"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Masa Lalu
Ryan keluar dari gym dengan perasaan lega. Tubuhnya lebih ringan, pikirannya lebih jernih, perutnya juga sudah penuh. "Baru permulaan," gumamnya sambil menatap langit jingga. Sambil berjalan, senyum kecil terbit di wajahnya. "Aku bisa berubah," tekadnya.
Dia mempercepat langkah, ingin segera sampai rumah. "Konsistensi, itu kuncinya. Nggak ada lagi alasan," ingatnya, mengulang kata-kata Om Dedi. Di persimpangan, kakinya terasa ringan. Entah kenapa, ada dorongan buat joging.
"Ayo, kenapa nggak?" Ia mulai berlari pelan, merasakan angin sore yang menampar lembut wajahnya. Napasnya teratur, jantung berdetak nyaman. Ini yang ia butuhkan, pembuktian bahwa dia bisa berubah.
Tapi langkahnya terhenti. Di sebuah tikungan kecil, suara itu terdengar. Suara yang membuat seluruh tubuhnya kaku. Napasnya memburu, detak jantung yang tadinya tenang kini kacau.
Ryan berhenti total. Matanya menatap kosong ke arah rumah tua di depannya. Di balik tembok rumah itu, seseorang bersandar, hanya separuh tubuh yang terlihat. Tapi dia tahu, suara itu... tidak mungkin salah.
"Fi..." nama itu terbisik di bibirnya. Napasnya berat, dadanya seperti dihantam beban tak kasatmata. Jantungnya berdebar terlalu cepat, hampir menyakitkan. Lututnya melemas, dan sebelum ia sadar, tubuhnya jatuh ke tanah. Asal suara itu menghantuinya, menyeretnya kembali ke masa lalu yang ingin dia tinggalkan.
Flashback.
"Yan, ayo main bola!" Suara bocah itu begitu jelas. Ryan kecil menatap temannya, senyum lebar di wajah mereka. Sepak bola plastik kecil terpantul di bawah sinar matahari. Tapi aneh, wajah temannya buram, seolah tertutup bayangan.
"Gass!" seru Ryan kecil, penuh semangat. Mereka berdua berlari ke lapangan, tawa memenuhi udara.
Kembali ke masa kini.
Kenangan itu menghancurkannya. Napasnya tersengal, dada terasa sesak. 'Kenapa dia di sini?' pikirnya. Dadanya terus dihimpit rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Ryan mencoba berdiri, tapi tubuhnya tak merespons. Semua terasa terlalu berat.
'Aku pikir aku sudah berubah,' pikirnya marah. 'Tapi kenapa masih begini? Kenapa aku nggak bisa hadapin ini?' Ia ingin lari, menjauh dari tempat itu, tapi tubuhnya seperti dikunci oleh rasa takut.
"Sial!" Ryan memaksa dirinya bangkit. Ia menarik napas dalam, berjuang melawan kepanikan yang melumpuhkan. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia memutuskan pergi. Memutar jalan, menghindari rumah itu, menghindari orang di balik tembok.
Dia berjalan cepat, hampir setengah berlari. Orang-orang mulai menatapnya, beberapa bisik-bisik. "Dia kenapa?" tanya seseorang.
"Kelihatan sakit," sahut yang lain.
Ryan tidak peduli. Napasnya masih tersengal, rasa sesak di dada belum hilang. Setiap langkah terasa berat, seolah kenangan dari masa lalu menariknya kembali.
'Sial,' pikirnya getir. 'Aku pikir aku udah berubah. Nyatanya, aku masih sama. Pecundang yang sama.'
Akhirnya, ia tiba di depan rumahnya. Entah bagaimana, dia sampai di sana. Tubuhnya terasa kosong. Ryan berhenti di depan pintu, mencoba mengatur napas, meski dadanya masih terasa berat. Tangannya gemetar saat membuka pintu.
Rumah itu sunyi, dingin, sepi. Seperti mencerminkan apa yang ia rasakan di dalam. Ryan masuk, berjalan pelan ke kamarnya. Begitu sampai, ia duduk di tepi tempat tidur, kepalanya tertunduk.
"Aku nggak berubah..." bisiknya. Suaranya hampir tidak terdengar. Harapan yang tadi ia rasakan hilang begitu saja. Semua semangat yang ia rasakan saat keluar dari gym terasa konyol sekarang.
'Aku pikir aku bisa jadi orang baru,: pikirnya lagi, merasa putus asa. 'Tapi ternyata aku cuma omong kosong.'
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku. Ia terdiam sejenak, menatap layar. Nama Hana muncul di sana.
"Halo," ucapnya pelan setelah menjawab telepon.
"Ryan? Kamu di mana?" suara Hana terdengar ceria di seberang.
"Di rumah," jawabnya datar.
"Kamu terdengar capek. Kau baik-baik aja?"
Ryan ragu sejenak. "Iya, aku baik-baik aja. Cuma capek dikit."
"Udah pulang dari gym?"
"Baru aja."
"Bagus dong. Jangan lupa istirahat. Eh, besok ada tugas kelompok lho. Kita sekelompok."
"Benarkah?" Ryan berusaha terdengar lebih ceria, meski dadanya masih berat.
"Iya! Jadi nanti kita kerjain bareng, ya."
"Oke, nggak masalah."
"Kamu yakin nggak apa-apa? Kamu kedengeran capek banget."
"Serius, aku baik-baik aja. makasih udah nanya."
"Yaudah, besok kita ketemu lagi ya."
"Sampai jumpa," jawab Ryan sebelum menutup telepon.
Setelah telepon itu berakhir, Ryan menatap ponselnya. Ada sedikit kehangatan yang kembali. Meski kecil, itu cukup untuk memberinya dorongan.
"Setidaknya... ada yang peduli," pikirnya. Ia menatap ke sekeliling kamar. Foto keluarga tergeletak di meja belajar, wajah-wajah yang tersenyum di dalamnya tampak menatapnya. Sarah yang masih kecil, ayah dan ibu yang terlihat bahagia.
Ryan menghela napas. "aku nggak boleh lemah," gumamnya. "Demi mereka."
Pintu kamarnya diketuk pelan. "Kak, boleh masuk?" suara Sarah terdengar.
Ryan menaruh foto itu kembali. "Masuk aja."
Sarah membuka pintu, matanya penuh rasa khawatir. "Kakak nggak apa-apa?"
"Iya, kenapa?"
"Tadi aku lihat kakak pas pulang... kelihatan capek."
Ryan tersenyum tipis. "Cuma habis latihan aja. Nggak apa-apa."
Sarah mendekat, duduk di tepi tempat tidur. "Kalau ada apa-apa, cerita ya."
Ryan heran. Sarah biasanya cuek, tapi hari ini dia kelihatan peduli. 'Mungkin dia kasihan,' pikirnya.
"makasih," ucap Ryan dengan tulus.
Sarah mengangguk. "Mau makan? Aku masak mie rebus tadi."
Tiba-tiba, perut Ryan berbunyi keras. Ia tertawa kecil. "Sepertinya perut aku udah jawab."
Sarah tersenyum. "Ayo, kita makan bareng."
Mereka turun ke dapur, aroma mie rebus memenuhi ruangan. Sarah menyajikan dua mangkuk besar di meja.
"makasih," ucap Ryan sambil duduk.
"Sama-sama."
Mereka makan dalam diam, tapi keheningan itu terasa nyaman. Tidak canggung, hanya sunyi yang menenangkan.
"Enak," puji Ryan sambil tersenyum.
Sarah tersenyum tipis. "Syukurlah."
Setelah makan, Ryan merasa sedikit lebih baik. "Sarah," panggilnya.
"Ya?"
"makasih... buat semuanya."
Sarah menatapnya bingung. "Kenapa kakak tiba-tiba jadi aneh?"
Ryan tertawa kecil. "Mungkin aku beneran aneh."
...----------------...
Setelah selesai membasuh piring mereka, Ryan dan Sarah kembali ke kamar masing-masing. Namun, ada sesuatu yang terus mengusik pikiran Sarah. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Bau parfum itu, parfum yang ia cium ketika berpapasan dengan wanita di dekat Dufan tadi siang, masih terbayang di benaknya.
"Itu parfum kakak," gumamnya pelan. Hidungnya tidak pernah salah. Meski samar, aroma itu tetap tercium dari baju Ryan saat mereka makan tadi.
Sarah menghela napas panjang, lalu duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya berkecamuk, emosinya campur aduk. 'Jadi... wanita itu Hana,' pikirnya. Tiba-tiba hatinya dipenuhi rasa benci yang tak ia mengerti.
"Kenapa?" bisiknya getir. "Kenapa... dia?" Matanya kosong, menatap lantai. Ia mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan, tapi semakin lama ia berpikir, semakin kuat rasa bencinya pada Hana.
Dalam hati, ia berbicara pada dirinya sendiri. 'Apakah dia akan kembali?' Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Rasa takut dan benci bercampur jadi satu. Ia benci Hana, sama seperti ia pernah membenci seseorang di masa lalu, seseorang yang tidak ingin ia ungkapkan, bahkan pada dirinya sendiri.
Matanya berkaca-kaca. 'Mata Kakak... sama seperti dulu,' pikirnya. Pandangan itu, tatapan kosong penuh luka. Ia pernah melihatnya sebelumnya, di masa lalu. Saat itu, Ryan terpuruk karena seseorang. Dan sekarang, Sarah melihat tanda-tanda itu lagi, seperti luka lama yang terbuka kembali.
Dia bangkit dengan kesal, berusaha menepis pikiran itu. "Sial!" gumamnya kasar sambil mengusap wajahnya. Emosi yang tidak terkendali itu membuat dadanya sesak. Ia berjalan mondar-mandir di kamar, mencoba menenangkan diri, tapi amarah dan ketakutannya terus tumbuh.
Akhirnya, Sarah duduk lagi di tempat tidur. Ia menutup matanya, menghela napas panjang. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi," ucapnya dalam hati. Rasa benci itu masih membara, meski ia tak bisa menjelaskan sepenuhnya kenapa.
Ia bangkit, berjalan keluar kamar dengan langkah berat. Pikirannya masih dipenuhi perasaan campur aduk. Ia harus memastikan, harus mengawasi Ryan. Kalau Hana benar-benar berniat menyakiti kakaknya, Sarah bersumpah tidak akan tinggal diam.
Dengan wajah kesal, Sarah kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan keras. Ia terjatuh di tempat tidur, memeluk bantal, mencoba menenangkan pikirannya yang terus menerus diliputi keraguan. 'Apa aku yang terlalu paranoid?' tanyanya dalam hati. Tapi jauh di dalam, ia tahu jawabannya.
"Kakak... aku harus melindungimu, apapun yang terjadi."
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂