Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Nino (6)
Nino cukup lama berdiri di depan pintu setelah menekan bel berkali-kali. Apakah semua orang sedang pergi? Ia menoleh ke carport dan baru menyadari jika mobil Diane tidak ada. Nino akhirnya memutuskan untuk pulang. Namun, langkahnya kembali terhenti, jika Diane pergi, rasanya Clarissa tidak mungkin ikut.
Nino termenung untuk menimbang-nimbang antara pulang atau tetap di sana, ia menatap pintu bercat cokelat itu. Ia yakin jika Clarissa ada di dalam. Nino kembali berbalik, lalu memutar knop pintu dan terbuka. Nino terkejut karena pintu tidak terkunci.
Walaupun ada sedikit keraguan, Nino melongokan kepalanya ke dalam. Sepi. Namun, ia mendengar gemericik air dari kamar mandi, dari arah menuju halaman belakang. Nino akhirnya masuk, rumah itu benar-benar sepi. Hanya suara gemericik air yang tidak berhenti di sana.
“Clarissa.” Suaranya menggema. Tidak ada yang menyahut.
Nino mulai merasa heran dengan suara air dari kamar mandi di belakang. Perasaannya mulai diliputi kecemasan bercampur dengan rasa takut. Nino berjalan ke arah tempat itu. Suara gemericik air itu semakin jelas terdengar dan ternyata pintunya terbuka. Nino langsung dan berlari menuju tempat itu.
Pemandangan mengerikan ada di hadapannya. Seluruh tubuhnya gemetar saat melihat aliran air itu memerah karena bercampur dengan darah yang merembes dari luka menganga di pergelangan tangan Clarissa.
Jantungnya berdetak kencang dan kepanikan semakin menyergap dirinya.
“Clarissa!!”
Ia melangkah, menjejakkan kaki di lantai yang terasa dingin. Bau amis menguar di sekitar tempat itu. Nino meraih tubuh yang terkulai lemah di lantai. Wanita itu sudah terlihat pucat dan darah terus menetes dari tangannya.
“Oh, tidak! Clarissa!” Nino meraung-raung menyebut namanya. Ia menepuk pipi wanita itu berkali-kali berharap dia akan terbangun. Namun, tidak.
Nino mencari sesuatu untuk menghentikan aliran darahnya dan ia melirik dasi yang masih tergantung di leher. Ia segera melepasnya dan membebat luka menganga di tangan Clarissa. Tanpa menunggu lama, ia menggendong tubuh wanita itu menuju mobilnya. Ia akan membawanya ke rumah sakit, berharap Clarissa masih bisa terselamatkan.
Nino melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia tidak peduli dengan rambu lalu lintas, yang dipikirkan hanya bagaimana sampai ke rumah sakit dengan cepat.
Nino mengumpat ketika laju mobilnya tersendat. Sesekali ia melirik ke arah Clarissa yang semakin bertambah pucat dan darah di tangannya menembus dasi yang membebat lukanya. Sebelum ke rumah sakit, ia menelepon Amira dan meminta untuk menelepon Diane.
Setelah sampai di rumah sakit, ia segera menuju IGD. Petugas di sana sigap saat melihat Nino membopong tubuh Clarissa. Ia tidak peduli bercak darah yang mengotori kemejanya.
Nino ditahan oleh perawat ketika brankar yang membawa Clarissa masuk ke ruang pemeriksaan. Nino tidak bisa menghilangkan kecemasannya. Bukan hanya cemas, ia juga takut terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu. Ia duduk dengan gelisah menunggu dokter keluar. Tak lama kemudian, Diane tiba ditemani oleh Rayhan. Wanita itu tak kalah cemasnya dengan Nino. Nino menceritakan bagaimana ia menemukan Clarissa. Sekarang, Diane merasa bersalah karena meninggalkan putrinya sendirian.
Setelah cukup lama menunggu, dokter keluar dari ruangan. Diane dan Nino segera menghampiri.
“Dokter, bagaimana keadaan putri saya?”
Dokter itu diam cukup lama. Wajahnya tentu menyiratkan sesuatu yang tidak baik. Dia menarik napas dalam, lalu menggeleng.
Wajah-wajah putus asa itu semakin jelas ketika dokter juga memperlihatkan hal yang sama.
“Saya sangat menyesal mengabarkan ini. Kami sudah melakukan segala upaya untuk menyelamatkan nyawa pasien, tapi Tuhan berkehendak lain. Ini adalah momen tersulit bagi kita semua. Kami ingin memberikan dukungan sebanyak mungkin untuk Anda dan keluarga.”
Tangis Diane pecah saat itu juga. Rayhan segera memeluk wanita itu. Sedangkan Nino, ia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter.
“Dokter, tolong, tolong, selamatkan nyawa Clarissa! Saya yakin dia masih bisa selamat.” Nino memohon ketika dokter itu akan pergi.
Pria berkacamata itu mengiba melihat Nino yang terlihat hancur mendengar kabar menyedihkan itu. Hal seperti ini tentu tidak ingin terjadi, bahkan untuk para petugas medis sekalipun. Mereka tidak ingin ada nyawa yang tidak bisa terselamatkan.
“Ini sudah kehendak Tuhan.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh dokter.
Nino tidak bisa lagi menahan segala kesakitan di dadanya. Ia berlari menuju ruang pemeriksaan. Ia mematung melihat tubuh yang sudah ditutupi oleh kain putih seluruhnya.
Nino menyugar rambutnya dengan wajah frustrasi. Ia mencoba untuk menahan air matanya, tetapi tidak bisa. Laju napasnya terasa sesak dan sakit ketika ia berada di hadapan tubuh yang sudah membeku. Tangannya bergetar saat menyentuh kain yang menutupi wajah wanita itu.
Nino semakin tidak bisa mengontrol dirinya. Tangisannya pecah, ia memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Tangisannya penuh dengan kepedihan atas kehilangan orang yang paling dicintainya.
***
Karina menitikkan air mata mendengar cerita dari Amira. Sekarang ia mengerti kenapa Nino bisa mengalami trauma sedalam itu.
“Sampai sekarang, Mami masih merasa bersalah karena meninggalkan Clarissa sendirian waktu itu,” ujar Amira. “Mami selalu bilang, jika waktu bisa diulang, mungkin sekarang dia masih ada dan bisa sembuh.”
Karina menunduk sejenak. Kenapa takdirnya mengerikan sekali.
“Lalu, bagaimana kalian tahu kalau Kevin pelakunya? Bukankah selama itu Clarissa gak buka suara?”
“Kami menemukan riwayat chat di ponsel Clarissa yang sebelumnya dia charger. Mungkin, semuanya sudah diatur sedemikian rupa.”
Karina membuang napas pelan. Berarti selama ini, Hardi juga tahu apa yang terjadi pada Nino? Namun, Karina tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Sudah cukup ia mengetahui semuanya. Ia melirik keluar jendela dan hari sudah gelap. Nino pasti khawatir jika ia pulang terlalu malam.
“Makasih ya, Mbak, udah mau berbagi cerita. Saya turut berduka atas kepergian Clarissa, walau sudah sangat terlambat saya mengatakan ini.”
Amira mengangguk sambil tersenyum. “Kapan-kapan, kita boleh bertemu lagi, kan?”
Karina membalas senyuman Amira. “Tentu, Mbak.”
Amira merasa sudah melihat adiknya lagi. Walaupun sifat mereka berbeda, tetapi wajah mereka menunjukkan kemiripan yang kentara.
“Mbak boleh ketemu saya kapan aja.”
Setidaknya pertemuan mereka membuat rindu Amira sedikit terobati.
***