kendati demikian, ketidakjujuran Ameera pada sang papa membuatnya tidak punya pilihan lain, satu-satunya cara adalah menghubungi Cakra. Bukan tanpa alasan sebenarnya, selain perihal hati dia juga enggan andai harus dipersatukan dengan Kama dalam ikatan pernikahan.
"Tidak ada salahnya menghubungi lebih dulu, Ameera ... ayo telpon apa susahnya!!" kesal Ameera pada diri sendiri, dia seakan frustrasi seraya menatap layar ponsel lantaran berperang dengan kata hatinya.
Setelah malam itu Cakra memang tidak menghubungi sama sekali, bahkan hanya untuk membalas statusnya sekalipun, padahal Ameera mengunggah segala sesuatu hanya untuk Cakra seorang. Kepekaan Cakra yang benar-benar menghilang sangat wajar membuat Ameera yakin jika Cakra tidak memiliki perasaan yang sama.
Cukup lama dia berperang dengan egonya, hingga Ameera benar-benar memantapkan niat untuk menghubungi Cakra. Wajahnya tampak tegang, seolah akan bicara empat mata, gugupnya memang sama. Hingga, ketegangan dan rasa gugup itu berganti dengan kebingungan dan raut wajahnya bak menelan kekecewaan.
Kalimat yang sudah Ameera persiapkan beberapa saat lalu agaknya percuma. Entah kemana saja Ameera sampai tidak sadar dari kemarin, baru dia ketahui detik ini jika nomor ponsel Cakra tidak lagi dapat dihubungi. Bukan hanya diluar jangkauan, tapi justru tidak lagi terdaftar.
Pertanyaan tentang kemana dan kenapa terus memenuhi pikiran Ameera. Berbagai dugaan menyerbu hingga wanita itu bahkan sukar untuk menyimpulkan. Tidak bersedia dihubungi atau sedang terjadi sesuatu hingga tidak bisa dihubungi seolah berperang dalam benaknya.
Tidak selesai di sana, Ameera memastikan Cakra lewat akun sosial medianya. Namun, yang dia saksikan sama bahkan tidak ada aktivitas apa-apa di akun Cakra sejak beberapa waktu lalu, tepatnya ketika mereka masih bersama.
Unggahan terakhir pria itu masih sama, foto berdua setelah Cakra kelewatan dalam bercanda. Masih Ameera ingat betul alasannya mengunggah foto tersebut, sebuah permintaan maaf lengkap dengan keterangan terlampau manis yang membuat Ameera tidak bisa tidur nyenyak karena terbawa perasaan hanya dengan kalimat "Bahkan dalam keadaan marah, cantikku masih sama gemesnya."
Jika kemarin Ameera tersenyum dan salah tingkah tiap kali membacanya, kali ini dadanya justru terasa sesak hingga tanpa sadar air mata membasah di pipinya. Pertama kali dalam hidup Ameera, dia menangis padahal tidak sedang disakiti, tidak pula dikhianati dan bukan karena tidak dihargai.
"Cakra ...."
Sejak kemarin selalu ditahan, nama itu akhirnya lolos di antara isakan tangis yang kini benar-benar pecah. Ameera menggenggam erat ponselnya sebelum kemudian kembali mencoba menghubungi Cakra dengan berbagai cara, tangan Ameera bergetar dan tatapannya bahkan terhalang genangan air mata.
Sadar jika usahanya akan sia-sia, Ameera memilih jalan pasti. Tidak peduli sekalipun sudah mulai larut, wanita itu beranjak dan meraih jaketnya segera. Seperti biasa, jika sedang dalam keadaan tergesa Ameera seolah tidak peduli siapa yang dia lewati.
"Astaga, Ameera!! Jalan pakai mata!!"
Pikirannya kacau, pandangan Ameera juga tidak terlalu jelas jadi mana tahu dia jika Zean ingin naik tangga dengan membawa air hangat ke lantai dua. Bahkan, untuk menolong Zean yang terkapar di lantai dia juga tidak sempat, toh tidak terlalu tinggi juga.
Ameera berlalu dengan sangat tergesa, penjaga gerbang utama bahkan dibuat mengelus dada kala dia melaju dengan kecepatan tinggi seakan tengah mendapati malapetaka. "Ayolah, cepat sedikit."
Ameera sudah melaju dengan kecepatan paling tinggi yang pernah dia coba, tapi wanita itu seakan merasa tetap lambat juga. Waktu beberapa menit seakan berjam-jam, bahkan ketika tiba di apartemen Cakra dia juga tetap berlari dengan begitu cepatnya.
Napas Ameera tampak terburu, dadanya naik turun lantaran jantung yang kini berdegub tak karu-karuan. Tiba di unit apartemen Cakra, wanita itu segera membuka pintu utama mengingat dia juga mengetahui akses masuknya.
"Cakra!!"
Sejak tadi firasatnya sudah tidak baik-baik saja, ada sesuatu yang aneh dan tidak bisa Ameera mengerti sebabnya. Dan detik ini, keadaan di dalam seakan menjadi jawaban atas pertanyaan yang membelenggu hati Ameera.
Lututnya lemas, Ameera masih terus berteriak memanggil Cakra sembari tidak berhenti melangkah dan menelusuri tempat itu dengan tatapan sendunya. Tidak ada yang hilang, semua masih terlihat sama, tapi jantung Ameera seakan remuk begitu melihat lemari pakaian Cakra bersih tanpa sisa, tidak ada satupun pakaian yang dia biarkan berada di sana.
"Kamu benar-benar pergi? Tanpa pamit sama sekali?" Ameera bermonolog dalam kesendirian seraya menghapus kasar air matanya.
Dia pernah diselingkuhi, bahkan melihat dengan nyata Julio bercinta dengan wanita yang juga dia kenali. Namun, tidak sesakit ini, sakitnya ditinggal Cakra terasa berbeda hingga dia sempat kehilangan arah.
Sama sekali dia tidak menduga, jika pamitnya Cakra bukan pamit biasa, melainkan benar-benar pergi tanpa Ameera tahu tujuannya. Wajar saja sebelum berpisah Cakra menghabiskan waktu sebaik mungkin dengannya, bahkan sempat memotong kuku Ameera dengan alasan tidak suka melihatnya.
"Aaaaarrrggghhh!!!"
.
.
"Hah? Masa iya? Beberapa hari lalu masih ketemu, Kak ... kami bahkan baru tahu saat ini."
Setelah semalam dia mencari keberadaan Cakra ke apartemen, pagi ini Ameera nekat mendatangi teman kost Cakra dahulu. Dia sempat menduga jika Cakra kembali lantaran tidak suka di apartemen pemberiannya, tapi tetap sama saja, nihil.
Bahkan, baik Alan maupun Jovan justru sama terkejutnya begitu mendengar pertanyaan Ameera. Wajah Ameera semakin lesu saja, terlebih lagi tadi pagi Papa Mikhail kembali mendesak dan mengharapkan kedatangan Cakra segera, jika tidak sudah tentu Ameera harus menerima resikonya.
"Apa kalian punya nomor keluarga atau ...." Ameera memejamkan mata, dia lupa jika Cakra tidak punya sanak saudara, dia juga tidak bercerita tentang asal usul hingga Ameera benar-benar bingung dibuatnya.
Sesuai dugaan, kedua teman Cakra tidak bisa memberikan informasi lebih tekait Cakra. Tidak ada cara lain, untuk saat ini Ameera harus tetap pulang mengingat project baru yang sudah direncanakan jauh-jauh hari akan segera dimulai.
"Bagaimana? Dia benar-benar pergi, Nona?"
Ameera tersenyum kecut, dia menatap ke arah Mahendra yang tampak prihatin melihatnya. "Iya, aku ditinggal bocah, Mahendra."
"Lalu bagaimana? Apa Nona bersedia menikah dengan Kama?"
Tanpa pertimbangan, Ameera menggeleng pelan, sampai kapanpun dia tidak akan mau karena baginya Kama hanya nyaman sebagai rekan kerja, bukan pasangan. Walau sedikit lucu dan mungkin terkesan gampangan, dia masih berharap Cakra kembali datang padanya untuk mendengar sendiri apa yang tengah dia rasa.
"Aku terlambat, seharusnya langsung saja kuakui, 'kan?"
Tidak ada yang bisa Mahendra ucapkan untuk membuat Ameera sedikit lebih tenang, tapi jelas dia tidak akan diam saja. "Jika saya mengantarkan Anda pada Cakra bagaimana?" tanya Mahendra seketika membuat Ameera menoleh. "Tapi ... saya tidak yakin Anda mampu menghadapi kenyataannya, Nona," lanjut Mahendra dan kali ini dada Ameera panas seketika.
"Ma-maksudnya?"
.
.
- To Be Continued -