"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 | MOS (2)
Satu Bulan yang Lalu
“Baik! Aku ke sana sekarang juga.” Ryan menjawab dengan penuh semangat, seolah tidak merasa canggung sedikit pun.
Dia lalu mengajak salah satu anggota cowok untuk menemaninya menemui anak OSIS yang akan membimbing kami.
Aku bisa merasakan antusiasme dari suaranya yang energik, seperti biasa. Dalam hitungan menit, mereka kembali ke kelompok kami, bersama salah satu anggota OSIS yang tampak ramah dan ceria.
“Apa tugasnya?” tanya Nara, suaranya bergetar penuh antusias, mencerminkan semangatnya untuk memulai kegiatan.
“Sebelum itu, perkenalkan. Nama saya Endra dari anggota OSIS. Saya akan membimbing kalian saat mengikuti rangkaian kegiatan petualangan di Masa Orientasi Siswa hari ini,” kata kak Endra, senyumnya lebar dan matanya berbinar cerah.
Aku bisa melihat bagaimana sikapnya yang penuh semangat langsung menular pada teman-temanku yang lain. Mereka tampaknya sangat menunggu-nunggu kegiatan ini.
“Wah! Asyik, petualangan!” seru Nara dan beberapa teman lainnya, suara mereka menggema di halaman sekolah.
Semua terlihat begitu bersemangat, bahkan lebih dari yang kuharapkan.
Namun, aku, seperti biasa, merasa sedikit terasing. Aku bukan tipe orang yang suka kegiatan fisik atau petualangan yang melibatkan tenaga seperti ini. Hanya pikiranku yang terfokus pada satu hal: bagaimana cara aku bisa bertahan tanpa membuat diri terlihat lemah.
“Di taman dan hutan biologi sekolah, kami sudah memasang bendera kecil yang tersebar. Tugas kalian adalah mencari teka-teki yang tertulis di bendera itu dan memecahkannya. Kelompok yang paling banyak memecahkan teka-teki akan menjadi pemenang,” jelas kak Endra, sambil menunjukkan bendera-bendera kecil berwarna-warni yang tersebar di tangannya.
“Kalian boleh berpencar, tapi nanti harus kembali ke sini dalam keadaan lengkap. Ketua kelompok bertugas memastikan semua anggota kembali dengan selamat.”
Ryan mengangguk kecil, tampak sangat bersemangat. Melihat wajahnya yang penuh antusias dan mendengar suara tawa teman-temanku yang ceria, aku merasa sedikit merasa bersalah.
Aku ingin ikut merasakan semangat mereka, tapi aku hanya bisa berpura-pura ikut senang. Fisikku bukan yang terbaik dan aku takut menjadi beban bagi mereka.
“Baik, silakan kalian berpetualang!” ucap kak Endra dengan semangat yang luar biasa.
Begitu perintah diberikan, anggota kelompok kami mulai berpencar menuju belakang sekolah. Aku berusaha menyusul mereka, meskipun aku merasa tertinggal. Mereka semua tampak bersemangat, berlari dan tertawa, sementara aku mulai merasa cemas. Bagaimana aku bisa bersaing dengan kecepatan mereka?
Setiap langkahku terasa berat, seperti ada beban yang menekan dadaku. Aku mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa aku bisa melakukannya, tapi jantungku berdegup kencang, dan napasku mulai terasa pendek. Aku tahu aku tak sekuat mereka, tapi setidaknya aku harus mencoba.
Setelah beberapa menit, aku melihat Nara dan beberapa teman lainnya sudah menemukan bendera-bendera itu, mengangkatnya dengan bangga dan meneriakkan nomor teka-teki yang berhasil mereka temukan. Mereka terlihat begitu percaya diri.
Aku merasa semakin tertinggal. Sementara itu, aku masih kesulitan mencarinya, fisikku yang lemah membuatku tidak bisa bergerak bebas seperti mereka.
Saat aku menyusuri jalan setapak di antara pepohonan, aku berusaha mendorong diriku untuk terus melanjutkan aktivitas ini.
“Aku harus bisa! Aku tidak boleh menjadi anak yang lemah,” gumamku dalam hati.
Aku berusaha mengabaikan rasa cemas yang merayap di dalam diriku, sejenak memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dengan tekad, aku melanjutkan pencarianku. Aku memeriksa sudut-sudut hutan kecil di belakang sekolah, meraba-raba tanah yang lembap.
Namun, tak ada satu pun bendera yang kutemukan. Waktu berlalu, dan aku mulai merasa frustrasi. Semua teman satu kelompokku tampaknya sudah menemukan lebih dari satu bendera, sementara aku belum menemukan apa-apa. Aku merasa seperti tertinggal sangat jauh.
...»»——⍟——««...
Ketika pikiranku semakin kacau, tiba-tiba aku mendengar suara dari belakang.
“Aura, kamu di mana?” seru Ryan, tampak mencariku.
Rasanya hatiku bergetar mendengar suaranya. Dia datang untuk mencariku?
“Aku di sini, Ryan!” teriakku, berusaha menunjukkan keberadaanku.
Ryan muncul dari balik pepohonan, terlihat wajahnya tampak khawatir. Mungkin dia mengira kalau aku sedang menghilang sendirian di tengah hutan ini.
“Aku sudah menemukan dua bendera. Kamu baik-baik saja?” tanyanya, mendekat dan melihatku dengan penuh perhatian.
“Ya, aku hanya kesulitan menemukan bendera,” kataku, rasa maluku muncul. “Aku mungkin akan menyusahkan kalian semua dalam permainan ini.”
“Jangan bilang begitu! Kita bisa mencarinya bersama. Ayo, kita ke arah sana!” Ryan menunjuk ke area yang lebih terbuka di hutan dekat dengan sungai yang mengalir di hutan.
Aku hanya bisa mengangguk pelan, meskipun sedikit merasa canggung. Namun, mendengar suaranya yang penuh keyakinan membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Tanpa pikir panjang, aku mengikuti langkahnya, merasa sedikit lebih lega. Setelah beberapa menit menjelajahi area itu, akhirnya kami menemukan sebuah bendera yang tersembunyi di antara semak-semak.
“Akhirnya!” seruku gembira, tak bisa menyembunyikan senyumku.
Rasanya seperti meraih kemenangan kecil di tengah semua kesulitan yang sudah kulalui. Aku merasa sedikit bangga, meskipun bendera yang kutemukan hanya satu, tapi setidaknya aku sudah mencoba. Kebahagiaanku terpotong oleh suara samar-samar di sekelilingku.
Miaw, miaw!
Ada suara kucing?
Suara itu semakin jelas, aku menoleh ke arah asal suara itu datang. Tetapi, anehnya, aku tidak bisa menemukan dari mana suara itu berasal. Aku memeriksa sekeliling, mencurigai ada sesuatu yang tersembunyi di balik semak-semak, namun tak ada tanda-tanda kucing di dekatku.
Lalu, mataku tertuju ke arah sungai yang mengalir di dekat situ. Dan saat itulah aku melihatnya, seekor kucing kecil terombang-ambing di atas papan kayu yang melayang di aliran sungai. Kucing itu tampak ketakutan, matanya besar dan cemas. Aku bisa merasakan ketakutannya, dan itu membuat hatiku langsung bergetar.
Aku harus menyelamatkannya. Tanpa berpikir panjang, aku bergegas menuju tepi sungai.
“Tenang, kucing kecil! Aku datang!” gumamku, meskipun aku tahu tak ada yang bisa mendengarku.
Dengan cepat, aku membuka sepatu dan kaus kakiku, merasakan dinginnya tanah yang basah di bawah kakiku. Setiap langkah terasa semakin berat, dan rasa takut mulai merayap. Tetapi, melihat mata kucing itu yang penuh dengan kepanikan, aku merasa harus berbuat sesuatu.
Aku memberanikan diri melangkah pelan-pelan ke arah aliran sungai yang tampak dangkal, berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Tiba-tiba, sebuah gelombang kecil mendorong aku sedikit lebih dekat ke tepi sungai. Kucing itu menatapku dengan mata penuh harap.
“Jangan khawatir, aku akan menyelamatkanmu,” bisikku pelan, mencoba menenangkan diriku sendiri, mengambil Langkah pertama meskipun dalam hati aku juga merasa takut.
Byur!
...»»——⍟——««...