Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 21
"Shanum!"
Ketukan pada pintu mengejutkan aku yang tengah menatap diri di depan cermin mencoba mengenakan kerudung pemberian Kak Dzaky. Buru-buru kulepas dan kulipat asal, kemudian menaruhnya ke dalam laci.
"Iya, Mah." Kutatap pintu di mana Mamah masih menunggu sambil mengetuk, memanggil-manggil namamu. Ada apa?
Aku membuka pintu, mendapati Mamah dengan wajah masamnya. Kutautkan alis melihat sosok di hadapan.
"Kenapa, Mah? Kok, mukanya asem begitu?" tanyaku berniat menggoda, tapi Mamah justru mendengus tak senang semakin membuatku bimbang.
"Tuh ada si Raka, dia maksa pengen ketemu kamu. Mamah bisa apa? Nggak ada Papah, kalo ada dia pasti nggak akan bisa duduk di ruang tamu sekarang," ketus Mamah, jelas ia tak senang dengan kedatangan menantunya itu.
Senyum yang kuukir raib begitu saja, ikut merasa tak senang karena kedatangan laki-laki itu.
"Tapi malas, Mah. Bilang aja Shanum lagi istirahat," rengekku enggan bertemu, lagipula untuk apa dia datang? Apakah mengenai panggilan sidang? Atau peduli pada keadaanku tentang masalah toko.
"Udah kamu temuin sana, jangan lama-lama biar dia cepet pulang juga." Mamah tak mengindahkan rengekanku, berlalu dari depan kamar dan pergi ke kamarnya.
Aku menghela napas, keluar menutup pintu berjalan dengan malas menuruni anak tangga yang sudah mulai terasa sulit. Hati-hati kakiku melangkah, khawatir terpeleset. Raka bangkit ketika aku tiba di lantai satu. Di tangannya memegang sebuah kertas yang aku kenali sebagai surat panggilan sidang.
"Duduk aja, Ka. Kenapa kamu ke sini?" ucapku dingin, seraya mendaratkan bokong di atas sofa.
Ia duduk bersebrangan denganku, matanya menatap begitu dalam tepat di kedua manikku. Helaan napas terdengar kemudian, begitu berat dan penuh beban.
"Kamu beneran mau cerai? Gimana sama anak kita, Sha?" tanyanya dengan nada memelas, terdengar mengiba di telingaku.
Aku tersenyum, menatap perut dan mengusapnya.
"Kamu nggak usah mikirin anak kita, aku yang akan merawatnya sendiri," sahutku tanpa goyah meski kedua manik di depan itu memperlihatkan penderitaan. Tidak! Aku tidak ingin terjerumus ke dalam lembah yang sama.
"Kamu pikirin lagi, Sha. Apa kamu nggak mikirin anak kita nantinya kayak apa? Dia pasti bertanya di mana bapaknya? Kamu nggak mikir ke sana?" ujarnya sambil menatapku lekat-lekat.
Kubuang muka muak mendengar kalimat yang terlontar dari lisannya.
"Apa kamu juga mikirin anak kita waktu kamu memutuskan selingkuh sama mantan kamu itu? Nggak, 'kan? Sekarang, kamu nggak usah mikirin anak ini. Fokus aja sama dia yang kamu bela mati-matian. Kamu cuma mau dia bahagia, 'kan? Bukan kami."
Raka menunduk begitu dalam, dia pikir dengan membawa-bawa anak yang ada di kandungan aku akan berubah pikiran? Itu hanya ada dalam angannya saja. Bagaimana dia melupakan kami ketika bersama Shila, aku tidak akan pernah melupakan itu.
"Maafin aku, Sha. Aku udah nggak pernah berhubungan lagi sama dia. Aku janji, mulai sekarang akan fokus sama kalian. Tolong kamu pikirin lagi keputusan bercerai ini, Shanum. Aku nggak mau pisah sama kamu."
Cih! Itu hanya sebuah kata-kata manis yang mudah saja dia ingkari. Seperti yang sudah-sudah dia pun berjanji akan berubah dan meninggalkan Shila, tapi nyatanya mereka justru semakin dekat dan seolah-olah tak akan terpisahkan.
"Kasihan anak kita nantinya, Sha. Kamu cabut gugatan cerai kamu, ya. Aku pastikan Shila nggak akan pernah ganggu kehidupan kita lagi," lanjutnya masih merayuku dengan kata-kata manis.
Aku mendengus, semakin lama semakin kesal mendengar ocehannya. Kutatap dengan berani wajahnya, ada ribuan luka yang dia tanam di hatiku. Setiap kali melihat wajah itu, setiap itu juga bayangannya bersama Shila selalu melintas. Bagaimana aku bisa hidup di bawah bayang-bayang wanita lain?
"Maaf, Ka. Seperti yang aku bilang tadi malam, keputusan ini udah final. Kamu tenang aja, aku nggak akan menggugat apapun dari kamu. Cukup bercerai aja, setelah itu kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu bisa bebas berduaan sama Shila, mau ngapain aja terserah. Aku nggak akan sakit hati lagi," ucapku tak ingin termakan rayuannya.
"Kalo kamu datang cuma buat itu, percuma ... karena aku nggak akan pernah berubah pikiran," tegasku tak ingin berlama-lama duduk berdua dengannya.
Raka menghela napas, raut wajahnya masih tidak bisa menerima dengan keputusan yang aku ambil. Biar saja, untuk apa bertahan jika hanya menambah luka. Lebih baik berpisah untuk menjaga kesehatan mentalku.
"Ya, kalo itu emang udah jadi keputusan kamu. Kamu harus tahu, Sha, aku akan tetap mempertahankan rumah tangga kita gimanapun caranya."
Silahkan saja, Raka, jika kamu memang bisa melakukannya. Aku juga tidak akan mundur dan akan tetap memilih berpisah darimu.
"Nggak usah repot-repot, Ka. Kamu nggak denger Shila bilang apa di rekaman itu? Dia mau kamu karena kamu harus tanggung jawab terhadap janin yang ada di perutnya. Apa lagi? Dia bisa kayak gitu karena sikap kamu yang berlebihan. Dia nggak mungkin berani sama aku kalo kamu nggak melangkah jauh sama dia, tapi apapun itu sekarang aku nggak peduli."
Kulipat kedua tangan di perut, sakit rasanya bila mengingat itu semua. Garis wajah Raka terlihat mengeras, pandangannya berubah tajam. Perlahan mata itu mulai memerah, dia terlihat marah.
"Baik, kalo itu emang mau kamu. Inget, Sha. Kamu pasti akan menyesal!" ancamnya seraya bangkit dari sofa dan menyalang kepadaku.
"Kita lihat aja, Ka. Siapa yang akan menyesal?" tantangku tanpa gentar.
Raka mendengus, berbalik dan pergi tanpa mengucapkan kata pamit. Dia bahkan memakai mobil pemberian Papah datang ke sini. Biarlah, anggap itu hadiah terakhir dariku untuknya. Aku tidak terlalu membutuhkan itu.
Kuhela napas panjang, begitu rumit masalah yang sedang aku hadapi. Kukira dia datang karena mengkhawatirkan keadaanku. Kupijat pelipis yang terasa berdenyut, setiap kali membahas Shila setiap itu juga aku merasa mual.
Kulabuhkan kepala pada sandaran sofa, terpejam menahan rasa nyeri yang berdenyut. Aku ingin semua ini segera berakhir. Kenapa sampai sejauh ini Raka tidak pernah membahas soal toko? Apa dia benar-benar tidak datang atau sudah tidak peduli lagi? Syukurlah.
"Kenapa, Ndok?" tegur si Mbah yang tak tahu sejak kapan ia sudah duduk di sampingku.
Kubuka mata, menoleh dengan lemah padanya.
"Nggak apa-apa, Mbah. Cuma pusing sedikit aja," jawabku sambil tersenyum. Aku tidak ingin membuat laki-laki renta itu mencemaskan keadaanku.
"Bikin wedang jahe biar enakan. Mungkin kamu masuk angin," sarannya yang aku angguki.
Benar juga, minuman hangat sepertinya akan memberiku sedikit ketenangan. Namun, adzan Maghrib berkumandang mendahului niatku yang hendak membuat wedang. Biarlah selepas sholat nanti aku akan membuatnya, tapi wedang buatan Eyang beda sekali rasanya. Lebih enak dan terasa.