9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Mobil Zonya telah tiba di rumah sakit. Ia segera melangkah masuk, diikuti Mbok Ijah yang menggendong Naina. Begitu masuk, Zonya bertemu dengan Dokter Surya, salah satu rekan se-profesinya
"Dokter Zonya?" sapa Dokter Surya memastikan
Sebab, seingatnya sejak kabar pernikahan wanita itu dengan kakak iparnya, Dokter Zonya belum pernah mengunjungi rumah sakit lagi. Apalagi, penampilan Dokter Zonya saat ini sangat jauh berbeda dari Dokter Zonya yang ia kenal. Karena penampilan Zonya kali ini justru terlihat seperti seorang gembel. Berbeda saat wanita itu menjalankan praktek, dimana ia akan selalu tampil modis dan memesona
"Dokter Surya, tolong panggilkan Dokter Stephani sekarang. Naina demam" pinta Zonya
Dokter Surya melirik sebentar kearah bayi dalam gendongan Mbok Ijah yang masih terlihat menangis "Baiklah" angguknya akhirnya
*
"Bagaimana Dok?" tanya Zonya setelah Dokter Stephani menyelesaikan pemeriksaannya
"Demamnya cukup tinggi, Dok" jawab Dokter Stephani
"Lalu bagaimana, kita harus melakukan apa untuk menurunkan demamnya?"
"Kita hanya perlu mengompres saja Dok, selebihnya kalau demamnya masih belum turun, kita akan langsung melakukan tindakan medis" Dokter anak itu menjelaskan berbagai hal kepada Zonya terkait kesehatan Naina
"Tapi Dok, Naina selalu menangis dan menolak susu yang saya berikan. Apa itu wajar?" tanya Zonya
"Sebenarnya itu wajar bagi bayi, Dokter Zonya"
"Syukurlah kalau begitu"
"Oh iya Dok, untuk malam ini, saya tidak menyarankan untuk Dokter membawa Naina pulang. Dia harus mendapat perawatan intensif dan memastikan demamnya benar-benar turun"
"Baiklah. Tapi tolong siapkan ruangan khusus untuk keponakanku, aku akan menemaninya malam ini" pinta Dokter Zonya
"Pasti Dok. Kalau begitu saya permisi"
Zonya mengantar Dokter Stephani keluar dari ruang perawatan Naina. Setelah itu ia kembali masuk dan melihat keadaan Naina yang sudah cukup tenang dalam gendongan Mbok Ijah. Anak itu masih sesegukan, karena tangisnya yang tadi sangat kencang
"Mbok..."
"Ya Nya?"
"Malam ini tidur di rumah sakit ya, temani aku. Aku takut Nai menangis lagi seperti tadi" pinta Zonya
"Iya Nya"
Zonya tersenyum. Beruntung ada Mbok Ijah bersamanya yang selalu bisa membuat Naina tenang. Ya, ia yang tidak memiliki pengalaman untuk menenangkan bayi, merasa bahwa kehadiran Mbok Ijah benar-benar membantu. Seperti saat ini, kalau tadi tidak ada Mbok Ijah, mungkin Zonya tidak akan tahu kalau Naina tengah mengalami demam tinggi
"Non Nai sudah tidur Nya. Biar Mbok tidurkan dulu di ranjang" ucap Mbok Ijah
"Tidak Mbok, tempat kita bukan di sini. Akan ada ruangn khusus untuk kita malam ini agar Nai juga merasa nyaman. Ayo Mbok, biar aku tunjukkan ruangannya"
Zonya berjalan lebih dulu menuju ruangan khusus yang ia maksud. Ia lantas membuka pintu ruangan yang ditunjuk suster dan meminta Mbok Ijah untuk merebahkan Naina di ranjang besar yang ada ditengah ruangan
"Mbok tidur duluan saja. Mbok juga pasti lelah karena bekerja seharian. Apalagi, Mbok juga harus menenangkan Nai yang menangis sedari tadi"
"Tidak Nya. Mbok tahu, Nyonya pasti lebih lelah daripada Mbok. Lebih baik, Nyonya saja yang tidur, biar Mbok yang menjaga Non Nai"
Zonya menghela napas pelan "Kalau begitu, kita tidur bersama saja Mbok. Lagipula, Nai juga sedang tidur. Kalau nanti Nai bangun, baru kita juga bangun"
"Baik kalau itu perintah Nyonya" angguk Mbok Ijah patuh. Ia akan berjalan menuju sofa di ruangan itu. Namun langkahnya terhenti saat mendengar Zonya memanggilnya
"Mbok mau ke mana?" tanya Zonya
"Mau tidur Nya"
"Tidur di mana?"
"Di sofa" tunjuk Mbok Ijah pada sofa panjang yang ada di sana
"Itu tidak nyaman Mbok. Mbok tidur di ranjang saja bersama aku dan Nai, ayo"
"Tapi Nya..."
"Sudah ayo, tidak apa-apa"
Secara perlahan, Mbok Ijah mulai mendekati ranjang yang ditempati Naina. Ranjang ini memang sangat lebar, pasti akan muat kalau ia dan Zonya serta Naina tidur bersama. Hanya saja, Mbok Ijah merasa sungkan. Sebab, status Zonya dan Naina adalah majikannya. Lalu bagaimana ia bisa tidur bersama dua wanita terhormat itu?
"Mbok, memikirkan apa lagi? Sudah ayo tidur"
Zonya lebih dulu berbaring disamping Naina. Baru setelah itu Mbok Ijah juga ikut berbaring dan tidur bersama. Setelah beberapa saat, Zonya membuka matanya sebelah dan melihat kearah Mbok Ijah untuk memastikan wanita paruh baya itu sudah terlelap. Melihat napas teratur yang berhembus dari Mbok Ijah membuat Zonya yakin kalau Mbok Ijah sudah terlelap
Secara perlahan, Zonya mulai melangkah keluar dari kamar perawatan Naina. Ia menutup pintu perlahan, lalu berjalan cepat menuju ruangannya. Ya, saat ini ia membawa Naina ke rumah sakit milik keluarganya yang kebetulan berada dibawah pimpinannya sendiri
Zonya membuka pintu ruangan miliknya, lalu menguncinya dari dalam. Sejenak, ia terlihat memejamkan mata dengan menghela napas berat. Hingga beberapa saat setelahnya terdengar isakan kecil yang keluar
"Ya Tuhan, kenapa harus aku. Sebegitu kuat 'kah aku di matamu Ya Rabb? Apakah jalan terjal ini akan berakhir dengan bahagia, atau justru menemui jalan datar tak berujung yang akan kembali membuatku menderita? Aku lelah Ya Rabb. Izinkan aku beristirahat sekali saja dari segala masalah ini" lirih Zonya
Ya, ia merasa lelah dengan segala yang terjadi pada hidupnya. Mulai dari jenjang karier-nya yang diatur oleh keluarga dan dipaksa untuk mengelola rumah sakit milik keluarganya. Lalu rasa asing saat berada ditengah-tengah keluarga besar dari pihak Ayah dan Bundanya. Sekarang, ia kembali merasakan derita karena harus merawat Naina. Seorang balita yang tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis
"Apakah ini adil untukku Ya Allah? Aku mohon, aku lelah"
Tubuh Zonya merosot tanpa bisa ia cegah. Ia menangis tergugu, menumpahkan segala sesak yang menghimpit dadanya, yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapapun, bahkan kepada kedua orang tuanya
Ya, benar apa yang orang katakan. Untuk menjadi anak tengah, bahunya harus sekuat baja, hatinya harus setegar karang dan telinganya harus siap untuk mendengar. Karena nyatanya, anak tengah harus selalu dipaksa mengalah dengan kakanya dengan alasan untuk menjadi adik yang baik dan ia juga dituntut untuk mengalah pada adiknya agar bisa menjadi contoh yang baik.
Lalu, jika anak tengah dipaksa untuk mengalah pada kakak dan adiknya, maka ia harus mengadu kepada siapa? Orang tua? Tidak! Karena nyatanya, ada anak yang memilih memendam segala cerita sedihnya, karena ia tahu, tidak akan ada yang tersentuh akan kisah pelik kehidupannya
Aghh....
"Kenapa harus aku Tuhan? Aku tidak sanggup. Aku harus kehilangan impianku dalam karier yang aku inginkan. Aku harus menahan sakit karena rasa cintaku yang tidak pernah terbalas. Sekarang, apalagi ini Ya Rabb, aku dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang merupakan kakak iparku sendiri. Kebahagiaan seperti apa yang kau persiapkan untukku didepan sana Ya Allah. Kenapa jalan untuk menggapainya harus membuatku berada dalam kesengsaraan selama hidupku"