NovelToon NovelToon
Dr. Brain

Dr. Brain

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi / Horror Thriller-Horror / Kehidupan di Kantor
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Here Line

Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25 : Perbedaan Kecil

Pesawat jet supersonik NIMBIS mendarat dengan halus di atas landasan Bandara Internasional Syamsudin Noor, Kalimantan Selatan. Suara deru mesin mulai mereda seiring dengan laju pesawat ramping itu yang melambat.

Langit siang masih terik. Warna biru langit dan awan-awan putih menyempurnakan keindahan kota kecil yang sibuk ini.

Raisha menyandarkan tubuhnya sejenak pada kursi pesawat, memejamkan mata untuk mengatur napas. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan diskusi dan kecemasan, akhirnya mereka sampai.

Arya menoleh ke arah Raisha, mencoba menangkap raut wajahnya. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.

Raisha membuka matanya dan tersenyum samar.

“Aku hanya butuh beberapa detik untuk mengingatkan diri sendiri kalau ini nyata. Kita jauh-jauh harus ke Kalimantan hanya untuk mendapatkan enam digit angka,”

“Apa boleh buat, tak ada pilihan lain. Semoga saja pesawat ini tidak membawa kita pada tujuan yang sia-sia,”

Pilot dan kopilot mulai menutup panel instrumen di kokpit, memastikan pesawat aman sebelum mereka melangkah keluar dari ruang sempit itu. Salah satu dari mereka, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh wibawa, menghampiri Raisha dan Arya.

“Bu Raisha, Pak Arya,” katanya dengan nada menyesal. “Kami hanya ditugaskan mengantar kalian sampai sini. Maaf, kami tidak bisa menemani lebih jauh.”

Raisha tersenyum kecil, meski hatinya sedikit tenggelam dalam rasa khawatir akan berbagai hal yang menjejali kepalanya.

“Tidak apa-apa, terima kasih sudah membawa kami sejauh ini. Kalian sudah membantu lebih dari cukup.”

“Kalian hati-hati, ya,” ujar sang kopilot, seorang wanita muda dengan suara hangat.

“Tenang saja, kami akan baik-baik saja,” jawab Arya yakin.

Setelah berpamitan, Raisha dan Arya turun dari tangga pesawat. Ransel yang berisi peralatan mereka masing-masing sudah siap di punggung. Raisha mengenakan hoodie pink, celana jeans, dan sepatu kets modis yang tampak sangat nyaman. Arya sendiri tampil dalam setelan rapi dengan kemeja putih dan celana katun, dilengkapi jaket semi-formal yang membuatnya terlihat seperti seorang pebisnis muda. Tepatnya pebisnis muda yang menemani seorang remaja jalan-jalan. Setidaknya, mungkin itu yang ada di pikiran beberapa petugas yang melihat mereka.

Hanggar bandara itu sunyi, hanya sada beberapa petugas saja yang tampak tidak terlalu sibuk dan memperhatikan Arya dan Raisha dari jarak lima puluh meter.

Raisha dan Arya terus berjalan, berusaha tak ambil peduli meski sesekali mereka melirik waspada, mengingat kejadian tadi di Bandara Soekarno Hatta. Namun kecemasan mereka tidak terjadi.

“Kita ke mana sekarang?” bisik Arya sambil menyesuaikan ranselnya.

Raisha mengamati sekeliling, matanya berhenti pada sebuah halte kecil di ujung jalan bandara. “Ke sana. Kita naik bus umum.”

Langkah mereka terasa mantap, meskipun ada sedikit rasa canggung yang menyelinap. Arya menatap Raisha yang berjalan di depannya. Meskipun terlihat santai, ada sesuatu di wajah gadis itu yang menunjukkan kecemasan.

Arya tahu, Raisha sedang memikirkan hal yang sama dengannya: perjalanan ini harus memberikan jawaban. Tidak boleh ada kegagalan. Mereka tidak tahu, berapa galon avtur yang sudah mereka habiskan untuk sampai ke sini. Lebih dari itu, mereka ingat akan perkataan Greg bahwa waktu mereka tidak banyak.

Bus kota yang mereka naiki penuh sesak. Raisha dan Arya berdiri di lorong, berpegangan erat pada gantungan di atas kepala mereka. Aroma keringat bercampur dengan asap knalpot yang samar tercium dari luar jendela.

Kota Banjarmasin yang sibuk mulai terlihat dari kaca buram bus itu. Pasar-pasar tradisional, becak yang mengantri di pinggir jalan, dan orang-orang yang bergegas dengan aktivitas mereka masing-masing.

Raisha tersenyum kecil, mencoba menikmati suasana. “Lama sekali aku tidak melihat tempat seperti ini. Rasanya… berbeda.”

Arya menatapnya, bingung. “Berbeda bagaimana?”

“Entahlah. Mungkin karena Jakarta selalu terlalu sibuk. Di sini, meskipun ramai, terasa lebih hidup.”

Arya mengangguk, meski pikirannya melayang ke tempat tujuan mereka. Rumah nenek Raisha, tempat yang mereka yakini menyimpan rahasia penting, sudah semakin dekat.

Beberapa saat kemudian, bus berhenti di sebuah kawasan pinggiran kota. Raisha mengingatkan Arya untuk segera turun. Jalanan mulai berubah, bangunan-bangunan sederhana berdiri dengan latar belakang hutan hijau yang menjulang di kejauhan.

“Itu dia,” kata Raisha sambil menunjuk sebuah rumah besar dengan pagar kayu yang sudah memudar. Bangunan itu besar, tampak kontras dari bangunan-bangunan lainnya.

Raisha memanggil-manggil neneknya. Tak lama kemudian pintu depan rumah itu terbuka dengan suara berderit. Seorang wanita tua muncul, mengenakan baju kurung tradisional yang sederhana namun bersih. Wajahnya langsung cerah ketika melihat Raisha.

“Raisha!” serunya dengan suara yang sedikit gemetar. “Ya Allah, cucuku! Kamu tidak bilang mau datang.”

Raisha memeluk neneknya erat, menahan air mata yang hampir jatuh. “Raisha mau kasih kejutan, Nek.”

Neneknya kemudian menatap Arya, yang berdiri sedikit canggung di belakang. “Dan ini siapa? Temanmu?”

Raisha tersenyum, lalu menarik Arya mendekat. “Iya, Nek. Ini Arya. Dia teman kerja sekaligus teman perjalanan.”

Arya mengangguk sopan dan menjabat tangan nenek Raisha. “Senang bertemu dengan Anda, Nek.”

Nenek Raisha mengangguk, matanya penuh rasa ingin tahu. Setelah beberapa saat berbasa-basi tentang kabar dan kondisi masing-masing, Raisha mengutarakan maksud kedatangannya.

“Nek, Raisha ke sini untuk melihat buku Kakek yang tadi Raisha tanyakan, yang berjudul The Function of Knowledge for The Brain.”

“Oh, buku itu? Ada, ada. Ayo masuk dulu.”

Raisha dan Arya mengikuti langkah nenek Raisha.

“Kalian, mau makan dulu?” tanya nenek.

Raisha melirik ke arah Arya, dilihatnya Arya memberi isyarat bahwa waktu mereka tidak banyak, lagi pula mereka baru saja makan.

“Tidak Nek, mungkin lain kali, sebenarnya kami tidak punya banyak waktu, kami ada pekerjaan yang harus diselesaikan mengenai buku kakek itu,”

Nenek tampak mengerti. “Begitu ya? Baiklah kalau begitu,”

Mereka dibawa ke sebuah ruangan besar di sisi rumah, perpustakaan pribadi Kakek Raisha. Ruangan itu penuh dengan rak kayu yang tinggi, dipenuhi buku-buku tua. Aroma kertas yang sudah menguning memenuhi udara.

Nenek membuka sebuah lemari kaca dengan hati-hati, mengeluarkan buku yang tampak tua namun masih terawat. “Ini dia.”

Raisha memegang buku itu dengan penuh rasa hormat, membuka halaman pertamanya sambil mengamati teksnya.

“Terima kasih, Nek. Raisha dan Arya akan melihat-lihat ini sebentar.”

Setelah nenek pergi, di meja besar di tengah ruangan, Raisha dan Arya mulai membaca buku itu dengan seksama. Halaman demi halaman mereka telaah, tetapi tidak ada petunjuk yang mereka cari. Tak ada enam digit yang mereka butuhkan, baik tercetak maupun berupa coretan tangan.

“Tidak ada apa-apa,” gumam Raisha kecewa, suaranya hampir bergetar.

Arya mencoba mengambil alih, tetapi hasilnya sama saja. “Kita mungkin melewatkan sesuatu,” katanya, mencoba tetap tenang. Namun, waktu berlalu, dan mereka tetap tidak menemukan apa pun.

Raisha duduk dengan lemas, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Arya berdiri, mulai berjalan mondar-mandir, pikirannya berputar cepat. “Aku harus melihat kalungmu lagi,” katanya tiba-tiba.

Raisha membuka kalungnya dan memberikannya pada Arya. Dengan kaca pembesar, Arya memperhatikan ukiran di kalung itu. Wajahnya berubah serius. “Tunggu, Raisha. Ini tidak benar-benar sama.”

Raisha mendekat, penasaran. “Tidak sama? Apa maksudmu?”

Arya tampak membandingkan tulisan judul buku dengan tulisan yang terukir di kotak metal kalung Raisha. “Judul di buku ini menggunakan huruf kapital di awal tiap kata, kecuali of dan for. Tapi di kalungmu, hanya huruf pertama yang kapital, dan ada titik di akhir.”

The Function of Knowlegde for The Barin [judul buku]

The function of knowledge for the brain. [ukiran di kotak metal kalung]

Raisha memandangi kalungnya dengan bingung. “Apa artinya itu? Bukankah perbedaan seperti itu tidak berarti?”

Mendengar pertanyaan Raisha, Arya menjadi ragu. Di satu sisi dia menduga bahwa perbedaan itu berarti, tapi di sisi lain dia tidak tahu ini bermakna apa.

Arya berpikir keras, pandangannya terfokus pada kalung dan buku itu. Dia merasa bahwa perbedaan kecil itu harus memiliki makna besar. Tapi apa? Mereka sudah terlalu jauh untuk menyerah sekarang.

TBC

Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!