Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
"Mama ..."
"Kenapa mukamu kaget sekali melihat kedatangan Mama? Apakah kamu punya salah pada Mama, Anjel?" Indi Wiraguna menodong anaknya sendiri dengan pertanyaan sarkas.
Anjel berdecih pelan. "Mama bicara apa sih? Aku hanya sedikit kaget karena Mama datang mendadak. Biasanya 'kan suka nelepon atau chat dulu." Sejujurnya, Anjelo merasakan sedikit gugup karena dia memang punya salah pada ibunya. Bahkan bukan hanya pada ibunya, melainkan pada istri dan seluruh keluarga besarnya. Dan tahukah apa salahnya itu?
Tentu saja pernikahan sirinya dengan Zeona. Namun Anjelo tetaplah Anjelo. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu selalu bersikap tenang dan pintar menyembunyikan kegugupannya.
"Begitukah?" Indi bersuara lagi. "Bolehkah Mama masuk?"
"Ah, tentu saja!" Anjelo menguak pintu dengan lebar. Bergeser ke kiri untuk memberi celah agar ibunya bisa masuk ke dalam ruangannya.
"Selamat siang Nyonya Besar!" Eric membungkukkan setengah badannya. Menyapa ibu dari tuannya.
"Selamat siang juga, Eric. Bagaimana kabarmu, apakah kamu sudah punya kekasih?"
"Kabar saya baik, Nyonya. Saya belum punya pacar." Eric menjawab apa adanya.
"Hm, bagaimana kalau saya jodohkan kamu dengan Meta, apakah kamu bersedia?"
"Mama." Anjelo melayangkan protes. Ibunya selalu saja menggoda sekretarisnya. "Jangan menjodoh-jodohkan anak orang! Biarkan Eric memilih pendamping hidupnya sendiri." Tegur Anjelo pada Ibunya. "Eric, kembalilah ke ruanganmu!" Perintah tersebut diangguki oleh Eric Wibowo.
"Ckck! Kamu memang susah diajak bercanda, Anjel. Sama seperti mendiang Papamu." Indi menggerutu. "Ah, Mama jadi ingin mengunjungi dia," lanjutnya sambil menjatuhkan bokong di atas sofa yang ada di ruangan Anjelo. Diikuti oleh Anjelo.
"Ada perlu apa Mama datang ke sini?" tanya Anjelo to the point.
Indi kembali mengeluarkan decakan. "Mama rindu padamu, Anjel. Sudah hampir satu bulan ini, kamu tak pernah mengunjungi Mama. Istrimu juga sama. Kalian berdua super duper sibuk ya?!" Mengerucut bibir merah Indi selepas mengatakan hal tersebut.
Anjelo membuang napas panjang. "Maaf Ma, akhir-akhir ini, aku dan Vivian memang sedang banyak kesibukan. Boro-boro ada waktu untuk mengunjungi Mama, pulang ke rumah saja jarang. Apalagi Vivian, baru tiga hari ini dia ada di rumah dan tadi pagi, dia sudah berangkat lagi ke Bali. Ada pameran perhiasan berlian, katanya," ungkap Anjelo menjelaskan.
Desahan panjang mengudara dari bibir Indi. "Yaaaah ... berarti keinginan Mama untuk segera punya cucu tak akan terlaksana dalam waktu dekat, dong?" Wajah cantiknya menggambarkan kekecewaan yang kentara.
"Ah, sudahlah Ma! Jangan selalu membahas tentang anak. Aku malas mendengarnya!" Seketika mood Anjelo langsung anjlok.
"Tapi Mama sudah kebelet ingin menimang cucu, Anjel. Mama sudah sangat tua. Mama tidak mau mati sebelum melihat wajah anakmu!" Indi menggerutu. "Segeralah punya anak! Umurmu juga sudah tak muda lagi. Teman-teman sebayamu saja sudah ada yang memiliki dua anak, bahkan ada yang memiliki tiga anak. Masa kamu satu aja belum! Atau jangan-jangan ... kalian jarang melakukan hubungan bad*n?" Mata bulat Indi menyipit penuh selidik. Dia memicing penuh curiga.
"Stop Ma! Jangan mengorek urusan ranj*ngku! Aku tidak suka." Anjelo berucap dengan tegas. Bukannya tersinggung, Indi malah tertawa lebar.
"Sorry Son! Tapi Mama benar-benar ingin segera punya cucu! Titik tidak pakai koma!" tekannya memaksa. "Kerajaan bisnis kita butuh penerus!" sambungnya menambahkan.
Anjelo bergeming. Tiba-tiba saja dia teringat pada Zeona. Melirik jam dinding. "Sudah jam setengah satu, pasti Zeona sudah menungguku. Tapi bagaimana caranya aku bisa kabur dari Mama?" Anjelo membatin. Memutar otak mencari jalan agar bisa pergi untuk bertemu dengan Zeona.
Ide cemerlang muncul. "Ma, aku ke ruangan Eric sebentar!" Tanpa menunggu tanggapan dari Mamanya, Anjelo lekas berdiri dan keluar dari ruangannya.
Dia melesat pergi turun ke lantai bawah. Meninggalkan ibunya sendirian.
Anjelo: Eric, tolong kamu temani Mama saya! Jika dia menanyakan ke mana saya pergi, katakan saja jika saya ada urusan mendadak yang sangat penting. Saya harus pergi sekarang, urgent!
Anjelo mengirimkan pesan tersebut pada Eric dan langsung dibaca.
Eric: Siap Tuan!
Seulas senyum menghiasi bibir. Buru-buru Anjelo masuk ke dalam mobil. "Wait for me, Zeona. I'II come!" desis Anjelo dalam hatinya.
Eric terpaksa harus berbohong pada Nyonya besarnya. Mengatakan sesuai yang diperintahkan Anjelo.
"Memangnya dia pergi ke mana Eric? Padahal saya ingin mengajak anak itu untuk makan siang bersama. Tapi dia malah kabur. Dasar si gila kerja!" omel Indi dengan bibir yang mencong ke kanan dan ke kiri saking jengkelnya.
"Sabar Nyonya! Tuan Anjel memang sangat sibuk akhir-akhir ini." Eric berusaha menenangkan wanita berkacamata di hadapannya.
"Ya, dia dari dulu memang selalu sibuk!" Indi mendesah jengkel. "Kalau begitu, saya pulang dulu, Eric. Saya mau mengajak Meta saja! Anak itu selalu ada untuk saya," tukas Indi seraya bangkit berdiri lalu pergi.
Eric: Nyonya besar sudah pulang Tuan.
Pesan itu terkirim, namun tidak dibaca. Eric pikir, atasannya pasti sedang menyetir. Lelaki berjas biru muda itu pun keluar dari ruangan Anjelo. Berjalan santai sambil sesekali menyapa para rekan kerjanya. Masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah. Niatnya ingin mencari makan siang.
Saat akan menuju restoran, tiba-tiba saja dia teringat pada Zalina. Eric tertegun sebentar, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobilnya. "Kabar Zalina sekarang bagaimana ya?" Seulas senyum terbit. Eric tancap gas dengan hati yang sedikit berdebar-debar.
"T-tuan?" Zeona tersentak kaget karena Anjelo datang ke apartemen dengan wajah memerah dan napas yang tak beraturan. Layaknya orang yang dikejar penagih hutang. "Tuan kenapa?"
"Saya lelah, Zeona." Anjelo menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tengah. "Bisa tolong ambilkan saya minum!" pintanya yang langsung diangguki oleh Zeona.
Tak lama, Zeona sudah kembali ke ruang tengah dengan membawa nampan berisi satu botol air mineral berukuran besar beserta gelasnya. "Ini Tuan!" katanya sambil menyimpan nampan di atas meja.
Tak membuang waktu, Anjelo menyambar botol air mineral itu, menuangkannya ke dalam gelas besar yang disediakan Zeona. Meneguknya sampai habis.
Kegiatan itu tak luput dari perhatian Zeona. Bagaimana gadis berkemeja marun itu dapat meloka dengan jelas jakun Anjelo yang naik turun. Sungguh seksi dan sangat menggoda. Membuat sesuatu di bawah perutnya berkedut-kedut. Secepat kilatan cahaya, Zeona menepis rasa aneh itu. Memalingkan muka ke arah lain. Namun saat melirik lagi, wajah Anjelo sudah berada tepat di depan wajahnya. "YA TUHAN!" pekiknya terkejut. Jarak wajah mereka begitu dekat. Sampai Zeona bisa merasakan embusan napas Anjelo dan juga wangi parfumnya yang menenangkan. Serupa aroma terapi yang membuat orang yang menghirupnya ingin memejamkan mata.
"Zeona ... mulai malam nanti, berhentilah bekerja dari club malam itu!"
Zeona terhenyak, "Kenapa ss-saya harus berhenti bekerja dari sana, Tuan?"
"Karena saya tidak mau apa yang menjadi milik saya diincar oleh lelaki lain!"
Kedua alis Zeona menukik tajam, "Mm-maksud Tuan?"
"Saya tahu Zeona, jika tadi malam, kamu hampir dile c*hkan!"
"T-tuan tahu dari siapa?" Dengan polosnya Zeona bertanya demikian. Padahal kalau pikirannya jernih, Zeona pasti tahu siapa yang sudah melaporkan kejadian itu kepada Anjelo. Tapi karena terkejut, otaknya jadi kurang bisa berpikir dengan benar.
"Dari Eric!"
Terkoneklah otak Zeona. "Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa kalau Mas Eric adalah orang kepercayaannya Tuan Anjelo," bisiknya dalam hati.
"Jangan membantah perintah saya! Sekali saya bilang berhenti, maka kamu harus mematuhinya!" ucap Anjelo penuh penekanan.
"Tapi Tuan, kalau saya berhenti bekerja dari sana, dari mana lagi saya akan mendapatkan uang untuk memenuhi semua kebutuhan saya dan kakak saya. Kam--"
"Sttt!" Secepat kilat, Anjelo memotong ucapan Zeona. "Kamu bisa bekerja di hotel milik saya."
"Hah, di hotel milik T-tuan?" Zeona mengulang perkataan Anjelo.
"Ya. Nanti saya akan menyuruh Eric untuk mengurus semuanya."
"Baiklah Tuan. Nanti malam, saya akan memberikan surat pengunduran diri saya pada pemilik club."
Anjelo menganggukkan kepala. Dia merogoh dompet dan mengambil benda tipis berbentuk seperti KTP dari sana lalu memberikannya pada Zeona. "Ini untukmu!"
Mata Zeona melebar, tak percaya dengan apa yang dia lihat. "T-tuan, ini 'kan ..."
"Ya Zeona. Itu debit card untukmu. Gunakanlah untuk membiayai pengobatan kakakmu."
"Dari man--" Anjelo menyela ucapan Zeona dengan cepat.
"Jangan bertanya saya tahu dari siapa! Karena saya tahu segalanya tentang kamu. Bahkan ukuran bra kamu pun saya tahu, Zeona." Mulut Zeona yang tadinya terbuka untuk melanjutkan ucapan, kini kembali tertutup rapat. Tertampar oleh perkataan Anjelo barusan.
"Pastinya Mas Ericlah yang memberitahu Tuan Anjelo tentang keadaan kakak." Zeona membatin.
"Kamu sudah makan siang?" Anjelo bertanya yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Zeona.
"Kalau begitu kita pesan makanan dulu. Setelah itu, barulah saya akan memakan kamu!" Smirk genit muncul di bibir sensual Anjelo. Membuat Zeona memalingkan muka merasa malu.
Apakah semua lelaki seperti ini? Mempunyai nafs* yang sangat besar sehingga harus melakukan hubungan hampir setiap hari.
"Kapan kamu mulai masuk kuliah?" Anjelo membuka obrolan disela kunyahannya.
"Minggu depan, Tuan." Zeona menjawab apa adanya.
"Kamu mengambil jurusan apa?" Anjelo kembali bertanya.
Zeona menelan dulu makanannya sebelum menjawab pertanyaan Anjelo. "Jurusan Arsitektur, Tuan."
Senyum kecil terbit di bibir Anjelo. "Hm, bagus juga pilihanmu. Lulusan itu memang sangat mudah untuk mencari kerja," timpalnya. "Berarti kamu tidak satu jurusan ya, dengan adik ipar saya?"
"Tidak Tuan. Alden 'kan ngambil jurusan kedokteran," ucap Zeona.
"Ya, saya tahu itu. Tapi kalian tetap satu kampus. Dan saya peringatkan sekali lagi pada kamu, Zeona. Jangan terlalu dekat dengan Alden! Kalau bisa, kamu tidak usah berteman lagi dengan dia karena saya tidak suka wanita saya berdekatan dengan lelaki lain. Saya benci itu!" Ucapan Anjelo penuh penekanan dan terdengar sangat tajam.
Zeona mengakhiri makan siangnya. Dia mengangkat wajah dan menatap Anjelo. "Tapi Tuan, saya dan Alden itu sudah berteman sejak lama. Dia adalah satu-satunya teman baik saya. Tuan tidak usah khawatir, karena saya tidak punya perasaan apapun pada Alden. Say--"
"Sttt!" Anjelo menempelkan telunjuknya di bibir. Mengisyaratkan agar Zeona tak melanjutkan ucapan. "Persahabatan lelaki dan perempuan itu jarang ada yang murni Zeona. Pasti akan ada rasa suka yang tercipta di tengah tali persahabatan itu. Mungkin perasaan kamu pada Alden biasa saja, tapi bagaimana dengan perasaan Alden?"
Zeona tersenyum kecil. "Pastinya perasaan Alden pun sama Tuan. Saya yakin, dia tak mungkin menyukai saya." Senyum kecil itu berubah menjadi kekehan ringan.
Kini, giliran Anjelo yang tersenyum. "Sayangnya perkiraan kamu salah, Zeona."
Zeona mengernyit kening, "Maksud Tuan?"
Anjelo meneguk air putih miliknya. Mengusap bibirnya dengan tisu, lalu beranjak mendekati Zeona. Duduk di samping gadis itu. Merunduk dan berbisik tepat di telinga Zeona. "Alden pernah bercerita pada saya, kalau dia mencintai kamu."
Bola mata Zeona melebar sempurna. "T-tidak mungkin?"
Makasih udah baca😊