Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22: Dalam Kegelapan Terlihat Harapan
Hantu kucing selalu dilahirkan dalam kondisi yang rapuh. Mereka tidak memiliki kekuatan besar atau aura menakutkan seperti makhluk gaib lainnya. Dalam hirarki dunia roh, mereka menempati posisi terendah, sering kali menjadi mangsa daripada pemburu. Fisik mereka lemah, energi mereka terbatas, dan dalam keadaan terburuk, mereka bisa dengan mudah dimusnahkan oleh makhluk gaib yang lebih kuat. Namun, di balik kelemahan itu, tersimpan kemampuan yang membuat hantu kucing menjadi salah satu makhluk yang paling sulit dihancurkan sepenuhnya.
Keistimewaan hantu kucing terletak pada kemampuan mereka untuk membagi jiwa mereka menjadi sembilan bagian. Setiap fragmen jiwa disimpan dalam benda-benda yang mereka pilih dengan sangat hati-hati. Benda berkilauan, terutama koin emas, adalah pilihan favorit mereka. Ada sesuatu dalam kilauan logam yang memberi mereka rasa aman, seolah-olah cahaya koin itu memantulkan kekuatan yang tersembunyi. Setiap koin menjadi wadah, tempat jiwa mereka bersembunyi dan terlindungi dari ancaman. Dengan membagi jiwa mereka, hantu kucing menciptakan sembilan benteng yang tak mudah ditembus.
Selama koin-koin itu tidak hancur sepenuhnya, hantu kucing tetap bisa hidup, meskipun koin-koin tersebut mengalami keretakan atau kerusakan. Energi dari dunia roh akan mengalir, memperbaiki keretakan sedikit demi sedikit. Selama ada waktu dan ruang, koin-koin itu akan pulih, dan begitu pula hantu kucing yang menggantungkan hidupnya pada mereka. Karena itulah, meskipun lemah secara fisik, hantu kucing adalah makhluk yang hampir tak terkalahkan. Mereka sulit dihancurkan karena tubuh fisik mereka hanyalah cangkang. Selama koin-koin itu tetap utuh, mereka akan selalu bisa kembali, tak peduli seberapa hancurnya tubuh mereka di dunia nyata.
Namun, kekuatan ini juga memiliki batas. Jika ada makhluk yang cukup kuat dan cerdik untuk menemukan dan menghancurkan kesembilan koin itu secara bersamaan, maka jiwa hantu kucing akan lenyap selamanya. Tak ada kekuatan dari dunia roh yang bisa menyelamatkan mereka. Kekuatan abadi yang mereka banggakan akan runtuh dalam sekejap. Oleh karena itu, hantu kucing selalu berhati-hati untuk menyembunyikan koin-koin mereka di tempat-tempat yang paling aman dan tersembunyi, berharap tak ada makhluk yang bisa menemukannya.
Tetapi ada satu kelemahan besar bagi hantu kucing yang berkeliaran di dunia manusia. Di alam asal mereka, energi roh berlimpah dan dapat menyembuhkan koin-koin yang rusak. Namun, di dunia manusia, energi positif justru menjadi racun bagi mereka. Alih-alih memperbaiki koin-koin mereka, energi dunia manusia perlahan-lahan mengikisnya. Setiap hari yang mereka habiskan di dunia ini mempercepat kehancuran koin-koin itu. Satu retakan kecil bisa melebar menjadi keretakan besar, dan begitu koin hancur, hantu kucing akan kehilangan sebagian dari dirinya. Inilah harga yang harus mereka bayar untuk tinggal di dunia manusia, sebuah dunia yang tak pernah dirancang untuk makhluk gaib seperti mereka.
Hantu kucing adalah makhluk yang hampir abadi, tetapi keberadaan mereka selalu bergantung pada benda-benda kecil yang tersembunyi dalam kegelapan. Benda-benda yang, meskipun tampak rapuh, menjadi pelindung terkuat mereka. Namun, di dunia manusia, keabadian itu rapuh, terancam oleh waktu dan energi yang tak kasatmata. Hantu kucing tahu betul bahwa setiap detik di dunia ini adalah pertaruhan antara hidup dan kematian yang semakin mendekat.
___
Carlos menatap layar komputer tua di depannya, jemarinya menari di atas mouse yang berderit, meluncur di antara halaman-halaman komentar yang awalnya berisi pujian untuk Ruri. Tapi, sekarang situasinya berubah drastis. Ujaran-ujaran pedas menggantikan apresiasi yang sebelumnya mendominasi. Beberapa komentar terlihat sangat kejam, bahkan mulai menyerang fisik dan status pribadi Ruri. Carlos membaca dengan mata yang menyipit, setiap kata membuat darahnya mendidih.
---
@Anonim_Labil “Hah, pantes aja sok pinter, ternyata yatim piatu. Coba aja kalau punya orang tua, mungkin nggak bakal searogan ini. Anak sombong!”
---
@Santai_tapi_Sakit “Mukanya aja biasa aja, sok ngatur orang. Berasa paling ngerti pembangunan, padahal masih bocah ingusan!”
---
@Fakta_Nyata12 “Baru jadi finalis acara gituan udah belagu. Gimana nanti kalau menang? Mungkin bakal ngomong seolah dia yang bangun ibu kota baru tuh, hahaha. Berlagak doang!”
---
@Nyinyir_Queen “Udah gitu anak yatim piatu pula, nggak punya latar belakang jelas, tapi sok-sokan mau ngatur orang lain. Siapa lo?”
---
@Kecewa_Max “Ruri itu nggak lebih dari pencari perhatian. Muka biasa, prestasi biasa, cuma numpang sensasi lewat kasus viralnya. Aku yakin, nggak ada yang bisa dibanggain dari dia!”
---
@ManiakKomentar “Jadi anak yatim tapi nggak pernah merendah. Justru makin tinggi kepala. Apa nggak malu ya? Harusnya sadar diri dikit dong!”
---
@Pecinta_Realita “Katanya yatim piatu, tapi lihat gayanya kayak punya segalanya. Sok kuat, sok tegar, tapi dalamnya pasti kosong! Biasalah, tipikal cewek yang suka acting.”
---
@BocahKasihSayang “Ih, nyebelin banget anak ini. Pasti waktu kecil kurang perhatian jadi gedenya begini, nggak tahu diri.”
---
@PengamatSerius “Banyak ngomong soal lingkungan, tapi lihat aja, itu cuma kamuflase buat jadi terkenal. Nggak ada yang tulus dari dia, semua karena dia pengen menang doang.”
---
@TukangHujat “Jangan salah, anak yatim memang biasanya jadi begini, merasa dunia nggak adil dan akhirnya nyari panggung buat ngisi kekosongan hidup. Ruri itu contoh sempurna!”
---
@NetizenPedas “Wajar sih dia kayak gini, nggak pernah diajarin sopan santun. Yatim piatu gitu lho! Lagaknya udah kayak mau ngatur dunia.”
---
Carlos semakin tegang saat membaca setiap baris komentar keji yang menghujat Ruri. Komentar-komentar ini tidak lagi berbicara tentang kompetisi atau program Pemuda Tangguh, tetapi sudah merambah ke hal-hal pribadi, bahkan menyentuh status yatim piatu Ruri dengan cara yang kejam dan tidak manusiawi.
Mouse yang digenggam Carlos semakin erat, seolah-olah dia bisa menghancurkan semua kebencian itu hanya dengan genggamannya.
Carlos membelalakkan mata, setiap baris komentar di layar terasa seperti pukulan telak. Nafasnya memburu, dadanya terasa sesak oleh amarah yang menumpuk. Dalam benaknya, gambaran Ruri yang selalu tegar di tengah kompetisi kini terasa semakin diserang, dihancurkan oleh kata-kata yang tak berperasaan.
"APA MEREKA PIKIR MEREKA SIAPA?!" teriak Carlos tiba-tiba, suaranya menggema di ruangan yang kecil itu. Dia memukul meja, tetapi dengan segera berhenti sebelum tangannya benar-benar merusak barang-barang yang ada. Dia menatap benda-benda milik Ruri di sekitar, merasa tercekik oleh rasa marah yang terus menggelegak, namun ia tahu, dia tidak bisa melampiaskan amarahnya di sini. Semua ini adalah milik Ruri, kenangannya, barang-barangnya yang berharga. Lemari kecil dengan buku-buku favoritnya, bingkai foto di atas meja—semuanya mengingatkan Carlos untuk tidak sembarangan merusak apapun.
"Apa mereka nggak ngerti? Nggak ngerti betapa berharganya Ruri! Betapa dia berjuang!" Carlos terus berteriak, tubuhnya gemetar karena emosi yang tak terbendung.
Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut, ia berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan. Napasnya makin tidak teratur, seperti terperangkap dalam gelombang amarah yang tak bisa ia kendalikan. "Mereka nggak tau apa-apa tentang dia, tentang betapa dia sudah berkorban!" suaranya nyaring, bercampur kemarahan yang mendidih.
Si ibu-ibu yang sejak tadi memperhatikan dari sudut ruangan, dengan tenang menghampiri Carlos. Dengan bijak, dia tahu kapan harus masuk untuk menenangkan. "Percuma kamu marah-marah, Carlos," katanya lembut, menepuk pundaknya dengan pelan.
Carlos berhenti, menoleh ke arahnya dengan napas yang masih tersengal.
"Sini, Bu buatkan es serut yuk," lanjut si ibu dengan nada santai, seolah-olah mengajak sesuatu yang sederhana namun menenangkan. "Panas banget di hatimu, mending kita dinginkan dulu. Marah-marah nggak ada gunanya."
Carlos terpana. Kata-kata sederhana itu justru seperti air dingin yang menenangkan gejolak di dalam dirinya. Dia diam, menatap ibu itu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Tanpa sadar, amarah yang tadi meluap-luap mulai mengendur.
"Iya, Bu..." Carlos akhirnya merespon dengan nada yang lebih tenang. Dia meremas rambutnya, lalu melepaskan tangannya dengan helaan napas berat. "Makasih, Bu," gumamnya, sedikit malu dengan ledakan emosinya barusan.
Si ibu-ibu hanya tersenyum kecil dan mengangguk, lalu beranjak menuju dapur untuk menyiapkan es serut.
___
Sementara itu di kafetaria tempat karantina lomba putaran ketiga Pemuda Tangguh,
Ruri, Akasha, dan Ian duduk bersama di salah satu meja, suasana sedikit tegang tapi masih diselimuti semangat kompetisi. Suara orang-orang bercakap-cakap terdengar samar di sekitar mereka, namun mereka bertiga tetap fokus dengan makanan yang ada di depan mereka.
Ian memulai pembicaraan, mengaduk makanannya dengan garpu. "Kita semua harus tetap semangat, guys," katanya dengan nada optimis, walau raut wajahnya sedikit lelah. "Tinggal satu putaran lagi sebelum babak ketiga ini usai. Ini mungkin bagian paling menegangkan."
Akasha menghela napas panjang, menatap piringnya sebelum memandang Ian. "Duh, aku sebenarnya agak bingung. Aku nggak tahu review yang kuberikan itu sudah bagus atau malah terdengar norak. Bahkan, aku takut kalau-kalau kesannya malah kayak menghina. Apa aku terlalu keras ya?"
Ruri, yang sedari tadi mendengarkan, tersenyum tipis. "Kita semua punya kekhawatiran masing-masing, tapi yang penting adalah kita sudah berjuang sampai sejauh ini," katanya dengan nada tenang tapi penuh tekad. "Tetap semangat sampai akhir, ya?"
Mendengar itu, Ian dan Akasha tersenyum lega, dan seperti satu komando, mereka semua mengucapkan serentak, "Tetap semangat sampai akhir!" sambil tertawa bersama, mencairkan ketegangan yang sempat ada di antara mereka.
Suasana menjadi lebih ringan, tawa mereka bergema di udara kafetaria, memberikan mereka kehangatan di tengah persaingan yang kian ketat. Meskipun mereka sadar tantangan di depan masih berat, setidaknya momen ini memberikan mereka semangat baru untuk melangkah ke putaran terakhir dengan kepala tegak.
___
Carlos menarik napas panjang, dadanya terasa semakin berat. Walaupun satu hal membuatnya sedikit lega—Ruri masih berada di dalam karantina lomba, terlindung dari kehebohan yang terjadi di internet—tapi dia sadar, ini tidak akan bertahan lama. Panitia lomba sudah tahu tentang skandal yang beredar. Jika rumor-rumor ini tidak segera diatasi, Ruri bisa dikeluarkan dari kompetisi meskipun penampilannya sempurna.
"Harus selesai sebelum hasil lomba diumumkan," gumam Carlos, cemas. "Kalau tidak, semua ini sia-sia."
Dia menggaruk kepalanya, mencoba memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, semakin dalam dia berpikir, semakin tertekan dia merasa. Asap hitam yang dia lihat membumbung dari komentar-komentar jahat di internet jelas bukan sesuatu yang alami. Itu tanda kehadiran niat jahat. Carlos akhirnya menyadari kebenarannya—Arham, si hantu gagak, ternyata masih hidup.
"Kau masih ada di luar sana, ya?" Carlos mendesis pelan. "Tapi kenapa kau memilih bermain di dunia maya, bukan menyerang langsung? Kau pasti mulai melemah."
Hatinya dipenuhi kebencian. Semua ini bermula dari ulah Takeru. Gara-gara foto-foto Ruri yang tersebar—di pantai, di bioskop, bahkan di kampusnya—nama baik Ruri tercemar. Padahal, Carlos ada di sana juga, tapi anehnya dia selalu gagal tertangkap dalam foto-foto itu, seolah ada kekuatan yang membuatnya tidak terlihat. Dia mengepalkan tinjunya, frustrasi.
Namun tiba-tiba, kilauan emas di layar komputer tua Ruri menarik perhatian Carlos. Dengan rasa penasaran, dia mendekat dan melihat lebih jelas—itu rekaman konferensi pers. Di layar, Takeru muncul, wajahnya penuh penyesalan. Dalam konferensi itu, Takeru meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia. Dia mengakui bahwa ketika masih kecil, dia pernah menghina bangsa Indonesia, dan sekarang dia ingin memperbaikinya.
Mata Carlos membelalak. Kali ini, bukan karena amarah, tetapi karena ide yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Ini bisa menjadi jalan keluar! Jika semua masalah ini disebabkan oleh rekayasa gaib, maka cara untuk mengatasinya juga harus dengan kekuatan gaib.
Carlos mengeluarkan salah satu koin emasnya yang masih utuh, kilauannya memancar di antara jari-jarinya. Sementara itu, dari dalam tubuhnya, terdengar suara retakan halus—satu dari tiga koin emas miliknya mulai menunjukkan tanda-tanda semakin retak. Koin yang retak itu terus melemah, seolah berada di ambang kehancuran. Dia masih punya dua koin yang utuh, tapi dia tahu waktunya semakin menipis.
Menggenggam satu di antara dua koin utuh itu erat-erat, Carlos berjanji pada dirinya sendiri. "Aku harus menyelesaikan ini sebelum semuanya benar-benar hancur."