Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Kuil Cahaya
Ketika mereka mendekati kuil besar di tengah Tanah Pelindung, suasana berubah semakin hening. Bangunan tersebut terbuat dari batu-batu putih berkilauan, memancarkan sinar yang menyilaukan mata mereka. Di depan pintu kuil, ukiran-ukiran rumit membentuk pola-pola yang tampak seperti lambang Cahaya, menjulang penuh kemegahan.
“Ini kuilnya,” ujar Joran sambil berhenti tepat di depan pintu besar. “Di dalamnya, Relik Cahaya tersembunyi. Namun, ingat, tidak mudah mengambilnya. Hanya mereka yang memiliki hati dan jiwa yang tulus untuk Cahaya yang bisa mendapatkannya.”
Arlen mengangguk, tampak penuh keyakinan. “Kami sudah siap, Joran. Apa pun yang menanti di dalam, kami akan menghadapinya.”
Eira memandang pintu kuil dengan napas tertahan. “Semua tergantung pada kita sekarang. Kita tidak boleh gagal.”
Finn menghela napas panjang, mencoba meredakan kecemasannya. “Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk masuk?”
Joran menatap mereka satu per satu, suaranya berbisik rendah. “Aku tidak bisa ikut lebih jauh. Hanya kalian yang bisa melangkah masuk, karena hanya yang setia pada Cahaya yang akan diterima di dalam.”
Arlen mengangguk, memahami keputusan Joran. “Kami akan masuk. Kau sudah banyak membantu kami, Joran.”
Eira menatap Joran sejenak, kemudian tersenyum samar. “Terima kasih, Joran. Kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Arlen, Finn, dan Eira melangkah maju, membuka pintu besar kuil yang berderit pelan. Begitu pintu terbuka sepenuhnya, mereka disambut oleh lorong panjang yang dipenuhi dengan cahaya lembut dan siluet ukiran-ukiran kuno di dindingnya. Mereka bertiga berjalan perlahan, merasa seperti sedang memasuki tempat suci yang penuh misteri.
Tiba-tiba, suara lembut bergema di lorong itu. “Siapa yang datang untuk mencari Relik Cahaya?”
Arlen berhenti, merasa suara itu mengarah kepadanya. “Kami datang untuk melindungi Tanah Pelindung dari Malakar. Kami memerlukan Relik Cahaya agar bisa menghentikan kegelapan yang dibawanya.”
Suara itu tertawa pelan, penuh kebijaksanaan. “Relik Cahaya tidak bisa diberikan begitu saja. Hanya mereka yang sanggup menghadapi kegelapan dalam diri mereka sendiri yang akan mampu memilikinya.”
Finn menelan ludah, merasa ada ketegangan dalam kalimat itu. “Apa maksudnya? Apa yang harus kami lakukan?”
Tidak ada jawaban. Sebagai gantinya, dinding-dinding di sekitar mereka mulai berubah, menciptakan bayangan aneh yang melingkari mereka. Dari balik bayangan tersebut, muncul sosok yang mirip dengan diri mereka sendiri, namun dengan wajah dingin dan penuh kebencian.
Arlen menatap sosok yang menyerupai dirinya dengan perasaan tak menentu. “Apa… apa ini?”
Sosok itu tersenyum sinis. “Aku adalah bayanganmu, Arlen. Sisi gelap yang kau sembunyikan, ketakutan dan keraguanmu. Bisakah kau mengalahkan aku?”
Arlen merasa dadanya berdegup kencang. Bayangan itu adalah perwujudan dari keraguan dan kelemahannya, hal-hal yang selama ini ia pendam. Sementara itu, Eira dan Finn juga harus menghadapi bayangan mereka sendiri.
Eira berusaha menguasai dirinya, namun bayangannya berbicara dengan nada mengejek. “Kau takut tidak cukup kuat, bukan? Kau selalu meragukan dirimu sendiri, dan kau tahu bahwa kau tidak bisa menolong teman-temanmu.”
Finn juga diliputi ketegangan, melihat bayangan dirinya menatapnya dengan senyum kejam. “Kau ingin menjadi yang terkuat, tapi kau tahu kau tidak cukup tangguh untuk melindungi mereka.”
Arlen menatap sosok bayangannya, menelan kekhawatiran yang muncul. Ia mencoba menenangkan diri, lalu berkata, “Aku mungkin punya ketakutan dan keraguan, tapi itu bukan alasan bagiku untuk menyerah.”
Sosok bayangannya tertawa kecil. “Kata-kata indah tidak cukup untuk menyingkirkan kegelapanmu, Arlen. Kau harus menghadapi ketakutanmu dengan tekad, atau kau akan binasa di sini.”
Arlen merasakan emosi berkecamuk di dalam dirinya. Ia tahu, bayangan ini bukan hanya ancaman fisik, tapi juga tantangan bagi dirinya untuk menerima sisi lemah dalam dirinya sendiri. Ia menutup matanya, mencoba menerima bahwa ia bukanlah sosok yang sempurna.
“Ya, aku punya ketakutan,” ujarnya dengan tenang. “Aku takut gagal, takut tidak bisa melindungi mereka yang kucintai. Tapi ketakutanku tidak akan mengendalikan diriku.”
Dengan keberanian itu, bayangan Arlen mulai memudar, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya. Eira dan Finn, yang menyaksikan perjuangan Arlen, juga mulai memahami bahwa mereka harus menerima sisi gelap dalam diri mereka.
Eira menatap bayangannya dengan mata yang mulai menunjukkan keberanian. “Aku tahu aku meragukan diriku, tapi aku akan tetap berusaha untuk menjadi lebih kuat. Keraguanku adalah bagian dari diriku, dan aku menerimanya.”
Bayangan Eira perlahan menghilang, menyisakan ketenangan dalam dirinya. Finn pun menatap bayangannya, mengakui bahwa keinginannya untuk menjadi kuat sebenarnya didorong oleh rasa takut. Ia mengambil napas dalam-dalam, kemudian berkata, “Aku ingin melindungi teman-temanku, bahkan jika aku harus menghadapi ketakutan terbesarku.”
Bayangan Finn memudar, meninggalkan mereka bertiga dalam keheningan. Lorong itu kemudian dipenuhi dengan cahaya terang, menandakan bahwa mereka telah berhasil melewati ujian pertama.
Arlen menatap kedua sahabatnya, senyumnya penuh rasa lega. “Kita berhasil. Aku rasa ini adalah langkah pertama kita.”
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara yang sama kembali bergema di ruangan itu, kali ini terdengar lebih serius. “Kalian berhasil mengalahkan kegelapan dalam diri sendiri, tapi perjalanan ini masih panjang. Bersiaplah untuk ujian selanjutnya.”
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergemuruh, dan sebuah pintu terbuka di ujung lorong. Pintu itu mengarah ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan simbol-simbol kuno, sementara di tengahnya terdapat podium kecil tempat Relik Cahaya tampak berkilauan.
Mereka bertiga melangkah mendekat, namun sesaat sebelum mereka sampai, sebuah cahaya biru menyilaukan memenuhi ruangan. Di hadapan mereka, muncul sosok seorang wanita berjubah putih yang memancarkan aura suci.
“Kalian telah sampai sejauh ini,” ujarnya dengan suara lembut namun penuh kekuatan. “Namun, untuk memiliki Relik Cahaya, kalian harus membuktikan diri sekali lagi.”
Arlen memandang wanita itu dengan penuh hormat. “Kami akan melakukan apa pun yang diperlukan.”
Wanita itu tersenyum samar, kemudian mengulurkan tangannya, membuat tiga relik kecil muncul di hadapan mereka. “Ambil satu dari masing-masing relik ini. Setiap relik mengandung bagian dari Cahaya yang akan melindungi jiwa kalian dalam menghadapi Malakar.”
Eira, Arlen, dan Finn mengambil masing-masing relik dengan tangan bergetar, merasa tanggung jawab besar yang kini mereka pikul. Namun, begitu mereka memegang relik tersebut, suara wanita itu kembali terdengar dengan nada yang lebih tegas.
“Relik Cahaya akan memperkuat jiwa kalian, namun ingatlah, kekuatannya juga akan menguji hati kalian. Hanya yang memiliki keberanian sejati yang akan mampu bertahan.”
Mereka saling menatap, menyadari betapa besar tantangan di depan mereka. Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara gemuruh kembali terdengar, dan cahaya biru itu menghilang, meninggalkan mereka bertiga dalam ruangan kosong.
Arlen menggenggam reliknya erat, merasa bahwa mereka semakin dekat dengan tujuan, namun ancaman dari Malakar juga semakin nyata.
“Kita harus siap,” bisik Arlen, suaranya penuh tekad. “Ujian ini belum selesai, dan Malakar pasti akan segera mengetahui bahwa kita memiliki Relik Cahaya.”
Finn mengangguk, merasa adrenalin dalam dirinya meningkat. “Kita sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur sekarang.”
Eira menatap reliknya, perasaan bercampur antara takut dan bersemangat. “Kita akan melawan, dan kali ini kita tidak akan kalah.”
Di luar kuil, bayangan besar tampak bergerak mendekat, membawa hawa dingin dan kegelapan yang pekat. Perjalanan mereka baru dimulai, namun bayangan Malakar yang mendekat menjadi pengingat bahwa mereka harus bersiap menghadapi pertempuran terbesar dalam hidup mereka.