DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM23
Hana membuka matanya perlahan, bibir mungil wanita itu meringis kesakitan. Di usap pelan keningnya yang berdenyut luar biasa. Hana mengernyit heran saat mendapati benjolan di sudut kening.
"Are you okay, Han?" tanya Monica dengan raut cemas.
Hana mengangguk lemah. "Masih sedikit pusing, tapi, udah jauh lebih baik."
Monica menghembus nafas lega, sejak Hana pingsan, wanita itu tak beranjak sedikitpun dari sisi sang sahabat. Lekas ia meletakkan punggung tangannya pada kening Hana.
Tak berselang lama, Gavriil dan David masuk ke ruangan. Dua pria itu berjalan tergesa-gesa, mendekati sisi ranjang, tempat Hana terbaring.
"Gimana kondisi lo, Han?" tanya pria yang paling terakhir sampai di sisi ranjang, akibat jalan nya yang terpincang-pincang.
"Mendingan, Dav. -- By the way, kaki lo kenapa?" Hana melirik penuh rasa penasaran, saat David sesekali meringis kesakitan.
Wanita cantik yang terbaring lemas itu berusaha bangkit dan duduk di atas ranjang. Ditatap nya David yang menyengir bagai kuda.
"Kepentok." Monica memutar malas bola matanya. Wanita itu menyibak celana selutut yang dikenakan David.
Hana tersentak, lutut David bengkak dan memar.
"Astaga! Kepentok apaan? Kok bisa sampai begitu?" Bibir Hana menganga.
"Kepala lo benjol juga gara-gara dia." Timpal Monica, membuat bibir Hana semakin menganga lebar.
"Kok bisa?!" Hana mendelik sinis pada pria yang menggaruk-garuk kepalanya.
"Pas lo pingsan, tu cowok geblek langsung nyamperin lo, Han. Dengan gagah perkasa dan menatap sombong, lo di gendong, di bawa masuk ke kamar," jelas Monica.
"Terus? Tragedinya mana?" Hana bingung.
Monica mendengus kesal.
"Tragedi nya, waktu dia mau bawa lo ke kamar, Coyyy! Pas sampai di depan pintu, itu kaki kesandung karpet keramat, kepala lo kejeduk di pintu!"
"What?!"
"Dan si Gobret itu langsung nyungkur, lututnya kepentok lantai. Untung aja si Gavriil siap siaga langsung nyambar tubuh lo, Han. Kalau kagak? Remuk dah badan lo ke hantam lantai." Monica melayangkan tatapan sinis pada David.
"Gue kan gak sengaja, Mon!" cicit David.
Monica mendelikkan matanya, David menunduk ciut. Hana terkekeh melihat dua sahabatnya yang sedari dulu seperti kucing dan anjing.
Sementara Gavriil, ia menatap lekat Hanabi. Ingin berbicara, akan tetapi, terlihat ragu-ragu. Pria bermata elang itu tersentak saat kedua matanya beradu pandang dengan wanita berwajah pucat itu.
Hana memiringkan kepalanya, bola mata hazel nya menatap Gavriil lekat-lekat.
"Why?" tanya Hanabi tanpa suara.
Gavriil mengatup mulutnya rapat-rapat sambil melirik Monica dan David. Ragu-ragu, akhirnya ia berbicara.
"Guys, kalian berdua boleh keluar sebentar? Ada yang ingin gue bicarakan sama Hana, empat mata."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Jadi ... Si Mandul itu akan menggugat cerai kamu?" Jumiah memasang wajah kesal. Padahal di dalam hati, ia senang luar biasa bisa menyingkirkan sang menantu.
Damar mengangguk lemah, rambutnya sudah acak-acakkan.
"Ibu, yakin? Gak ada ngomong yang aneh-aneh ke Hana?" selidik Damar.
"Astagfirullah, Damar. Kamu gak percaya sama Ibu? Tanya Mbak mu itu, saksi loh dia. Ibu hanya bilang pada Hana, agar dia bersikap lebih sopan pada Ibu dan Mbak mu. Lalu ... istri mu yang pembangkang itu malah bawa-bawa tanah, bawa-bawa rumah. Ya Ibu bilang lagi, kalau dia gak sanggup bertutur kata yang sopan, silahkan ke luar dari rumah itu. Eh, malah tiba-tiba rumah itu di hancurkan." Papar Jumiah serius, lalu mengalihkan pandangan pada anak perempuannya. "Ya, kan, Dinar?"
"Iya bener itu yang di bilangin Ibu, Dek. -- Sudahlah, Dek, kalau si Mandul itu mau cerai ... turutin aja! Ngapain kamu tahan-tahan?!" hasut Dinar.
"Iya loh, Mas. Lagi pula ... Mas kan hanya ingin keturunan, sudah ada dalam perutku ini." Tuti mengusap lembut perutnya.
Bola mata Damar menatap tajam sang istri. "Diem kamu, gak usah ikut-ikutan!"
Kedua jemari Tuti mengepal erat, ia menghentakkan kedua kaki, lalu meninggalkan sang suami dengan hati dongkol.
"Istri mandul aja dibela-bela!" desis Tuti seraya masuk ke kamar dan membanting pintu.
Suara pintu yang menggelegar, membuat Damar beserta ibu dan kakaknya tersentak geram.
"Woy, Pantura! Kalau numpang di rumah orang, pandai-pandai bawa diri ya! Enak-enak aja main banting-banting!" jerit Dinar geram.
Wajah Damar sedikit bertekuk saat Dinar melontarkan kalimat 'numpang'. Hati kecilnya tak terima, karena bagaimana pun juga, rumah itu merupakan rumah peninggalan ayah mereka.
Dengan perasaan dongkol, Damar beranjak dari duduknya. Kemudian melangkah, menjauh dari Jumiah dan Dinar.
"Kamu mau ke mana, Damar?" tanya Jumiah ketika Damar sudah berdiri di ambang pintu.
"Cari Hana, Bu," jawab Damar datar.
"Ngapain kamu cari dia? Makin gede kepala nanti, lagi pula ... ini sudah malam."
"Aku gak peduli, Bu. Mau malam, mau subuh, mau panas terik pun?! Aku tetap akan mencari istri ku sampai ketemu! Aku gak mau berpisah sama Hana, Bu!" jawab Damar, ada getar di suaranya.
"Yang pergi, biarkan pergi. Yang kamu inginkan hanyalah seorang anak, Damar. Dan ... kamu sudah mendapatkan nya kan? Lalu, untuk apa lagi kamu mencari si Mandul itu?!" sinis Jumiah.
"Benar, bertahun-tahun aku mendambakan anak, Bu. Itu benar, tapi, lihatlah sekarang?!Meskipun aku sudah berhasil memiliki keturunan, aku malah jadi gak tenang, Bu!" Damar nyaris berteriak.
"Wajar, Dek. Kamu sama Hana sudah enam tahun bersama, terus tiba-tiba dia pergi? Wajar kamu begini, tapi, semua nya akan baik-baik saja. Semua butuh waktu, Dek." Dinar berusaha menenangkan.
"Kalian gak paham ya sepertinya? Jika aku sudah berhasil memiliki keturunan, tapi, aku masih gak tenang dan gak puas ... Berarti bukan seorang anak yang aku inginkan. -- Seperti nya, yang aku inginkan hanya satu, yaitu memiliki keturunan dari Hanabi. Bukan dari wanita lain," balas Damar dengan nada dingin.
"Baiklah, baiklah, Ibu paham. Silahkan kalau kamu kekeuh mau cari Hana, tapi, gak malam ini. Kamu masih shock, tadi pulang kerja melihat rumah hancur tak bersisa, lalu ... istrimu pergi begitu saja. Ibu gak izin kan kamu keluar malam ini, besok, silahkan cari besok. Ibu gak mau sampai terjadi apa-apa sama kamu, Damar. Besok saja kamu cari istrimu itu, ya? Lagi pula, besok kan kamu mau kredit mobil tuh, sudah pasti ada kendaraan. Kalau sekarang, mau pakai apa cari si mandul itu?"
Damar mendengus kesal.
'Benar juga kata Ibu.' batin Damar.
Damar kembali duduk bersandar, kali ini ia duduk di kursi teras. Wajahnya menengadah menatap langit-langit, pikirannya menerawang jauh kembali memutar memori indah bersama Hana. Tanpa sadar, pria itu menitikkan air mata, ada sesal yang mendera di dada.
Sementara itu, di sebuah kamar, Gavriil dan Hana duduk saling berhadap-hadapan.
"Lo mau ngomong apaan sih, Gav?" tanya Hana sambil menatap bibir Gavriil yang sejak tadi bergetar, tapi, tidak mengeluarkan sepatah kata.
Gavriil melipat bibirnya, masih ragu-ragu untuk berbicara.
"Kalau gak jadi bicara, gue mau keluar!" Hana mulai kesal.
"J-jangan! A-anu, itu ... gue juga sebenarnya masih kurang yakin, karena keterbatasan alat medis di rumah ini, apalagi gue bukan ahli di bidang ini. -- Namun, jika dilihat dari denyut nadi lo yang meningkat 10 sampai 20 kali per menit, sepertinya ... lo hamil, Han!"
"H-HAMIL?!"
*
*
*
tapi tetap semangat y Thor buat cerita ny yg lbih bagus lgi👍😘
lanjutkan pokoknya😆😆😆
bener tuh kata David🤭😆😆😆