Lavina tidak pernah menyangka akan dijodohkan dengan seorang duda oleh orang tuanya. Dalam pikiran Lavina, menjadi duda berarti laki-laki tersebut memiliki sikap yang buruk, sebab tidak bisa mempertahankan pernikahannya.
Karena hal itu dia menjadi sanksi setiap saat berinteraksi dengan si duda—Abyan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Lavina mulai luluh oleh sikap Abyan yang sama sekali tidak seperti bayangannya. Kelembutan, Kedewasaan Abyan mampu membuat Lavina jatuh hati.
Di saat hubungannya mulai membaik dengan menanti kehadiran sosok buah hati. Satu masalah muncul yang membuat Lavina memutuskan untuk pergi dari Abyan. Masalah yang membuat Lavina kecewa telah percaya akan sosok Abyan—duda pilihan orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my_el, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duda 26
Hari kedua Abyan dirawat, kini keadaan pria itu semakin membaik. Terlebih, dia ditemani oleh Lavina yang sepanjang waktu. Pagi ini, dia sudah mendapati sosok Lavina yang sudah menyiapkan sarapan untuknya, yang dia dapat dari kiriman orang tuanya.
“Lav,” panggil Abyan pelan dengan senyuman hangatnya.
“Udah bangun? Aku lap dulu badannya, ya, biar gak lengket,” ujar Lavina dengan mengambil handuk kecil yang sudah ia basahi sebelumnya.
Tanpa menunggu jawaban Abyan, Lavina segera membersihkan tubuh sang suami. Sementara Abyan tak banyak bicara, membiarkan istrinya melakukan apa pun padanya. Karena sungguh, dia menikmati segala bentuk perhatian Lavina yang dua minggu ini tak dia dapatkan.
Setelahnya, Lavina dengan sigap mengambilkan makanan untuk Abyan makan. Dengan telaten wanita hamil itu menyuapi sang suami, seakan di antara mereka tak terjadi suatu masalah.
“Kamu harus makan juga, Lav,” lontar Abyan memecah keheningan yang terjadi.
“Iya, gantian.” Lavina menjawab seadanya, dan terus menyuapi sang suami makanannya hingga habis. “Minum obatnya dulu,” imbuhnya lagi yang langsung diiyakan oleh Abyan.
“Lav, apa kamu sudah memaafkanku?” Pertanyaan yang sedari tadi Abyan tahan, akhirnya lolos dengan sempurna begitu dia selesai menelan obatnya.
Sontak saja hal itu menghentikan pergerakan Lavina yang hendak menaruh handuk bekas lap Abyan ke kamar mandi. Wanita itu menoleh, menatap Abyan dengan ekspresi tak terbaca oleh siapa pun yang melihatnya. Kemudian, dia menghela napas panjang.
“Sembuh dulu baru kamu bisa dapatin maaf dariku.” Lavina pun melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Meninggalkan Abyan dengan kedua sudut bibirnya yang berkedut menahan senyuman.
Setelah mendapati suaminya kembali tertidur beberapa saat sesudah minum obat. Lavina menatap lekat wajah Abyan yang mulai tampak lebih manusiawi dibanding kemarin. Lebamnya sudah memudar, rambut yang memanjang sudah dia sisir rapi.
Tangannya perlahan terulur mengusap lembut rahang yang terasa kasar oleh rambut-rambut halus yang tumbuh. Sebuah senyuman pun tak lagi bisa dia tahan, terbit seakan sebuah pelangi yang hadir setelah hujan.
“Mengenai panggilan itu. Sungguh aku merasa bodoh, Lav. Mas beneran lupa kalau panggilan itu pernah mas pakai waktu bersama Felita. Jadi lagi dan lagi Mas minta maaf, ya. Lain kali Mas akan lebih hati-hati lagi dan akan Mas ingat. Biar tidak terjadi salah paham lagi untuk ke depannya,” papar Abyan panjang lebar diakhiri ringisan kecil.
Sebelah alis Lavina terangkat lebih tinggi. “Memangnya siapa yang bilang kalau hubungan kita masih bertahan sampai ke depannya?” balas ibu hamil itu, tersenyum miring.
“Lav ....” Abyan menatap pias Lavina dengan jantung yang hampir pindah tempat. Tak mengira akan mendapat reaksi di luar dugaannya.
“Istirahat! Fokus untuk sembuh dulu untuk sekarang. Jangan mikir hal lain,” lontar Lavina lagi yang dengan terpaksa dituruti oleh Abyan. Wajahnya lesu, tetapi dia tidak bisa membantah, karena tak ingin memaksa sang istri lebih jauh.
Kekehan kecil keluar dari bibir Lavina, mengingat bagaimana wajah lesu nan murung Abyan kemarin. Cukup berhasil menghiburnya, yang tak pernah sekali pun melihat ekspresi semacam itu sebelumnya.
“Cepat sembuh, ya, Mas. Aku udah gak sabar buat kontrol kehamilanku, buat liat Baby bareng kamu,” bisik Lavina pelan yang masih betah menatap pahatan wajah tampan Abyan.
***
Akhirnya, setelah tiga hari dirawat Abyan diperbolehkan untuk pulang oleh dokter. Hal itu membuat Abyan senang tentunya. Kesembuhannya adalah hal yang dia nantikan sebab dengan itu dia akan mendapat maaf dari sang istri.
“Gak ada barang yang ketinggalan, kan?” Aidan menatap Lavina dan Abyan secara bergantian.
“Udah aku masukin semua ke tas besar itu, kok. Gak ada barang apa pun lagi. Barang-barang kita juga gak banyak,” sahut Lavina meyakinkan, yang sudah berdiri tepat di samping Abyan.
Aidan mengangguk dan mulai mengangkat satu tas besar dan satu totebag. Kemudian, dia melangkahkan kaki lebih dulu, tetapi segera menghentikan langkahnya saat teringat sesuatu hal yang penting.
Lantas, dia kembali menoleh ke arah kakak dan temannya berada. “Ini gue nganter kalian pulang ke mana? Apartemen gue, rumah papa, apa apartemen Abang?”
Pertanyaan Aidan sukses membuat sepasang anak manusia yang masih sah menjadi suami istri itu bingung dan gelagapan. Abyan yang takut salah menjawab, sebab dia masih belum mendapat maaf dari Lavina.
Sedangkan Lavina tak tahu harus menjawab seperti apa. Dan reaksi keduanya tak luput dari tatapan curiga Aidan.
“Jadi?”
“Ke apartemen Mas Aby aja,” jawab Lavina cepat setengah malu dan setengah gugup.
“Ah ... ok! Hampir aja gue bawa kalian ke rumah papa,” balas Aidan dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Abyan pun menoleh ke arah Lavina yang kembali menghindari tatapannya. Dia kulum senyumannya, lantas dengan berani menggenggam tangan yang lebih muda. Sangat pas, nyaman, serta menghantarkan rasa hangat dalam hatinya.
“Terima kasih, Lav,” ucapnya.
Refleks Lavina menoleh dengan tatapan bingungnya. “Buat apa?”
“Terima kasih sudah memaafkan mas, dan memberikan kesempatan kedua buat mas,” tutur Abyan tulus, dengan menatap tepat di sepasang netra gelap milik sang istri. Membuatnya selalu nyaman dan betah berlama-lama untuk menatap.
“Perasaan aku belum bilang maafin kamu, deh, Mas,” celetuk Lavina, yang sukses menerbitkan senyuman lebar di wajah Abyan.
“Dengan kamu memilih pulang ke apartemen mas, itu membuktikan kamu sudah memaafkan mas. Kalau kamu belum maafin mas, pasti kamu milih buat tetap di apartemen Aidan,” terang Abyan panjang lebar.
Sontak Lavina mendengkus dengan merotasikan kedua bola matanya. “Gak gitu juga konsepnya, Mas.”
Abyan pun terkekeh geli. Tak mengindahkan protesan sang istri, dia menarik lembut tangan yang dia genggam untuk segera keluar dari rumah sakit itu.
“Ayo pulang! Kita rajut kembali keluarga kecil kita.”
Bagaimana mungkin Lavina menolak saat rasa hangat melingkupi hatinya begitu mendengar ajakan tulus Abyan. Tanpa menjawab, dia pun membalas genggaman sang suami tak kalah erat. Kakinya menyelaraskan dengan langkah sang suami.
Hal itu jelas membuat Abyan mengerti bahwasanya sang istri mau membersamainya kembali.
“Aku pulang,” ujar Lavina pelan yang masih terdengar di telinga Abyan. Menambah perasaan yang membuncah bahagia di relung hati Abyan maupun Lavina sendiri.
“Nanti aku mau tanya satu hal lagi ke Mas. Apa boleh?” celetuk Lavina setelah sempat hening dalam beberapa saat.
*
*
Cie yang baikan
Kalian sebenernya dukung lanjut apa pisah? Ayo jujur!
wkwkwk