Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Kami Telah Melewati Batas, Bu.
Marsha baru saja tiba di dapur restoran. Hari ini ia mendapatkan shift kerja sore. Datang pukul tiga, dan kembali pulang pukul sebelas malam, setelah tempat makan itu tutup.
“Bagaimana menurut Chef? Ini menu baru, tetapi belum launching. Menunggu Chef mencicipi dulu.” Seorang koki senior yang Marsha ketahui bernama Vina itu sedang berdiri bersama Chef Robby.
Mereka terlihat akrab dan serasi. Marsha pun tak ingin mengganggu keduanya.
Chef Robby mengangguk. “Kenapa tidak segera launching? Rasa sangat memuaskan.” Ucap Chef Robby setelah mencicipi sedikit makanan yang merupakan menu baru di restoran itu.
Koki senior itu tersenyum senang. “Ah, Chef Marsha.” Pandangannya teralihkan saat Marsha melintas di belakang Chef Robby. Pria itu sontak memutar sedikit badannya.
“Shift sore ya, Chef?” Tanya chef Vina lagi.
Marsha menyunggingkan sudut bibirnya. “Iya, chef.” Gadis itu sedikit mengangguk untuk menyapa Chef Robby.
Chef Robby membalas dengan anggukan pelan.
Marsha memilih menjauh. Ia ikut membuat pesanan makanan yang baru tiba.
“Awas kena tikung, Sha.” Bisik koki senior dari cabang Bali, yang bernama Yudhi.
“Maksud chef Yud?” Tanya Marsha bingung.
“Tuh.” Pria itu menunjuk dengan dagu, karena kedua tangannya sedang sibuk memegang alat memasak.
Marsha melihat ke arah pandangan pria berusia tiga puluh lima tahun itu. Ia menunjuk ke arah Chef Robby dan Chef Vina berdiri. Mereka nampaknya sedang membahas soal menu baru yang akan segera di publikasikan.
“Mereka serasi.” Ucap Marsha sembari memasukkan sedikit garam ke dalam masakan.
“Lebih serasi sama kamu.” Ucap Chef Yudhi, kemudian menghidangkan makanan di atas piring saji.
“Table 6, out.” Ucapnya kemudian. Seorang koki pembantu pun mengambil hidangan itu, lalu menyerahkan pada pramusaji yang sedang menunggu di depan.
“Aku lebih setuju Chef Robby sama kamu loh, Sha.” Chef Yudhi kembali mendekat pada Marsha.
Gadis itu mencebikan bibirnya. Mana mungkin dirinya pantas bersanding dengan Chef Robby. Pria dewasa itu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Marsha.
\~\~\~
Rafael pulang tepat saat waktu makan malam di rumahnya. Tiba di dalam rumah, ia yang hendak menaiki tangga, terkejut melihat sang ibu yang tengah menyuapi Safa di meja makan.
Rafael pun memutar langkah menuju ruang makan.
“Bu. Kapan datang? Kenapa tidak memberi kabar?” Tanyanya sembari meraih tangan sang mama untuk di kecupnya.
“Tadi siang. Ibu ada urusan di Jakarta akhir pekan ini. Karena itu, ibu mampir. Sengaja tidak mengabari.” Ucap ibu Miranda, ia kembali menyuapi sang cucu.
“Kamu bersihkan diri dulu. Kita makan malam bersama.” Imbuh wanita paruh baya itu.
Rafael mengangguk. Ia mengecup kening sang putri. Kemudian keluar dari ruang makan.
Ibu Miranda mengamati. Rafael sama sekali tak menyapa Sandra yang sedang duduk di samping mereka.
‘Aku harus berbicara dengan anak itu. Dia anggap apa istrinya? Patung? Pajangan?’
Lima belas menit berlalu, Rafael pun kembali ke ruang makan dengan tampilan yang lebih segar.
Ia mengambil duduk pada kursi kepala keluarga. Sementara, Safa sudah tidak ada di tempatnya.
“Terimakasih, bu.” Ucap Rafael saat sang ibu mengisi piringnya dengan beberapa hidangan.
Mereka makan malam dengan tenang. Sesekali ibu Miranda melirik sang menantu. Wanita muda itu nampak biasa saja. Seolah, hal semacam ini sudah biasa terjadi.’
Setelah selesai makan malam, seperti biasa Rafael akan pergi ke ruang kerjanya untuk memeriksa beberapa e-Mail dari klien luar negeri.
Ibu Miranda mengambil alih nampan berisi secangkir kopi yang di bawa bibi Rita untuk Rafael.
“Masuk.” Ucap Rafael saat mendengar suara ketukan pada pintu.
Pria muda itu menoleh sejenak. Ia mengira sang istri yang kembali datang seperti malam sebelumnya. Tetapi bukan, melainkan sang ibu.
“Bu. Kenapa repot-repot?” Rafael meraih cangkir kopi yang di sodorkan oleh wanita yang melahirkannya itu.
Ibu Miranda pun duduk di seberang sang putra, sembari memangku nampan kosong.
“Ada hal yang penting yang ingin ibu bicarakan denganmu.” Ucapnya kemudian.
Rafael yang hendak meminum kopi, ia urungkan. Menatap penuh tanya pada sang ibu, yang juga melihat ke arahnya.
“Apa ada masalah di Yogya?” Tanya Rafael kemudian.
Setelah sang ayah meninggal, Rafael memindahkan kantor pusat Haditama Group ke Jakarta. Ia tidak bisa membagi dirinya, karena separuh jiwa pria itu tertinggal di ibukota.
“Di Yogya baik-baik saja. Justru masalahnya ada disini. Tepatnya di rumah ini.”
Mendengar ucapan sang ibu, Rafael pun menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia mengerti maksud di balik kalimat yang di lontarkan wanita paruh baya itu.
“Apa Sandra mengadu pada ibu?” Tanya Rafael.
Ibu Miranda mencebikkan bibirnya. Sang menantu tidak akan mengaku, jika dirinya tidak mendesak. Wanita muda yang tengah lumpuh itu hanya bisa diam, dan menangis.
“Sandra tidak mengatakan apapun. Tetapi, tadi siang ibu melihatnya menangis. Dan ibu yakin, kamulah penyebabnya.” Ibu Miranda sedikit berdusta.
Ia tidak mungkin menceritakan apa yang di ucapkan sang menantu tadi siang. Tak ingin hubungan Rafael dan Sandra semakin menjauh.
“Ibu sudah tahu ‘kan? Dan aku tidak akan membela diri.” Rafael meraih cangkir kopi kemudian menyesap pinggiran benda yang terbuat dari keramik itu.
“Mau sampai kapan, Raf? Kalian sudah lima tahun bersama. Apa sedikit saja hati kamu tidak terusik dengan keberadaan Sandra di dekat kamu?” Ibu Miranda menatap sang putra dengan nyalang. Sungguh ia merasa gagal menjadi seorang ibu, memiliki anak laki-laki yang tidak pernah menganggap keberadaan istrinya.
“Ibu mau aku bersikap seperti apa lagi? Aku sudah menuruti ibu untuk menikahi Sandra. Dan sudah aku lakukan.” Balas Rafael dengan tenang.
“Belajar menghargainya. Dia seorang wanita yang memiliki hati.”
Rafael tersenyum mengejek. “Lalu bagaimana dengan Marsha? Dia juga seorang wanita yang mempunyai hati.”
“Berhenti memikirkannya, Raf. Gadis itu tidak jelas dimana keberadaannya saat ini.” Ibu Miranda menatap sang putra dengan tatapan memelas.
“Tidak bisa, Bu. Sampai kapanpun, aku tidak akan bisa berhenti memikirkan Marsha. Setidaknya, sampai aku tahu dimana dia berada.” Ucap Rafael lirih.
“Raf. Setidaknya, anggap istrimu ada. Kasihan dia. Kalian dulu sahabat. Apa tidak bisa saat ini menjadi teman?”
Rafael menggeleng pelan. “Aku menganggapnya teman, bu. Kenapa tidak? Tetapi, jika ibu mengharapkan hal lebih, aku tidak bisa.”
Ibu Miranda menatap sendu. Ia merasa sangat bersalah pada Sandra. Hidup gadis itu menjadi kacau karena dirinya.
“Apa yang membuat kamu tidak bisa melupakan Marsha?” Tanya ibu Miranda kemudian. Mungkin jika Rafael mengatakan kelebihan gadis itu, ibu Miranda bisa merubah sang menantu agar di anggap oleh Rafael.
“Kami telah melewati batas, bu. Dan aku berjanji akan menikahinya.” Ucap Rafael lirih. Kepala pria itu menunduk, dengan kedua siku bertumpu di atas meja.
“Tetapi, aku justru menyakitinya. Aku pergi tanpa kabar dan menikah dengan wanita lain.”
Ucapan Rafael seolah memberi tamparan keras pada ibu Miranda. Kedua putranya telah berbuat dosa di luar pernikahan.