Duda Pilihan Orang Tua
Sepasang mata bulat itu tampak nanar melihat pemandangan yang berhasil menimbulkan rasa pedih di dalam hatinya. Suara bising lalu-lalang manusia, pun tak lantas mengusik perhatiannya. Fokusnya hanya tertuju pada sepasang anak manusia yang menampilkan raut bahagia dengan tawa yang begitu lepas. Lavina—wanita itu masih tak kuasa untuk bergerak dari tempatnya berdiri.
“Dicariin malah di sini.”
Suara serak seorang pria yang datang menghampiri Lavina, tak lantas membuat wanita itu tersadar. Tentu saja hal itu menarik perhatian Aidan selaku teman dekat Lavina. Ditolehkannya kepala untuk melihat apa yang menjadi pusat perhatian yang begitu menarik bagi temannya. Barulah saat itu kedua matanya menajam sempurna.
“Bangsat!” umpat Aidan refleks, bahkan dia tak lagi peduli akan di mana dirinya berada saat ini. Kemudian, dia kembali menoleh ke arah temannya itu. Menarik pelan pergelangan tangan Lavina. Membuat kesadaran wanita itu akhirnya kembali ke dunia.
“Aidan,” gumam Lavina yang masih cukup terdengar di telinga pria itu. Namun, pria itu tak kunjung membalas dan terus melangkah mendekati sepasang kekasih yang sedari tadi menjadi objek serius yang dipandangi Lavina. Kedua netranya terbelalak saat tahu ke mana tujuan Aidan. “Jangan gila, Dan!”
“Gue nggak gila!” Aidan sejenak menoleh ke Lavina dan menghentikan langkahnya. Matanya berkilat marah dan wajahnya menampilkan ekspresi yang cukup mengerikan. “Hadapi! Gue tau ini bukan kali pertamanya, lo diperlakukan seperti ini sama pria brengsek itu,” sambungnya lagi penuh penekanan di setiap katanya.
Tidak menunggu jawaban Lavina, Aidan kembali melanjutkan langkahnya. Tangannya masih setia menggenggam pergelangan tangan temannya. Begitu sampai di hadapan dua anak manusia itu, barulah Aidan melepaskan cekalannya.
“L—lavina,” gagap seorang pria yang sudah pias menatap kehadiran Lavina bersama Aidan. Tak terkecuali wanita yang saat ini menegakkan tubuhnya, setelah sedari tadi bergelayut manja di lengan Damar.
Lavina tak menampilkan ekspresi berlebih, meski kini hatinya meronta kesakitan. Dirinya tak mau menampilkan rasa sakitnya kepada dua manusia gila di hadapannya. Dia masih cukup waras untuk tidak memperlihatkan sisi lemahnya, terlebih sekarang mereka berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan ibukota.
“Damar, mulai hari ini kita selesai!” Kalimat singkat itu keluar dari bilah bibir Lavina dengan tegas. Setelahnya, wanita itu memberikan sebuah hadiah manis di pipi pria yang tak lain adalah kekasihnya. Tak memedulikan bahwa saat ini dirinya sudah menjadi pusat perhatian banyak orang.
Plak!
“Vina! Kamu sal—“
“Tutup mulut busuk lo itu, sialan! Dan jangan pernah panggil nama gue ataupun ganggu gue lagi!”
Lavina menghela napas panjang. Kilasan ingatan memilukan itu kembali memutar tanpa bisa dicegah di pikirannya. Sudah dua tahun berlalu, tetapi rasanya masih membekas di hati. Bukan perkara karena dirinya sakit hati sebab diduakan berulang kali oleh sang mantan kekasih. Namun, dia menyesal dan merasa bodoh , karena terlalu naif dalam mencintai.
“Gak mau pulang lo?” Sebuah tepukan ringan mendarat di pundak Lavina. Kerutan dahi menjadi pemandangan pertama Lavina saat menoleh untuk melihat pelakunya. Siapa lagi kalau bukan sang sahabat—Aidan. “Malah bengong lagi,” dengkus pria itu.
Lantas Lavina terkekeh ringan. “Iya, ini mau pulang. Nebeng, ya,” balasnya menampakkan deretan gigi rapinya.
Mendengar hal yang sudah bisa dikatakan biasa Aidan dengar, hari ini membuat dirinya meringis pelan. “Sorry, Vin. Gue gak bawa motor. Ini juga dijemput sama abang gue,” ucap Aidan merasa tak enak.
Lavina yang sedang membereskan peralatan kerjanya, segera menoleh saat mendengar penuturan sang sahabat. Kemudian, dia berikan ulasan senyum pada Aidan. “Gak apa-apa, Dan. Santai aja,” terangnya, berharap temannya itu tak terlalu memikirkan.
“Besok, deh. Janji besok kita pulang bareng. Kalau hari ini emang gak bisa. Urgent banget mau buru-buru ke acara makan malam keluarga soalnya,” papar Aidan yang rupanya masih merasa tak enak sendiri.
“Loh! Sama kalau gitu. Yaudah, deh, lo buruan pulang. Gue juga mau pesen grab dulu.” Lavina menggerakkan tangannya seolah mengusir sang sahabat. Membuat Aidan mendengkus, tetapi tak urung juga melesat pergi. Meninggalkan Lavina yang kini hanya seorang diri di kubikel tempat kerjanya.
“Its oke! Mandiri, Lavina,” gumam wanita itu dan segera memesan grab untuk pulang.
***
Setelah dipaksa melakukan persiapan yang berlebihan untuk makan malam, yang entah bersama siapa. Akhirnya, Lavina beserta keluarganya tiba di sebuah restoran yang cukup bisa dikatakan mewah. Semakin menambah tanda tanya besar di kepala Lavina akan maksud makan malam tak biasa ini.
Akan tetapi, sebagai anak satu-satunya yang penurut. Lavina tak banyak bertanya dan mencoba untuk bersikap tak acuh. Tak ingin menambah beban pikiran dan rasa lelah setelah seharian bekerja.
“Makannya tunggu teman papa dan mama dulu, ya, Dek. Sepertinya, mereka masih terjebak macet.” Farhan—ayah Lavina membuka suara di keheningan itu.
Lavina mengangguk, mengerti. “Memangnya, makan malam ini dalam rangka apa, ya, Pa?” tanyanya yang tak lagi bisa menahan diri.
Baik sang ayah maupun sang ibu sama-sama melempar senyum ke arah Lavina. Kemudian, Arumi selaku ibu Lavina mendekat dan menggenggam tangan sang putri lembut. Menambah kerutan samar yang sudah tercetak di dahi si anak tunggal.
“Sebelumnya maaf, ya, Dek. Mama dan papa gak bilang dulu secara detail ke kamu,” ujar Arumi menggantung. Sengaja, demi melihat ekspresi sang putri lebih lanjut. Dirasa tak menampilkan raut yang berlebihan, wanita paru baya itu kembali melanjutkan perkataannya. “Kita berencana untuk mengenalkan Adek sama seseorang.”
Tentu saja Lavina tak bisa untuk menahan ekspresi terkejutnya. Sepasang mata bulatnya kian membesar dengan mulut yang ternganga. Namun, belum sempat dirinya bertanya lebih lanjut. Sang ayah kini kembali mengeluarkan suaranya.
“Adek, tenang dulu, ya. Makan malam ini Cuma sebatas silaturahmi dan perkenalan saja.” Farhan mengelus punggung putri semata wayangnya itu. Mencoba memberi rasa nyaman dan tenang.
“Beneran buat kenalan aja, kan? Gak lebih?” tanya Lavina menatap serius ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. “Adek gak suka, ya, kalau sampek ada perjodohan kolot kayak jaman dulu,” sambungnya lagi berjaga-jaga.
Mendengar hal itu kedua orang tua Lavina menghela napas panjang. Baru hendak Farhan akan memberikan penjelasan berlebih. Suara berat menyela terlebih dulu. Membuat keluarga besar itu mau tak mau menoleh serempak ke arah sumber suara. Memastikan bahwa suara orang itu memang benar orang yang tengah ditunggu mereka.
"Selamat malam, Farhan.”
Farhan mengulas senyum lebar, lantas berdiri menyambut kedatangan temannya. Begitu juga dengan Arumi. Namun, tidak dengan Lavina yang kini terbelalak, menatap tak percaya orang yang ada di hadapannya. Tak jauh berbeda dengan orang yang ditatapnya.
“Aidan!”
“Kok, lo ada di sini?”
*
*
Hai selamat datang di cerita baru author
Semoga kalian suka, dan menikmati. Dan mohon dukungannya semua 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Azizah az
ikutan hadir disini kk author 🤗
2024-09-02
0
Vajar Tri
🤭🤭🤭🤭tahu gitu berangkat bareng adek ajj bang 🥳🥳🥳🥳
2024-09-01
1