Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Perkara Dissa
"Mas antar ya? Pulangnya nanti Mas jemput?" tawar Arjuna setelah Nara sudah lebih tenang. Keduanya sudah kembali berbaikan. Nara menarik dan menghembuskan napasnya pelan. Kepalanya mengangguk sebagai sebuah jawaban.
"Senyum dong? Nanti Mas akan coba bicarakan dengan Mama. Karena Mama punya darah tinggi, jadi Mas tidak bisa secara tiba-tiba menegur," jelas Arjuna yang lagi-lagi mendapat anggukan dari Nara.
"Mau berangkat sekarang? Sekalian kita sarapan di luar?" tawar Arjuna dan Nara hanya mengangguk lagi.
Decakan sebal pun terdengar dari Arjuna. "Jawab dong. Jangan angguk-angguk terus," gemasnya sambil mencubit hidung Nara pelan.
"Mas! Aku kesusahan bernapas!" kesal Nara sambil memukul lengan Arjuna. Hal itu mengundang tawa renyah Arjuna.
"Mas pamit dulu pada Nadya. Sekalian bertanya barangkali dia ingin makan sesuatu," ucap Arjuna menatap Nara lembut.
"Eh! Apa tidak kasihan Nadya ya? Dia jadi sarapan sendiri." Nara pun merasa kasihan bila membiarkan Nadya sarapan sendiri.
"Ya baiknya bagaimana? Bukankah sudah sesuai perjanjian jika jatah kamu, Mas akan habiskan waktu hanya dengan kamu. Begitu juga sebaliknya." Arjuna tersenyum lembut. Walau selalu terbakar cemburu saat dirinya bersama Nadya, nyatanya Nara tetap memiliki hati yang luar biasa.
Istrinya itu lebih banyak disakiti, tetapi dia tidak pernah berniat untuk membalas sekalipun kesempatan itu ada.
"Iya juga sih. Besok kan jatah aku sudah selesai. Ya sudah, lebih baik Mas pamit dulu ke Nadya sekalian bertanya ingin beli menitipkan sesuatu atau tidak."
Pada akhirnya, Arjuna kembali masuk dan tidak mendapati Nadya di ruang makan. Ketika kepalanya melongok ke dapur, istri keduanya itu juga tidak ada. "Nadya? Kamu dimana?" panggil Arjuna karena setahu dirinya, tadi Nadya telah duduk ruang makan.
Arjuna memutuskan untuk mencari Nadya ke kamar. Ketika mengetuk pintu kamar milik Nadya, sosok yang dicari muncul dengan penampilan yang berbeda.
"Nadya?" ucap Arjuna terkejut melihat Nadya telah mengenakan hijab.
"Iya, Mas. Ini aku. Pada akhirnya, aku memilih untuk menutup aurat agar kita bisa sama-sama masuk surga," ucap Nadya sudah tidak sesedih tadi.
"Alhamdulillah. Aku ikut senang kalau kamu memilih jalan ini. Aku berharap kamu akan istiqomah ya, Nad," jawab Arjuna tidak mampu menyembunyikan rasa bahagianya.
Nadya mengangguk dengan senyum yang terkembang sempurna. Namun, senyum itu langsung sirna tatkala mendengar ucapan Arjuna selanjutnya.
"Nad? Pagi ini aku mau mengantarkan Nara ke kantor. Kamu tidak apa-apa kan kalau sarapan sendiri?" tanya Arjuna menatap manik dalam milik Nadya.
Walau tampak ragu, Nadya mengangguk.
"Apa ada yang ingin kamu beli? Biar nanti Mas belikan," tanya Arjuna sungguh-sungguh.
Mendengar itu, otak Nadya pun berputar. Semalam dia melihat video di sosial media yang memperlihatkan seorang wanita yang sedang memakan mangga muda dicocol sambal kacang. Membayangkannya saja, sudah membuat air liur Nadya terasa ingin menetes.
"Mas? Aku sepertinya ingin makan mangga muda? Bisakah Mas carikan untukku? Bukan membeli di pasar ya? Tetapi, langsung petik dari sumbernya," pintanya yang membuat mata Arjuna melebar sempurna.
"Kalau tidak ada bagaimana?" tanya Arjuna barangkali ada opsi kedua.
"Pasti ada, Mas. Sekarang kan lagi musim mangga. Tolong carikan ya, Mas?" pinta Nadya dengan raut muka memelas.
"Ya sudah. Mas akan coba cari nanti ya."
...----------------...
Nara merasakan punggungnya seperti akan patah karena rapat berjalan susah hampir tiga jam lamanya. Bagas seakan tidak mengenal lelah untuk menjelaskan sistem perusahaan pada bagian editing.
Hingga beberapa menit berlalu, akhirnya Bagas menutup rapat dan hal itu membuat Nara bisa bernapas lega. Ketika Nara akan meninggalkan ruangan karena sudah diminta keluar oleh atasan, suara Bagas terdengar meminta Nara untuk tidak keluar lebih dulu.
"Inara Alfathunnissa! Harap tetap si ruangan terlebih dahulu!" cegah Bagas yang seketika membuat Nara bertanya-tanya.
"Iya, Pak? Ada apa ya?" tanya Nara heran.
Beruntung ketika asisten perempuannya akan keluar, Bagas mencegah dan meminta Resti untuk tetap berada dalam ruangan.
"Duduklah di sebelah Resti. Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan," pinta Bagas tegas.
Setelah Nara duduk, Bagas kembali membuka pembicaraan. "Jadi begini, soal kemarin yang saya membunyikan klakson ketika ada kamu itu, saya ingin bertanya sesuatu. Hanya saja, waktunya kurang tepat. Mumpung sekarang saya bertemu kamu, maka akan saya tanyakan saat ini juga," jelas Bagas lugas.
"Baik, Pak. Silahkan bertanya dan saya akan menjawab," jawab Nara bersedia.
"Kamu mengenal Dissa?" Pertanyaan dari Bagas itu membuat Nara mengernyitkan kening bingung.
"Kenal, Pak. Ada apa ya, Pak?" tanya Nara heran.
Bagas bergumam cukup lama dengan menautkan ke sepuluh jemarinya di atas meja. "Jadi begini, setelah saya bertemu Dissa untuk pertama kali, timbul keinginan Saya untuk mengenal dia lebih dekat." Bagas tampak ragu untuk menjelaskan.
"Bilang saja ingin cari istri, Pak," celetuk Resti sambil terkikik geli. Namun, hasil dari ucapannya itu mendapatkan tatapan tajam dari Bagas.
Nara yang mendengar itu, hanya mampu mengulum senyum. "Oh, kalau begitu kan lebih jelas, Pak. Tetapi, mengapa Bapak tahu jika saya mengenal Dissa?" tanya Nara cukup penasaran.
"Ya karena Bu Dissa yang datang sendiri ke sini untuk merekomendasikan Mbak Nara. Maka dari itu, Mbak Nara langsung diterima tanpa ada tes," jelas Resti lagi, seakan tidak takut pada Bagas, sang Atasan yang kini tengah menatap seakan ingin menelannya hidup-hidup.
Nara membulatkan mata tidak percaya. Pantas saja ketika dia diterima kerja, rasanya kurang wajar bisa diterima dalam beberapa menit. "Jadi, saya diterima bekerja bukan karena prestasi saya? Melainkan karena Dissa?" tanya Nara menuntut penjelasan. Dia jelas tidak terima jika hanya itu alasan Nara diterima.
"Itu tidak benar. Awalnya, saya memang ingin langsung menerima kamu karena Dissa. Namun, ketika melihat nilai IPK kamu serta penghargaan yang kamu dapatkan begitu luar biasa, saya takjub dan dengan senang hati menerima karyawan berpotensi seperti kamu," jelas Bagas tidak ingin Nara salah paham.
Hembusan napas lega pun terdengar. "Syukurlah, Pak. Saya pikir seperti itu."
"Jadi, apakah kamu mau membantu saya untuk mendekati Dissa?" tanya Bagas penuh harap.
Nara tersenyum lebar mendengarnya. "Itu harusnya bukan urusan saya, Pak. Sebagai seorang laki-laki, Bapak harus tunjukkan kesungguhan Bapak, jika benar Bapak ingin menjalin hubungan serius dengan Dissa. Satu hal yang perlu Bapak ketahui, Dissa masih sendiri." Hanya itu yang bisa Nara katakan.
Dia ingin sahabatnya itu diperjuangkan dengan layak. Nara jadi tidak sabar ingin mencecar Dissa dengan banyak pertanyaan. Mengapa temannya itu tidak mengatakan jika telah datang ke kantor hanya demi merekomendasikan dirinya?
"Sudah cukup kan, Pak? Kalau begitu, saya pamit dulu ya? Suami saya sudah menunggu," pamit Nara sambil melambaikan tangan.
Bagas pun balas melambai lalu berteriak. "Terimakasih, Nara!"
Sebelum pintu ruangan tertutup, Nara mengangkat jari jempol lalu mengangguk.