Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan
Karina menatap Revan dengan mata penuh keraguan dan harapan yang rapuh. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menyusun kata-kata di tengah kekacauan pikirannya.
"Tapi..." bisiknya, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan. "Apakah dirimu akan tetap menikahi diriku, Revan?"
Revan berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap Karina. Ia tidak segera menjawab, hanya menatap keluar dengan ekspresi sulit ditebak. Hening itu terasa begitu berat, seolah waktu berjalan lebih lambat.
Karina menghela napas dalam-dalam, memberanikan diri untuk melanjutkan.
"Dengan apa yang telah aku lakukan padamu," katanya dengan suara bergetar.
"Aku tahu aku telah membuatmu marah dan kecewa... tapi aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain mengikuti perintah mereka."
Revan akhirnya berbalik, matanya menatap lurus ke arah Karina. Ada ketenangan dalam tatapannya, namun sorotnya tegas, tidak memberikan ruang untuk manipulasi.
"Karina," katanya pelan, namun nadanya penuh kepastian.
"Pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, apalagi dibangun di atas kebohongan. Apa yang kau lakukan, terpaksa atau tidak, telah merusak kepercayaan yang seharusnya menjadi dasar dari hubungan ini."
Karina menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Aku tahu," katanya terisak. "Aku tahu aku salah... tapi aku benar-benar takut kehilangan ayahku."
Revan menghela napas panjang. "Aku mengerti ketakutanmu, Karina. Dan aku akan membantumu keluar dari situasi ini. Tapi soal menikah... itu bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah, apalagi dengan cara seperti ini."
Karina mengangkat wajahnya, hatinya hancur mendengar kata-kata itu.
"Jadi... kau tidak akan menikahiku?" tanyanya dengan suara kecil, hampir putus asa.
Revan menggeleng pelan, tetapi tegas. "Bukan karena aku membencimu, tetapi karena ini bukan jalan yang benar. Aku akan melawan mereka. Aku akan membebaskanmu dari tekanan ini, tapi aku tidak bisa menikahimu karena..."
Suaranya terhenti sejenak, ragu untuk melanjutkan. Takut bila menyakiti hati Karina. Ia beranjak, hendak meninggalkan ruangan.
Karina langsung meraih lengannya, menghentikan langkahnya.
"Revan, tunggu," katanya lirih, hampir memohon.
Matanya yang sembab menatap Revan penuh harap dan rasa sakit.
"Kumohon, jangan pergi begitu saja... aku tahu aku telah memaksamu ke dalam situasi ini."
Revan berhenti, tapi ia tidak langsung menoleh. Tubuhnya tegap, namun bahunya tampak tegang, seolah menahan sesuatu yang sulit diungkapkan.
"Karina," katanya akhirnya, suaranya terdengar berat. "Kita berdua tahu... ini semua tidak benar."
Karina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang kembali menggenang.
"Tapi... aku mencintaimu, Revan," katanya dengan nada hampir putus asa. "Aku tahu aku salah memulai ini dengan kebohongan, tapi perasaanku padamu nyata. Aku hanya ingin kesempatan... satu kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu, Revan."
Revan menghela napas panjang dan akhirnya menoleh ke arahnya. Wajahnya dipenuhi ekspresi campur aduk, antara rasa iba, kecewa, dan kelelahan.
"Karina," katanya lembut, "bukan aku tidak menghargai perasaanmu. Tapi aku tidak bisa... aku tidak bisa memberikan hatiku sepenuhnya kepadamu."
Karina terdiam, tangannya melemah, tetapi ia tetap tidak melepaskan genggamannya.
"Kenapa, Revan? Kenapa tidak bisa?" tanyanya dengan suara serak, meski ia tahu jawabannya akan menyakitinya.
Revan menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. "Karena kau akan menjadi yang kedua, Karina," katanya dengan suara rendah namun tegas.
Kata-kata itu menghantam Karina seperti badai. Ia terdiam, air mata mulai mengalir perlahan di pipinya. Tangannya yang tadi menggenggam lengan Revan akhirnya terlepas, meskipun hatinya masih enggan melepaskannya.
"Yang kedua..." gumam Karina, suaranya hampir tidak terdengar. Ia menunduk, kedua tangannya kini meremas selimut di hadapannya, mencoba mencari pegangan di tengah rasa hancur yang melanda.
Revan menghela napas panjang, merasa berat mengucapkan kata-kata itu, tetapi ia tahu ia harus jujur.
"Aku tidak bisa memberikanmu apa yang kau inginkan, Karina. Hatiku... sudah terisi oleh orang lain. Aku tidak ingin berbohong padamu atau membuatmu berharap lebih."
Karina mendongak, matanya yang basah menatap Revan dengan penuh kesedihan.
"Tapi aku mencintaimu, Revan," katanya dengan suara bergetar.
"Apa aku tidak layak untuk diberi kesempatan? Aku telah memberikan segalanya untukmu..."
Suaranya bergetar lebih keras, tangannya mengepal.
"Apa kamu nggak mau bertanggung jawab bila nanti aku mengandung anakmu, Revan?"
Kata-kata itu menggema di udara, membuat Revan terdiam. Matanya membesar, wajahnya berubah tegang.
"Karina," gumamnya pelan, tetapi ada ketegangan dalam suaranya. "Apa yang kau maksudkan...?"
Karina menunduk, menggigit bibir bawahnya yang gemetar. "Aku tidak yakin," bisiknya.
"Tapi kalau itu terjadi... apa kau tetap akan meninggalkan aku?"
Revan memejamkan mata sejenak, mencoba mengendalikan pikirannya.
"Jika itu benar," katanya perlahan, "aku akan bertanggung jawab. Aku tidak akan lari dari tanggung jawabku sebagai seorang ayah."
Karina mengangkat wajahnya, matanya penuh harapan sejenak.
"Tapi itu bukan berarti aku bisa memaksakan cinta atau pernikahan yang tidak didasarkan pada kejujuran," lanjut Revan.
"Aku ingin melakukan yang benar, tapi aku juga tidak ingin membuat kita berdua hidup dalam kebohongan."
Karina menatap Revan dengan tatapan kosong, seolah mencoba memproses setiap kata yang keluar dari mulut pria itu. Napasnya tersengal, dan akhirnya ia berkata dengan suara lirih, hampir tidak terdengar.
"Jadi... aku hanya beban bagimu?"
Revan menggeleng cepat, langkahnya maju mendekat. "Tidak, Karina. Kau bukan beban. Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu." Suaranya terdengar tulus, namun matanya masih menyiratkan keraguan yang dalam.
"Kalau begitu kenapa kau tidak bisa memberiku kesempatan, Revan? Aku tahu aku salah, aku tahu aku memulai semuanya dengan kebohongan, tapi aku bersungguh-sungguh ingin memperbaikinya... untuk kita."
Revan menghela napas panjang, tangan kirinya mengusap tengkuknya yang terasa tegang. "Karina, ini bukan hanya soal kesempatan. Ini tentang kepercayaan, tentang perasaan. Aku tidak ingin kita melanjutkan sesuatu yang sejak awal sudah retak. Karena jika aku memaksakan ini, kau akan lebih terluka di masa depan."
Karina menggeleng keras, air matanya semakin deras. "Tapi aku sanggup menanggung itu semua! Aku sanggup bertahan, asalkan aku bisa bersamamu, Revan!"
Revan menatapnya dalam-dalam, ada rasa pedih yang tercermin di matanya. Ia tahu kata-katanya akan menyakitkan, tetapi ia tidak bisa menghindari kenyataan.
"Karina," katanya perlahan, "cinta itu bukan hanya soal bertahan. Bukan hanya soal pengorbanan yang sepihak. Jika salah satu dari kita tidak benar-benar jujur atau tidak sepenuhnya bahagia, maka itu bukan cinta... itu hanya penyesalan yang menunggu waktu."
Karina terduduk lemas di tepi kasur, tangannya menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Hatinya hancur, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Revan melangkah mendekatinya, lututnya berlutut di hadapan Karina. Ia meraih kedua tangan Karina, memegangnya dengan lembut.
"Aku tidak ingin menjadi seseorang yang menghancurkanmu lebih dalam lagi," katanya pelan.
"Aku ingin kau bisa membangun hidupmu kembali, tanpa bayangan dari semua ini. Aku akan selalu ada untukmu, Karina, sebagai teman, sebagai seseorang yang peduli padamu. Tapi aku tidak bisa memberikan hatiku sepenuhnya."
Karina menatap Revan dengan mata sembab, penuh dengan tekad yang rapuh namun membara. Bibirnya bergetar, tetapi suaranya lebih tegas daripada sebelumnya.
"Tidak, Revan," katanya lirih, tetapi setiap kata penuh penekanan.
"Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Kau akan menikahiku. Apapun yang terjadi."
Revan tertegun. Tatapannya melembut, tetapi ada ketegasan yang kembali muncul di dalam dirinya. Ia bangkit berdiri, menghela napas panjang sambil menatap Karina yang masih duduk di tepi kasur.
"Karina," katanya pelan, tetapi nada suaranya tegas, "pernikahan bukan sesuatu yang bisa kau paksakan hanya karena rasa bersalah atau rasa takut. Aku sudah menjelaskan posisiku, dan aku akan tetap bertanggung jawab jika ada konsekuensi dari hubungan ini. Tapi memaksaku menikahimu tidak akan membawa kebahagiaan untuk kita berdua."
"Tapi aku mencintaimu, Revan!" seru Karina, suaranya bergetar di antara isak tangis.
"Aku sudah memberikan segalanya untukmu, Revan! Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja!"
Revan mengusap wajahnya dengan tangan, seolah berusaha meredakan kekacauan di pikirannya. Ia tahu situasi ini semakin sulit, dan ia tidak ingin menyakiti Karina lebih dalam. Namun, ia juga tidak bisa mengingkari apa yang ia rasakan.
"Karina, aku tidak bisa menikahimu hanya karena kau memintanya. Itu tidak akan adil untukmu. Aku ingin kau bersama seseorang yang benar-benar bisa mencintaimu sepenuhnya, yang bisa memberikanmu kebahagiaan tanpa ada keraguan. Dan aku... aku bukan orang itu."
"Revan..." Karina mencengkeram pergelangan tangan Revan, matanya memohon.
"Aku tidak butuh kebahagiaan yang sempurna. Aku hanya butuh kau. Aku bisa menerima semuanya, Revan. Aku bisa bertahan, selama kau ada di sisiku."
Revan menunduk, menatap tangan Karina yang menggenggam pergelangannya. Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan lembut, ia melepaskan genggaman Karina dan menatapnya dengan penuh rasa iba.
"Aku tidak bisa, Karina," ucapnya lirih.
"Aku tidak bisa memberikanmu hidup yang kau inginkan jika hatiku tidak ada di sana. Itu hanya akan menyakitimu lebih dalam."
Karina terisak keras, tangannya jatuh ke sisi tubuhnya. Air matanya tak lagi bisa dibendung, membasahi wajahnya yang penuh dengan rasa putus asa.
"Kalau begitu... kau tidak pernah benar-benar mencintaiku," katanya dengan suara pelan, penuh kepahitan.
"Aku akan tetap bertahan, Revan. Aku sudah menyerahkan segalanya untukmu, harga diriku, harapanku. Kau tidak bisa pergi begitu saja. Jika kau pergi, aku akan melukai diriku sendiri dengan pecahan kaca ini."
Karina, yang sudah memecahkan sebuah gelas yang berada di meja samping tempat tidur, yang posisinya tak jauh dari Karina.
Karina menggenggam pecahan kaca di tangannya yang gemetar, air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang pucat.
Revan membeku di tempatnya, tubuhnya menegang melihat pecahan kaca di tangan Karina. Napasnya tertahan, tatapannya berubah, dari ketegasan menjadi kekhawatiran yang dalam.
"Karina, lepaskan itu," katanya perlahan, suaranya bergetar meskipun ia berusaha terdengar tenang.
"Kita bisa bicara baik-baik. Jangan lakukan sesuatu yang membahayakan dirimu."
Karina menggeleng lemah, air matanya semakin deras. "Aku tidak peduli lagi, Revan. Aku sudah menyerahkan segalanya untukmu, harga diriku, hatiku, harapanku. Jika kau pergi begitu saja... aku tidak tahu lagi bagaimana harus melanjutkan hidup ini."
Ia mengangkat pecahan kaca itu sedikit, mengarahkannya ke pergelangan tangannya. "Jika kau pergi, aku akan melukai diriku sendiri. Aku tidak punya apa-apa lagi tanpa dirimu."
Revan segera mendekatinya dengan hati-hati, menatapnya dengan penuh rasa iba dan cemas. "Karina, dengarkan aku," ujarnya lembut, berusaha menjaga nadanya tetap stabil.
"Aku tahu kau merasa hancur, aku tahu kau terluka. Tapi ini bukan cara untuk menyelesaikannya. Tolong, percayalah padaku."
Karina menatapnya dengan mata yang penuh air mata, tangan yang memegang pecahan kaca itu gemetar hebat. "Aku hanya ingin kau tetap di sini, Revan. Aku tidak peduli apa pun yang terjadi, aku hanya ingin bersamamu."
Revan mendekat perlahan, tangannya terulur, mencoba meraih tangan Karina yang menggenggam kaca. "Karina, aku tidak akan pergi jika itu membuatmu seperti ini. Tolong... lepaskan kaca itu. Kita bisa mencari jalan keluar bersama. Aku berjanji akan membantumu, apa pun yang terjadi."
Karina terisak, hatinya berkecamuk antara keputusasaan dan keraguan. Tangannya yang memegang kaca perlahan melemah, dan akhirnya pecahan itu jatuh ke lantai dengan suara denting kecil. Revan dengan cepat meraih tangannya, memastikan tidak ada luka, lalu menariknya ke dalam pelukan.
"Kita akan melewati ini bersama," bisik Revan, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan dan rasa bersalah.
"Tapi tolong, jangan pernah melakukan hal bodoh seperti itu. Aku berjanji akan menikahimu."
Karina terdiam dalam pelukan Revan, isakannya perlahan mereda meski tubuhnya masih bergetar. Kata-kata Revan bagai angin hangat yang menghapus sedikit kegelapan di hatinya. Namun, ada rasa tak percaya yang masih mengintip di matanya saat ia menatap wajah pria itu.
"Kau... kau benar-benar akan menikahiku, Revan?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan, seolah ia takut jawaban yang akan ia dengar akan menghancurkannya lagi.
Revan mengangguk pelan, meski di dalam hatinya ada konflik yang tak terucapkan. "Aku berjanji, Karina. Tapi... aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Aku juga tak akan membiarkan mereka, atau siapa pun, mengatur hidup kita lagi."
Karina memandangnya dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran di balik kata-kata itu. "Aku hanya ingin bersamamu, Revan," katanya, suaranya penuh emosi.
"Aku tidak peduli bagaimana caranya. Asalkan aku bisa bersamamu."
Revan mengusap rambut Karina dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Kita akan melewati ini bersama, Karina. Tapi kau harus mempercayaiku, dan yang paling penting, kau harus percaya pada dirimu sendiri. Jangan biarkan rasa takut mengendalikanmu."
Karina mengangguk pelan, meskipun hatinya masih rapuh. "Aku percaya padamu, Revan. Tolong... jangan tinggalkan aku."
Revan menarik napas panjang, merasa berat dengan beban yang kini ia tanggung. Tapi ia tahu satu hal: meski keputusannya sulit, ia tidak akan membiarkan Karina hancur lebih jauh.
"Dengan semua ini," pikirnya,
"aku harus menghadapi segalanya, melawan kebohongan, dan menemukan jalan keluar untuk kami berdua."