Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Orang bilang pengantin baru memang masih hangat-hangatnya dalam bermain ranjang. Tapi Dinar? Jangankan hangat, saat ini ranjangnya selalu dingin karena tidak ada sang suami di sisinya. Dinar begitu merindukan sosok Vano.
Ternyata, jika difikir juga, mereka baru saja menikah, namun Vano harus meninggalkan istrinya karena tuntutan pekerjaan.
Lagi-lagi Dinar terdiam sejenak. Kembali dia mengingat bagaimana hangatnya malam pertama mereka. Vano memujanya, memberikan pengalaman yang tidak wanita itu lupakan.
Sentuhan suaminya membuatnya bahagia, meskipun mereka hanya beberapa kali mengulanginya, dan hal itu bisa dihitung dengan jari.
Setelah mereka menikah, Vano harus dengan berat hati selalu meninggalkan Dinar sendiri. Tidak ingin mengambil hati, Dinar memutuskan untuk menyibukan diri. Dari pada dia harus berurusan dengan rindu yang tidak pernah usai, lebih baik dia melupakan sejenak bayangnya.
Bagaimana-pun, Dinar perempuan normal, setelah menjadi perempuan atau lebih di sebut sekarang wanita seutuhnya, Dinar terbiasa akan sentuhan. Kadang dia juga selalu merindukan sentuhan suaminya. Namun, dia tidak bisa memaksa karena jarak mereka yang sangat jauh.
Wanita itu tersenyum mengingat suaminya. Tanpa sadar beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikannya.
"Neng Dinar, atuh...gelis, kok senyum-senyum sendirian? Lagi bahagia ya?"
Dinar tersadar. Lalu menoleh mendengar suara tegurannya, "Eh Bu... Ada apa Bu? Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh enggak, Neng. Tadi Bu Lastri ngeliat Neng Dinar itu senyum-senyum dari jauh. Niat nyapa, hehe..."
"Iya Bu, lagi bersantai, soalnya kerjaan udah beres semua."
"Suami belum pulang Neng? Kemarin bukannya kabar pulang?"
Dinar menghela napas panjang, "Iya bener bu, tadinya ada kabar kalau Mas Vano mau pulang. Tapi cuaca mendadak buruk katanya, terus awak kapal lain masih kejebak di laut. Makanya saya nunggu untuk kepastian pulangnya kapan, gitu, Bu."
"Loh gitu to, Neng? Ibu paham, Apa lagi Neng Dinar baru aja nikah. Wajar aja lah, kalau biasanya pengantin baru dimanja, ini malah ditinggal sendirian."
"Mau gimana lagi, Bu Lastri. Gimanapun juga saya ngehargai pekerjaan suami. Pekerjaan Mas Vano, memiliki kewajiban yang mengharuskan saya ngorbankan waktu kebersamaan kami. Itu udah resiko ketika saya menerima ajakan Mas Vano untuk Nikah."
Bu Lastri seperti kagum mendengar jawabannya yang dewasa, "Beruntung kali, Nak Vano mendapatkan kamu, selain dewasa pemikirannya juga pengertian."
"Saya juga beruntung menjadi istri Mas Vano. Teringat saya bukan dari kalangan orang berada. Ya cuman gadis biasa dari seorang buruh tani kecil. Tapi Mas Vano, tetap bersikukuh meminang saya tanpa materi yang setara."
Perbincangan ke-dua wanita beda usia itu, menarik perhatian Arin. Dia menjumpai ke-duanya, tersenyum tipis menyapa Bu Lastri.
"Pagi, Bu Lastri."
Bu Lastri menoleh mendapati Arin yang sudah tersenyum hangat "Masih libur kuliahnya?"
"Iya. Lagi liburan semester, Bu. hehe..."
"Pantas aja beberapa kali ini, Bu Lastri liat kamu di rumah, Rin. Lah ya wong ternyata libur to?"
"Iya, Bu. Sekali-sekali, Arin kan biasanya di rumah terus bu, jadi bosen. Sekalian nemenin Mbak Dinar, kalau Mas Vano lagi ngelaut."
"Bagus kalau memang gitu, akur sama Kakak ipar. Yaudah, ibu kalau gitu mau pamit. Tadi niatnya hanya sekedar menyapa, eh malah jadi keterusan."
"Oh iya, Bu." Balas Dinar dengan ramah.
"Mari Neng Dinar, Rin, saya ke depan dulu, mau belanja sayur."
Saling tatap, setelah sepeninggalan Bu Lastri. Dinar lebih dulu membuka suara, "Kenapa Rin?"
Arin meringis, mendekati Dinar. "Mbak, ajarin masak dong Mbak."
"Phept..." Mendengar permintaan Arin sontak Dinar terkekeh. Tiba-tiba saja Arin memintanya untuk mengajarinya memasak? Gadis itu kesambet apa?
...BERSAMBUNG, ...