NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:579
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lu gak merasa tersaingi?

Happy reading guys :)

•••

Jumat, 3 Oktober 2025

Warna gelap yang sepanjang malam menghiasi langit perlahan-lahan berubah menjadi jingga. Matahari telah terbangun dari tidur, mulai menyapa dan menyinari dunia dengan cahaya terangnya.

Saat ini, di ruangan dapur rumah Vanessa terlihat Galen sedang sibuk dengan beberapa macam alat masak di kedua tangannya. Ia dengan telaten menumis, merebus, dan menggoreng berbagai macam bahan makanan agar menjadi hidangan yang sangat enak.

Aroma masakan dan suara bising yang ditimbulkan oleh Galen, membuat Vanessa yang sedang menuruni anak tangga, dan ingin pergi ke kamar mandi sontak mengurungkan niat. Gadis berambut medium layer itu berbelok menuju dapur, memasuki ruangan seraya menghirup wanginya aroma masakan yang dibuat oleh Galen.

“Dek, baru bangun?” tanya Galen, melihat Vanessa yang baru saja mendudukkan tubuh di meja makan.

Vanessa mengangguk, melipat kedua tangan di meja, dan menatap ke arah Galen. “Iya, Kak. Maaf, ya, Adek pagi ini jadi gak bisa bantuin Kakak buat masak.”

“Iya, gak papa. Kakak paham, kok, kalo kamu kecapean banget tadi malam,” ujar Galen, seraya membalik masakan menggunakan teknik pan tossing, “Dek, mandi, gih, habis ini kita sarapan.”

Vanessa menguap, menggosok-gosok mata, lalu mengangguk saat mendengar perkataan sang kakak. “Iya, Kak. Ya, udah, Adek ke kamar mandi dulu, ya.”

Galen mengangguk singkat, melirik sekilas ke arah sang adik, kembali berfokus kepada berbagai macam makanan yang sedang dirinya masak.

Tiga puluh menit telah berlalu sejak Vanessa pergi ke kamar mandi. Saat ini, Galen telah menyusun rapi semua makanan yang dirinya masak di atas meja makan. Ia duduk di salah satu kursi, mengambil minum seraya menunggu sang adik selesai mandi dan berdandan.

Suara handphone milik Galen berbunyi, membuat sang pemilik sontak mengambilnya dari atas meja makan. Galen melihat nama orang yang telah meneleponnya, tersenyum simpul saat membaca nama ‘my chubby’ pada layar handphone.

Galen bersandar pada kursi, mengangkat panggilan telepon dari salah satu orang yang dirinya sayangi. “Halo.”

“Selamat pagi! Honey!” sapa seorang cewek dari seberang telepon dengan sangat semangat.

“Iya. By the way ada apa nelpon? Bukannya kata kamu kemarin, jam segini kamu ada meeting?” tanya Galen, seraya menyilangkan kedua kaki.

“Malam ini, gak jadi aku yang mewakili perusahaan, Yang. Jadi, aku bisa telponan, deh, sama kamu,” jawab cewek itu.

Galen melihat ke arah meja, mengerutkan kening, menyadari bahwa ia lupa menaruh piring untuk dirinya dan Vanessa makan.

“Hmm … gitu, terus yang gantiin kamu siapa?” Galen bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju lemari untuk mengambil dua piring makan.

“Kakak,” ujar cewek itu dengan semangat, “Oh, iya, Yang. Lusa aku pulang ke Indonesia, kamu sama Vanessa mau dibawain apa dari sini?”

“Aku gak usah, cukup kamu sampai sini dengan selamat aja, aku udah senang banget.” Galen menaruh handphone di atas piring, lalu membawanya menuju meja makan.

Galen meletakkan piring yang dirinya bawa di atas meja. Namun, saat meletakkan dua piring itu, ia tidak sengaja menimbulkan sedikit kebisingan, membuat cewek yang sedang berada di seberang telepon sontak bertanya kepadanya.

“Yang, itu suara apa?”

Galen mengambil handphone dari atas piring, menempelkan benda pipih itu di telinga. “Maaf, Yang. Itu, tadi aku naruh piring di atas meja.”

“Oh, iya, di sana jam setengah tujuh pagi, ya? Ya, udah, deh, kamu sarapan dulu, nanti kita sambung lagi telponannya. Selamat sarapan, Sayangku,” ujar cewek itu, seraya memberikan sebuah ciuman sebelum mematikan sambungan telepon.

Galen hanya bisa tersenyum simpul seraya menggeleng-gelengkan kepala, saat mendapatkan ciuman dari cewek itu. Ia menaruh handphone di atas meja, melihat ke arah depan, menyadari sang adik telah berada di meja makan.

“Pagi, Kak,” sapa Vanessa, mendudukkan tubuhnya di samping Galen.

“Pagi juga, Dek,” jawab Galen, mengambil gelas, mengisi dengan air mineral, dan meminumnya.

Vanessa memisahkan dua piring yang tertumpuk, mengisinya dengan nasi, lalu memberikannya satu kepada sang kakak. “Tadi, yang nelpon kak Livy, Kak?”

“Makasih, Dek.” Galen menerima piring pemberian Vanessa. “Iya. Livy tadi yang nelpon.”

Vanessa mengambil beberapa macam lauk yang telah sang kakak masak, dan menaruhnya di atas piring. “Ada apa, Kak? Tumben banget, kak Livy nelpon pagi-pagi gini.”

“Lusa dia pulang ke Indonesia,” jawab Galen, menaruh beberapa sendok tumis ayam suwir yang telah ia masak di atas piring, lalu memakannya.

Vanessa mengarahkan sendok yang sudah berisi nasi dan beberapa lauk ke mulut. Namun, gerakannya sontak terhenti, saat mendengar jawaban dari Galen.

“Serius, Kak? Kak Livy mau pulang?” tanya Vanessa, menaruh sendok di atas piring, menatap Galen dengan mata yang berbinar-binar.

Galen membalas tatapan Vanessa, tersenyum simpul, melihat mata sang adik yang telah berbinar-binar. “Iya, Adek. Livy mau pulang. Emang kenapa, sih?”

Mendengar jawaban dari Galen, membuat bibir Vanessa tertarik, membuat sebuah senyuman yang sangat manis. “Lusa, yang jemput kak Livy, Kakak, kan?”

Galen menaruh sendok di atas piring, tangannya bergerak mengelus puncak kepala sang adik. “Iya, Adek. Kenapa?”

“Adek ikut, ya, Kak?” pinta Vanessa, mengubah raut wajahnya seimut mungkin agar sang kakak mau mengajaknya.

Melihat raut wajah sang adik yang seketika berubah, Galen tersenyum jahil. Ia menjauhkan tangan dari kepala Vanessa, menopangkan dagu, mengalihkan pandangan ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.50, tanpa memberikan jawaban dari permintaan sang adik.

“Udah mau jam tujuh. Ayo, dimakan sarapannya, nanti kamu telat.” Galen mengambil sendok, kembali memakan makanannya.

Vanessa memajukan bibirnya, mengguncang-guncang pelan bahu sang kakak. “Ih, Kakak, jawab dulu. Adek boleh ikut apa gak?”

Galen mengangkat bahu, seraya menyuap satu sendok nasi dengan tumis ayam suwir. “Gak tau, Dek. Tunggu lusa aja.”

Vanessa mengembuskan napas panjang, menjauhkan tangannya dari bahu sang kakak. Ia mulai kembali memakan makanannya, dengan raut wajah yang berubah menjadi cemberut.

Selama lima menit, Galen dan Vanessa melakukan aktivitas sarapan. Dan selama itu juga, Galen sekuat tenaga menahan senyuman saat melihat raut wajah cemberut milik sang adik.

Galen meminum air mineral, lalu mengambil beberapa helai tisu untuk membersihkan mulut. “Ayo, Dek. Berangkat.”

Vanessa hanya mengangguk lemas sebagai jawaban. Ia bangun dari tempat duduk, membawa beberapa piring kotor yang ada di atas meja makan ke wastafel dapur.

“Dek,” panggil Galen, saat Vanessa telah kembali ke meja makan dengan membawa tudung saji.

“Iya, kenapa, Kak?” sahut Vanessa, menutupi beberapa lauk yang ada di atas meja menggunakan tudung saji.

“Kamu marah sama Kakak, Dek?” tanya Galen, melihat raut wajah sang adik yang masih cemberut.

Vanessa dengan cepat menggelengkan kepala, menoleh ke arah Galen, menunjukkan sebuah senyuman yang sangat terlihat sedang dipaksakan. “Gak, kok, Kak. Adek gak marah.”

Galen bersandar pada sandaran kursi. “Dek, lusa ikut Kakak, ya. Kita jemput Livy di bandara.”

Vanessa sontak terkejut saat mendengar ajakan sang kakak, kedua matanya telah melebar sempurna. “Kak, serius, Adek boleh ikut jemput kak Livy?”

Galen menyilangkan kedua tangan di dada, tersenyum simpul, dan mengangguk. “Iya.”

Vanessa dengan cepat berjalan mendekati sang kakak, memeluk erat tubuh pria dewasa yang sangat dirinya sayangi itu, seraya mengukir senyuman manis di wajah.

“Kakak, makasih.”

Galen membalas pelukan Vanessa, mengusap lembut punggung dan rambut milik sang adik. “Iya, Dek. Udah, yuk, berangkat, nanti kamu telah, loh.”

Vanessa mengangguk, melepaskan pelukan dari tubuh sang kakak. Ia berjalan menuju kursi yang tadi dirinya duduki, mengambil tas, dan menggendongnya.

“Ayo, Kak,” ajak Vanessa, diam sejenak, melihat tubuh sang kakak dari atas hingga bawah, “Eh, Kakak hari ini gak kerja?”

“Kakak siang baru ke kantor,” jawab Galen, mendekati Vanessa, merapikan rambut sang adik yang terlihat sedikit berantakan, “Nah, dah, cantik.”

“Makasih, Kak.”

Vanessa tersenyum manis, menggandeng lengan Galen, lalu berjalan keluar dari dalam rumah.

•••

Siang ini, langit terlihat begitu sangat cerah, matahari telah sampai di titik tertinggi angkasa, memberikan kehangatan tiada tara yang diakibatkan oleh sinarnya.

Di salah satu meja yang terletak dalam ruangan perpustakaan, Angelina sedang terlihat asyik membaca sebuah novel yang kemarin baru saja dirinya pinjam. Ia terkadang bersenandung kecil, saat membaca beberapa adegan yang menurutnya sangat menyenangkan.

“Sendirian aja, nih, Ngel. Karina sama Vanessa ke mana?” Nadine mendudukkan tubuhnya di samping kanan Angelina.

Mendengar suara teman sekelasnya, membuat Angelina sontak mengangkat kepala, melihat Chelsea, Cindy, dan Nadine yang sudah memenuhi meja tempat dirinya duduk.

“Sorry, Din. Tadi, lu nanya apa?” tanya Angelina, kurang mendengar pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh Nadine.

Nadine menopangkan dagu, melirik novel yang sedang Angelina baca. “Itu, Karina sama Vanessa ke mana? Kok, lu sendirian aja di sini?”

Angelina menaruh penanda pada halaman terakhir bacaannya, menutup novel, dan menoleh ke arah Nadine. “Mereka berdua lagi nemuin pak Syam buat konsultasi tugas biologi, kenapa?”

Nadine menggelengkan kepala, mengalihkan pandangan ke arah salah satu rak buku yang dipenuhi oleh berbagai macam buku cerita rakyat. “Gak papa, kok, Ngel. Cuma nanya doang.”

Chelsea merebahkan kepala di meja dengan kedua tangan yang dirinya jadikan bantal. “Oh, iya, Ngel. Menurut pandangan lu, Vanessa itu gimana, sih?”

“Vanessa? Dia baik, kok, orangnya, cantik juga, perfect, lah, dia pokoknya,” jawab Angelina, seraya menunjukkan senyum simpul.

“Lu gak ngerasa tersaingi, Ngel, sama kehadiran Vanessa?” Cindy bangun dari tempat duduk, berjalan mengambil satu buku yang sedari tadi telah menarik perhatiannya.

Angelina mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan dari Cindy. “Tersaingi? Tersaingi gimana, Cin?”

Cindy kembali ke meja dengan membawa buku incarannya. Ia membuka buku itu, dan mulai membaca. “Ya, tersaingi gitu. Vanessa, kan, mirip sama lu, bahkan kepopulerannya di sekolah ini juga menurut gue udah jauh di atas lu. Nah, masa dari situ, lu gak ada kepikiran kalo Vanessa bakal geser posisi lu selama ini?”

“Bener kata Cindy, Ngel. Masa lu gak takut gitu kalo Vanessa ngambil semua hal yang udah lu punya selama ini. Ditambah, lu sekarang bisa lihat, yang satu kelompok sama Karina itu Vanessa, dan bukan lu. Padahal, dulu selalu lu yang satu kelompok sama Karina,” sambung Chelsea, mengambil handphone dari dalam saku baju.

Angelina menggelengkan kepala dengan cepat. “Gue gak merasa tersaingi sama sekali, kok, malah gue seneng, kalo Vanessa bisa populer jauh di atas gue, karena dia satu-satunya sahabat yang punya persamaan banyak sama gue.”

Nadine menoleh, menatap lekat wajah Angelina. “Lu serius, Ngel? Kalo lu memang ada perasaan tersaingi sama Vanessa cerita aja ke kita, siapa tau, kan, gue, Cindy, sama Chelsea bisa bantuin lu.”

Angelina menggebrak meja, merasa kesal dengan Nadine yang terlihat ingin sekali membuat dirinya dan Vanessa bertengkar.

“Udah gue bilang, gue gak pernah merasa tersaingi sama Vanessa, lu jangan pernah coba-coba buat ngehancurin persahabatan kami. Kalo gak, lu bakal nanggung akibatnya, camkan itu.”

Angelina menunjuk Nadine dalam setiap kalimatnya, mengambil novel yang tadi sedang dirinya baca, lalu pergi meninggalkan ruangan perpustakaan.

Cindy, Chelsea, dan Nadine sontak terdiam membeku saat mendapatkan bentakan dari Angelina. Mereka bertiga saling pandang, berusaha menormalkan detak jantung yang tadi sudah tidak beraturan akibat bentakan Angelina.

“Din, gimana ini, Angel malah marah sama kita?” tanya Cindy, seraya memegangi dada kirinya.

Nadine menoleh ke arah belakang, melihat Angelina yang sudah berjalan keluar ruangan perpustakaan. “Santai aja, gue yakin sebentar lagi Angel bakal ada di pihak kita.”

To be continued :)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!