Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Selalu Tahu
Ternyata selain Mirna, Damar memiliki asisten pria dan seorang sekretaris di kantor miliknya. Keduanya langsung diperkenalkan pada Mirna tanpa menyebutkan status perempuan yang langsung dibawa masuk ke dalam ruangannya.
Mirna ingin protes saat tanpa permisi Damar menggandeng tangannya tapi tidak mungkin marah-marah pada si boss di depan Budi dan Ulfa, asisten dan sekretaris Damar.
“Dam, kamu nggak lupa kalau sebentar lagi ada rapat dengan divisiku kan ?”
Langkah Damar terhenti dan ia menoleh ke arah Budi. “Tolong informasikan kalau rapat dipindahkan ke lantai 3.”
“Mana bisa begitu, Dam !” protes Anita dengan nada tinggi dan cukup keras.
Tatapan Damar beralih pada kekasih sahabatnya yang baru sebulan menjadi karyawan di perusahaan. Alis Damar menaut dan tanpa suara, matanya menyiratkan rasa tidak suka dengan sikap Anita.
“Maaf, maksudku kenapa harus pindah ke lantai 3 ? Aku sudah menyiapkan semua berkasnya di ruanganmu. Aku yakin Mirna nggak masalah menunggu di sini, toh rapatnya tidak akan lama.”
Mirna sudah berniat mengiyakan ucapan Anita tapi pelototan Damar membuatnya urung bicara. Pria itu sempat menghela nafas untuk meredam emosinya mendengar protes Anita.
“Bantu Anita memindahkan berkas rapatnya ke lantai 3,” perintah Damar pada asisten dan sekretarisnya.
Damar menarik lengan Mirna masuk dan membiarkan pintu ruangannya terbuka supaya ketiga orang itu bisa ikut masuk dan mengurus berkas yang dimaksud Anita.
Mirna sempat melirik ke meja di tengah-tengah sofa yang ada di ruangan Damar. Ternyata berkas yang Anita maksud hanyalah setumpuk map di salah satu sudutnya.
“Duduk !” perintah Damar supaya Mirna duduk di kursi yang ada di hadapan meja kerjanya.
Tidak lama terdengar pintu ruangan ditutup dan Damar kembali menghela nafas panjang sebelum membuka laptopnya.
“Apa mbak Anita sudah lama bekerja di sini ?”
“Baru sebulan,” sahut Damar singkat dan suaranya terdengar kaku.
“Bapak yang minta mbak Anita pindah kemari ?”
Damar mendongak, menatap Mirna dengan wajah galak tapi bukannya takut Mirna menautkan alisnya.
“Bisa nggak membiasakan diri jangan memanggilku bapak di luar kantor ?” omel Damar dengan wajah kesal.
“Tapi kita sekarang sedang ada di kantor,” sahut Mirna dengan nada tegas.
“Kamu bukan karyawan di sini jadi aku anggap kita sedang berada di luar kantor.”
Mirna menghela nafas sebal, ditatapnya Damar dengan wajah ditekuk tapi bukannya marah, Damar malah menyunggingkan senyum membuat Mirna sampai mengerutkan dahinya.
“Bapak aneh ! Punya dua kepribadian ya ?”
“Iya, aku langsung berbeda kalau sedang berduaan sama kamu,” canda Damar.
Mirna mencibir lalu berdecih. “Jangan bikin saya salah kaprah dengan kelakuan bapak. Katanya saya terlalu ge-er karena merasa bapak punya maksud lain di balik perlakuan bapak selama ini yang menurut saya lebay banget, tapi sikap dan ucapan bapak benar-benar membuat saya jadi gampang salah paham.”
Damar tertawa dan beranjak dari kursinya, mendekati Mirna dan duduk di kursi yang ada di sebelah wanita itu.
“Kamu baperan ya ?”
Mirna tidak menjawab hanya memutar bola matanya.
“Kamu mau aku buat makin salah paham ?”
Mirna mencondongkan tubuhnya ke belakang saat Damar tahu-tahu berdiri dan mengukung dirinya yang masih duduk di kursi.
“Aku akan memberikan hukuman untukmu setiap kali memanggilku bapak di luar kantor kecuali berkaitan dengan urusan kerja.”
“Saya bukan Chika !” protes Mirna sambil melotot.
“Tentu saja kamu bukan Chika makanya hukuman yang kamu terima berbeda.”
Jantung Mirna berdetak tidak karuan saat wajah Damar semakin mendekat dan tubuhnya seperti membeku, tidak berusaha menghindar atau mendorong Damar supaya menjauh.
“Aku akan memberi pelajaran pada mulutmu setiap kali salah memanggilku.”
“Mana bisa begitu ! Itu pelecehan seksual namanya !”
“Aku pastikan tidak akan ada yang berani protes atau mencelaku termasuk Rangga dan kedua orangtuamu.”
“Kalau begitu lebih baik aku mengundurkan diri saja dari perusahaan kak Rangga. Silakan bapak….”
CUP !
Mata Mirna membola dan wajahnya pun langsung memerah seperti tomat cerry, sementara Damar malah tegelak dan menjauhi Mirna yang kelihatan shok mendapat perlakuan Damar yang tiba-tiba.
“Dasar kurang ajar !” desis Mirna
Detik berikutnya terdengar pekikkan Damar karena Mirna menggigit lengannya. Pria itu meringis sambil mengusap kemejanya yang sedikit basah terkena air liur Mirna.
“Sekali lagi bapak berani sembarangan mencium saya, balasannya lebih dari sekedar gigitan !” tegas Mirna sambil bertolak pinggang dan melotot di hadapan Damar.
“Dasar laki-laki mata keranjang ! Istri lagi sakit berani mendekati anak perawan pakai acara cium-cium segala !”
Damar malah tersenyum lebar, lesung pipitnya membuat jantung Mirna campur aduk, antara emosi dan perasaan aneh yang berusaha ditepisnya supaya menjauh.
Duh jantung, tolong jangan lemah begini ! Cowok kurang ajar ini baru saja melecehkanmu tapi kenapa ada perasaan ini kesal campur senang ?
“Tunggu di sini dan jangan coba-coba kabur ! Aku janji nggak akan lama.”
Mirna sempat bergeming sebelum akhirnya langmenghela nafas lega sambil memegang dadanya yang berdebar saat Damar sudah hilang di balik pintu.
“Nggak boleh ! Kamu nggak boleh tertarik padanya, Mirna ! Dia masih suami orang. Pikirkan kalau kamu yang jadi istrinya pasti rasanya sakit kalau tahu suamimu main gila di saat kamu terbaring sakit. Sadar Mirna ! Jangan biarkan perasaan mengalahkan akal sehatmu !”
Mirna memukul-mukul kepalanya pelan sambil berbicara sendiri.
Di dalam lift Damar tidak bisa menahan senyum saat melihat kelakuan Mirna di layar handphonenya.
***
Rapat yang direncanakan hanya berlangsung kurang dari satu jam ternyata mundur sampai 1,5 jam tapi Damar kelihatan tenang karena bisa mengawasi Mirna yang tertidur di sofa.
“Maaf saya bisa minta waktu sebentar Pak Damar ?” pinta Anita saat melihat Damar sudah beranjak dari kursinya.
Damar tidak menjawab atau bertanya apa keperluan Anita. Damar hanya memberi isyarat pada Budi supaya keluar bersama peserta rapat lainnya.
“Maafkan sikapku tadi, Dam,” ujar Anita setelah pintu ruangan ditutup dan hanya tinggal mereka berdua di situ.
“Tolong jaga emosimu terutama di depan Mirna ! Ingat, bukan aku yang menyuruhmu pindah tapi kamu sendiri dan Rangga yang mohon supaya aku bisa memberikanmu pekerjaan di perusahaan ini.”
“Aku tidak lupa, Dam. Mungkin karena aku kurang tidur beberapa hari ini makanya mudah emosi.”
“Jangan pikir aku tidak tahu kalau sudah lama kamu kurang suka pada Mirna,” sinis Adam.
“Apa maksudmu, Dam ? Aku tidak ada masalah apapun dengan Mirna malah hubungan kami sudah seperti kakak adik. Aku sangat sayang padanya, Dam apalagi dia adalah adiknya Rangga.”
Adam hanya tersenyum sinis sambil beranjak bangun.
“Mungkin kamu bisa membohongi Rangga tentang Mirna tapi aku tidak akan diam saja kalau ada orang yang berniat menyakitinya. Meskipun saat ini Mirna tidak mengingatnya tapi aku tidak akan pernah lupa pada janjiku untuk selalu menjaga dan melindunginya.”
Anita mengepalkan kedua tangannya karena merasa tidak senang dengan perlakuan Damar yang sering curiga dan menuduhnya ingin menyakiti Mirna.
pergi ke akhirat mgkin
ah... lama2 jadi maminya sendiri