Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 ANCAMAN MULAI MUNCUL
Aku merasa tubuhku kaku, seolah ada yang mencekik tenggorokanku. Aku tak pernah membicarakan masa lalu itu dengan siapa pun—terutama bukan dengan Mbak Dina. Kenapa dia bisa tahu? Bagaimana mungkin dia mengetahui tentang kejadian itu? Itu adalah kenangan yang begitu kelam, yang aku sembunyikan rapat-rapat dalam pikiranku.
Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata, tetapi mulutku terasa kering. Ingatanku kembali ke masa lalu, ketika aku masih muda, penuh kebingungan, dan mengambil keputusan yang kini terasa begitu menyesakkan. Aku pernah menggugurkan kandungan, suatu kejadian yang hanya aku yang tahu. Namun, kini Mbak Dina seolah-olah memiliki kuasa untuk menggali hal itu, dan dia menggunakan informasi itu sebagai senjata.
Dengan perlahan, aku memaksa diri untuk menatapnya. "Apa yang kamu inginkan, Mbak?" suaraku terdengar pelan, namun setiap kata yang keluar seolah dipenuhi ketegangan. Aku berusaha keras agar tidak menunjukkan rasa takut, tapi entah kenapa, ancaman itu terasa begitu nyata.
Mbak Dina tidak buru-buru menjawab. Dia hanya tersenyum dingin, dan aku bisa melihat di matanya bahwa dia merasa menang. "Jangan berpikir kamu bisa mengendalikan semua ini, Caca," katanya, suaranya tajam dan menusuk. "Aku tahu segalanya tentangmu, dan aku akan memastikan agar segala tindakanmu punya konsekuensi. Jika kamu melanjutkan rencanamu, aku bisa membuat hidupmu jauh lebih sulit daripada yang kamu kira."
Aku tidak tahu bagaimana harus meresponnya. Ancaman tentang masa laluku yang kelam itu, yang dulu aku coba lupakan, kini seperti hantu yang datang menghantui lagi. Mbak Dina, dengan segala cara yang dia punya, mencoba untuk mengendalikan setiap gerak-gerikku. Aku merasa terjebak di dalam permainan ini, dan entah bagaimana, aku tahu aku tidak bisa mundur lagi.
Aku menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang meski hatiku berdebar kencang. "Kamu tidak tahu apa-apa, Mbak," kataku, mencoba untuk tidak menunjukkan kelemahanku. "Aku tidak takut dengan ancamanmu."
Namun, dalam hati aku tahu, ancaman ini bukan sekadar kata-kata kosong. Dina telah menggali lebih dalam, dan dia tahu persis bagaimana cara menekan setiap titik lemah yang ada padaku. Aku harus berpikir lebih matang sekarang, karena ini bukan hanya tentang hubungan antara aku dan suamiku, atau aku dan Mas Bayu. Ini sudah jauh lebih besar dari itu.
Aku berdiri di sana, tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Mbak Dina. Setiap kata yang dia ucapkan seolah seperti belati tajam yang menancap dalam-dalam. Selama ini aku berpikir aku bisa mengontrol semuanya, tapi ternyata dia tahu lebih banyak daripada yang ku kira. Aku merasa tubuhku kaku, tidak bisa bergerak, dan mataku mulai berputar. Aku hampir tidak bisa menahan napas, saking terkejut dan takutnya.
"Jangan coba-coba membuat hidupmu lebih sulit dari yang sudah ada, Caca," kata Dina, suaranya tenang namun penuh ancaman. "Aku tahu apa yang kamu sembunyikan. Aku tahu tentang kejadian yang kamu pikir tak ada yang tahu. Kau kira aku tak akan bisa menemukannya? Kau salah."
Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang, hampir seperti bisa meledak. "Apa maksudmu?" suaraku bergetar, meski aku berusaha untuk terdengar tegas.
Dina mendekat, senyumnya yang dingin mengiris hati. "Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu pernah menggugurkan kandunganmu?" Dia menyebutkan itu dengan begitu mudah, seolah itu adalah informasi yang sudah lama aku simpan dengan rapat. "Jangan kira aku tidak bisa membuat hidupmu hancur, Caca. Aku bisa mengungkit semua itu kapan saja. Semua orang akan tahu tentangmu. Tentang siapa kamu sebenarnya."
Aku terdiam, seakan otakku terhenti sejenak. Bagaimana dia bisa tahu? Dari mana dia mendapatkan informasi ini? Semua yang aku lakukan untuk menutupi masa lalu itu, tiba-tiba saja terasa sia-sia. Aku tidak bisa lagi menyangkal, dan perasaan malu serta takut datang begitu kuat. "Kamu... bagaimana bisa tahu itu?" tanyaku, suara terhambat.
Dina hanya tertawa pelan, tapi ada kesan mengejek dalam tawanya. "Aku punya cara untuk mengetahui segala sesuatu yang kamu pikir bisa disembunyikan. Kamu tak bisa melawan saya, Caca. Jangan coba-coba melawan. Karena jika kamu melakukannya, aku akan pastikan semua orang tahu apa yang pernah kamu lakukan."
Aku bisa merasakan kepanikan merayapi tubuhku. Selama ini, aku merasa memiliki kontrol atas situasi. Tapi sekarang, aku merasa seperti boneka di tangan Dina, yang bisa menggerakkan aku kapan saja. "Apa yang kamu inginkan?" tanyaku, berusaha menjaga ketenangan meski jantungku hampir keluar dari dada.
Dina menatapku dengan tatapan penuh kebencian, seolah-olah dia baru saja memenangkan sesuatu yang sangat berharga. "Apa yang aku inginkan sangat sederhana, Caca. Kamu berhenti dengan permainanmu. Jangan coba-coba menghancurkan rumah tanggaku lebih jauh. Kalau kamu berani melanjutkan semuanya, aku tak akan ragu untuk menjadikan hidupmu lebih sulit."
Suasana jadi semakin tegang. Aku merasa terjebak, tanpa jalan keluar. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Dina semakin membuat aku merasa kecil dan tak berdaya. "Kamu bisa berhenti sekarang, Caca," katanya lagi dengan senyum sinis. "Atau kamu ingin melawan dan merasakan konsekuensinya?"
Aku berusaha untuk mengumpulkan seluruh keberanian yang masih tersisa. "Kamu tidak bisa mengendalikan aku, Mbak," jawabku, meski hatiku bergetar. "Aku tidak takut dengan ancamanmu."
Namun, Dina hanya mengangkat bahunya, seolah tak terganggu dengan kata-kataku. "Kita lihat saja nanti, Caca," jawabnya dengan suara yang begitu tenang, tapi menyimpan ancaman yang begitu besar. "Aku bisa membuat hidupmu lebih buruk daripada yang kamu kira."
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Semua yang selama ini aku rencanakan mulai runtuh, dan aku terperangkap dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang ku bayangkan. Kini, aku harus berhati-hati, karena Dina bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.
...****************...
Aku duduk di ruang tamu, rumah Mas Bayu menatap layar ponselnya, aku harus berbicara dengan Mas Bayu sebelum keadaan semakin kacau, namun pikiranku berkelana jauh, teringat percakapan yang baru saja terjadi antara diriku dan Mbak Dina. Ketegangan masih terasa di udara, dan rasa takut serta kecemasan mulai merayap dalam diriku.
“Aku harus lebih hati-hati, aku tak bisa membuat kesalahan lagi. Mbak Dina sudah tahu lebih banyak dari yang kukira.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan aku langsung menoleh. Mbak Dina muncul di pintu ruang tamu dengan wajah yang penuh perhitungan. Aku bisa merasakan atmosfer berubah begitu Dina muncul.
“Sudah lama tidak mendengar kabar darimu, Caca. Apa, kau merasa tenang sekarang setelah permainanmu itu?”
Aku terdiam sejenak, berusaha menjaga ekspresi ini agar tidak terlihat ketakutan.
“Aku... tidak tahu apa yang Mbak Dina maksud?" Aku berusaha santai, namun suaraku terdengar sedikit gemetar
Mbak Dina mendekat dengan langkah perlahan, wajahnya menatap wajahku datar, namun mata tajamnya menilai setiap gerakku.
“Jangan berpura-pura bodoh, Caca. Kau pikir aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan? Kau ingin menghancurkan rumah tanggaku, kan?”
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya