"Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu. Kamu adalah milikku. Kita akan bersatu selamanya. Maukah kamu menjadi ratu dan permaisuri ku, Lia?" ucap Mahesa.
Dia di lamar oleh Mahesa. Pemuda tampan itu dari bangsa jin. Seorang pangeran dari negeri tak terlihat.
Bagimana ini...?
Apa yang harus Lia lakukan...?
Apakah dia mesti menerima lamaran Mahesa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minaaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18. Bingung
Setelah Mahesa meniup ubun ubun Lia,
gadis itu langsung jatuh pingsan.
Setelah itu Mahesa pergi meninggalkan tempat itu setelah memastikan bahwa istrinya dalam keadaan baik - baik saja.
"Astaghfirullah a'azim, Lia!", pekik Iteung dan Enah bersamaan ketika melihat tubuh Lia melemas dan matanya tertutup rapat.
"Maman, Ardi,...ayo angkat tubuh gadis ini dan bawa ke mes. Sepertinya dia pingsan ", perintah pak Karso pada pekerja nya.
Maman dan Ardi langsung menggotong tubuh Lia ke mes.
"Nah,...kamu di dapur aja ya.. Biar si Iteung saja yang menemani....aahkk, itu siapa nama karyawan baru itu", Pak Karso mendadak lupa nama Dahlia.
"Dahlia, Pak." jawab Enah.
"Iya, Dahlia. Biar Iteung saja yang menemani dia. Kalau kamu juga ikut ke sana, nanti siapa yang akan menggantikan kamu memasak di dapur ", ucap Pak Karso.
Enah nampak sedang berpikir sejenak. Memang benar, hanya dia dan Lia tukang masak di rumah makan ini. Mau se khawatir apa dia terhadap temannya itu, dia memang tetap harus berada di dapur.
"Ya sudah, kamu saja yang ke sana menemani Lia, teung. Oleskan minyak kayu putih biar dia cepat sadar. Kamu punya kan, minyak kayu putih?", tanya Enah.
"Punya, Mbak. Ya udah, aku ke sana dulu", ucap Iteung pada Enah.
"Terima kasih, Pak", ucap Iteung pada Pak Karso. Pak Karso hanya mengangguk dan tersenyum simpul.
Iteung berjalan menuju mes untuk menemani Lia.
Setelah Iteung pergi, pak Karso melangkah keluar dari dapur. Sesampainya di luar rumah makan, dia mendengus kesal.
Entah mengapa, di antara banyak pekerja nya, ia sangat tidak menyukai Lia. Karyawan yang baru bekerja selama dua hari ini sungguh membuatnya kesal terlebih setelah Dahlia membuat masalah yang menyebabkan mereka harus tertunda beberapa saat pekerjaan nya.
Pak Karso memasuki mobil nya dan pergi meninggalkan rumah makan miliknya, entah kemana.
Di mes, kini hanya ada Dahlia yang sedang berbaring di kamar Iteung dan di temani Iteung. Iteung meminta Maman dan Ardi kembali bekerja.
Awalnya, kedua orang pria itu menolak di suruh pergi karena khawatir rekan kerja mereka kenapa - napa. Tetapi kemudian Iteung mengatakan jika terjadi sesuatu pada Lia, ia akan memanggil mereka lagi, baru lah mereka bersedia kembali ke rumah makan. Dengan catatan Iteung akan memanggil mereka jika dia membutuhkan keduanya.
Iteung mencoba menempelkan minyak kayu putih di hidung Lia berharap semoga temannya itu cepat sadar kembali.
***
Perlahan - lahan tubuh Lia bergerak. Lia menggeliat dan membuka mata nya. Karena silau oleh cahaya lampu, Lia mengerjap - ngerjapkan mata nya sejenak.
Langit - langit kamar itu terasa asing. Ini bukan kamar miliknya. Tiba - tiba....
"Alhamdulillah,.... Lia kamu sudah sadar?", suara Iteung terdengar dekat di telinga nya.
Dahlia memutar kepala nya dan melihat Iteung duduk di sebelahnya menatap dengan tatapan cemas.
"Aku kenapa, teung?", tanya Lia sembari memijit keningnya yang terasa pusing.
"Kamu pingsan tadi", ujar Iteung.
Dahlia mencoba bangun dari tidurnya di bantu Iteung.
"Ini minum dulu, Lia!", Iteung menyodorkan segelas air putih pada Lia. Lia menerima dan meminumnya sampai habis setengah gelas.
"Kamu kenapa, Lia? Apa kamu kelelahan?", tanya Iteung. Lia menghela nafas panjang.
"Kalau aku cerita ke kamu, kamu juga nggak akan percaya, Teung", ucap Lia.
Iteung mengernyitkan kening. " Cerita aja, Lia. Emang apa yang terjadi?" ujar Iteung yang merasa penasaran.
"Aku...tadii ...",
"Kamu nggak usah cerita pada temanmu mengenai apa yang kamu lihat tadi, Dinda. Temanmu itu pasti akan mengatakan bahwa kamu tidak waras bila kamu mengatakan yang Enah makan itu belatung bukan nasi", bisik Mahesa di telinga Lia.
"Lia,...kok melamun lagi, sih!", sentak Iteung.
"Aku tadi melihat hantu di belakang mbak Nah, Teung. Makanya aku lempar tutup panci
Tadi", ujar Lia. Dia terpaksa berbohong kepada sahabat nya itu.
"Hantu? .... serius kamu melihat hantu? Siang bolong begini ? Masa iya, ada hantu di siang hari?", Iteung menatap Lia tidak percaya.
"Kamu nggak percaya sama aku?", Dahlia menatap balik wajah Iteung. Benar kata suaminya, temannya itu pasti tak akan percaya. Apalagi jika Lia mengatakan apa yang dia lihat.
"Sebenarnya, sulit dipercaya. Tapi karena kamu yang bilang, oke, aku percaya. Tapi kalau kamu bicara begitu pada Mbak Nah, aku rasa dia tak akan percaya. Kamu tahu sendiri, kan, dia tuh nggak percaya pada hal yang begituan", ujar Iteung.
"Iya, aku tau. Tapi kalau itu yang aku lihat, bagaimana aku akan menjelaskannya pada mbak Nah..? Kalau tidak aku jelaskan, takutnya nanti malah jadi salah faham. Tapi kalau dijelaskan....", Dahlia menarik napas panjang. Dia bingung.
"Oke,... nanti aku bantu jelasin. Kita jelasin sama - sama ke mbak Nah. Semoga saja dia mau mendengar penjelasan kita ", ujar Iteung.
Tok .. Tok ..tokk
Terdengar suara ketukan di pintu.
Dahlia dan Iteung saling pandang beberapa saat. Iteung mengernyitkan dahi.
" Kamu duduk aja dulu, biar aku yang lihat siapa yang datang", ujar Iteung.
Iteung bergegas menuju ke pintu dan membukakan pintu.
"Eh, Mas Rendi. Ada apa, ya Mas?"
Ternyata yang datang adalah putra Pak Karso.
"Ini, teung. Kata bapak tadi ada pekerja yang sakit di rumah makan. Bapak menyuruh aku untuk membawakan ini ", ujar Rendi seraya menyerahkan satu bungkusan plastik lumayan besar.
"Apa ini, Mas?" tanya Iteung sembari membuka bungkusan plastik itu.
"Buah - buahan dan obat-obatan. Bapak ada kerjaan jadi nggak sempat ke sini ", ujar Rendi.
"Oh, iya. Sampai lupa, mari silahkan masuk, mas", ujar Iteung malu - malu.
"Iya,... assalamualaikum ", Rendi mengucap salam.
Rendi adalah anak semata wayangnya Pak Karso. Dia sudah sangat akrab dengan Iteung.
"Waalaikumsalam", jawab Lia dan Iteung bersamaan.
"Bagaimana mbak? Apa masih sakit. Kalau masih sakit kita ke klinik aja, gimana?", tanya Rendi.
"Nggak usah, mas. Udah agak mendingan. Tadi mungkin masuk angin. Paling minum tolak angin sudah sembuh kok nanti", ucap Lia.
"Kalian nggak mau kenalan dulu, nih?", tanya Iteung.
"Oh iya, kenalkan saya Rendi, putranya pak Karso." ujar pemuda itu seraya mengulurkan tangannya mengajak Lia berjabat tangan.
"Saya Dahlia, mas. Salam kenal", ucap Dahlia.
Dahlia mengulurkan tangannya membalas jabat tangan dari Rendi.
"Mas Rendi ini anak semata wayangnya Pak Karso, Lia", ujar Iteung.
"Oh iya,.." ucap Lia singkat.
Lia minum obat yang di bawakan oleh Rendi, setelah itu mereka bertiga ngobrol. Tak lama kemudian Rendi pamit pulang.
"Iteung, .. kepalaku kok pusing ya?", ujar Lia sembari memegangi kepalanya yang terasa berat.
"Loh, kok bisa ya?", tanya Iteung panik.
"Iya,...mual juga ", kata Lia lagi.
Iteung semakin panik. " Mual? Aduh bagaimana ini?" Iteung salah tingkah dan ikut memegangi kepala Lia.
Tangan Lia kini juga memegangi perutnya yang terasa mual teramat sangat.
"Kamu belum makan ya Lia?", tanya Iteung.
"Iya,... belum ", jawab Lia.
"Astaga,...kamu minum obat padahal belum makan, Lia?", gantian kini Iteung yang merasa cemas dan juga syok.
Lia hanya meringis menahan rasa pusing dan juga mual nya.
"Kamu tunggu di sini, aku akan mengambil nasi di rumah makan!", ujar Iteung sembari meninggalkan Lia tanpa sempat Lia mencegahnya lagi.
"Aduh,.... bagiamana ini?", ucap Lia bingung. Jujur saja dia masih trauma melihat nasi yang berubah menjadi belatung.
Tapi Iteung sudah terlanjur pergi ke rumah makan untuk mengambil nasi.
Ahhhh,....... Lia semakin bingung. Perutnya juga Lia semakin mual.