Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Tak Ternilai
"Yogya ... kurang jelaskah, Cantik?" tanya Faaz sekali lagi sembari berlagak menyingkirkan noda di wajah Ganeeta demi bisa mengusapnya.
Faaz berpikir, dengan cara itu Ganeeta akan salah tingkah dan sejenak emosinya akan reda. Namun, alih-alih reda, wanita itu justru menepis kasar tangan Faaz saat itu juga.
"Mas Faaz kok gitu? Kita sepakatnya ke Bali, bukan ke Yogya!!" protes Ganeeta dengan suara yang mulai bergetar.
Faaz menatapnya lekat-lekat, mencoba meluluhkan hati Ganeta yang dia ketahui sangat kecewa. "Mas juga maunya gitu, tapi Papi bilang ke Yogya saja dulu ... sekalian ngenalin kamu sama keluarga di sana."
"Ck, nyebelin banget sih? Ini biki-niku mau diapain kalau bulan madunya di Yogya?" tanya Ganeeta sedikit berbisik dengan gigi bergemelutuk seketika.
"Kan masih tetap bisa pakai depan Mas, Sayang, kenapa harus di Bali? Memangnya mau pamer ke siapa? Hem?"
Ingin Ganeeta melontarkan jawaban yang lebih gila lagi, tapi berhubung masih di tempat umum dan Ganeeta kesal setengah mati, terpaksa memilih diam seribu bahasa.
Sedikit pun Ganeeta tidak menduga bahwa semua akan kacau sedemikian rupa. Padahal, sebelum ini dia sudah gembar-gembor kepada sahabatnya tentang keberangkatan mereka ke Bali.
Bahkan, beberapa detik lalu, Ganeeta membalas pesan Laura yang memastikan dimana keberadaannya. Dan!! Dengan tegas, Ganeeta menjawab bahwa mereka sudah di Bandara.
Tidak hanya teman dekatnya, tapi kemungkinan keluarga besar juga akan tahu tentang rencana bulan madunya di Bali. Mengingat, Ervano turut berkontribusi dengan menyediakan tempat tinggal untuk mereka.
Sekarang, hendak bagaimana? Alangkah malunya andai orang-orang itu tahu bahwa bulan madu yang dia pamerkan hanya sekadar angan.
Mengingat hal itu, suasana hati Ganeeta benar-benar memburuk. Hendak meminta pulang ke rumah juga tidak mungkin karena dia tahu di balik ini ada peran papinya.
Tak ayal, sepanjang perjalanan hingga tiba di Yogya Ganeeta konsisten cemberut sampai Faaz merasa bersalah seketika.
"Net ...."
Ganeeta enggan menjawab, tapi tetap mendongak. "Mana jemputannya?" tanyanya menatap sekeliling.
Raut wajahnya terlihat jelas sangat lelah, dia ingin cepat-cepat tiba di rumah dan tidur jika bisa.
"Ehm karena kita datangnya dadakan, jadi tidak ada jemputan ... kita naik taksi online saja ya?"
"Terserah, naik kerbau kalau ada," jawab Ganeeta sekenanya sembari memalingkan muka.
Sikap kekanak-kanakannya begitu menonjol saat ini, tapi Faaz juga tidak bisa marah. Karena memang wajar Ganeeta murka, siapapun yang berada di posisinya jelas akan melakukan hal sama.
Karena itulah, Faaz masih berusaha untuk bijaksana dalam mengimbangi sikap kekanak-kanakan Ganeeta. Sebagaimana yang dikatakan uminya, salah-satu risiko menikahi bocah tentu sikapnya.
Tak berselang lama, taksi yang tadi Faaz pesan tiba hingga keduanya dapat melanjutkan perjalanan menuju kediaman utama.
Sudah tentu Ganeeta semakin gugup, sepanjang perjalanan dia mere-mas jemari sebagai cara mengendalikan dirinya.
Sebenarnya dia menyukai Yogya, sangat suka. Akan tetapi, yang membuat Ganeeta enggan menginjakkan kaki di tempat ini adalah tujuannya.
Seperti yang pernah dia katakan, Ganeeta memiliki trauma dengan lingkungan pesantren. Dia hanya belum siap dihadapkan dengan keluarga suaminya, itu saja.
"Ya Tuhan, nanti di sana gimana ya?"
"Huft, aku takut ... mana jilbabku cuma ini, pasti jelek banget aku di mata umi."
"Ini semua gara-gara papi, Mas Faaz juga sih tidak punya pendirian ... harusnya kan bisa ambil tindakan, mau-maunya disetir mertua."
Dalam diam, Ganeeta terus berceloteh tentang banyak hal. Tak hanya Faaz, tapi papinya juga ikut kena imbas.
"Memang dasar maut si papi!! Dari sini aku belajar, bahwa mertua adalah maut itu nyata."
"Ganeeta ...."
Bersamaan dengan genggaman tangan yang Ganeeta rasa, suara lembut itu membuyarkan lamunannya.
Perlahan, pandangan Ganeeta beralih pada sang suami di sebelahnya.
"Kamu kenapa? Takut?"
"Tidak, biasa saja tuh," jawab Ganeeta berlagak biasa saja meski jantungnya berdegup tak karu-karuan.
Faaz tahu akan hal itu, sekuat apapun usahanya untuk bersembunyi, bibir pucat dan keringat sebesar biji jagung di kening dan wajahnya sudah menjelaskan apa yang Ganeeta rasa.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Umi bukan mertua kejam."
"Ih, dibilangin aku biasa saja, Mas kenapa jadi mikir aku takut sama Umi segala?" tanyanya menolak sadar bahwa dia memang takut pada mertuanya.
"Masa?"
"Ck, nanya sekali lagi aku tonjok beneran!!" jawabnya sedikit meninggi sampai sopir taksi di depan ikutan terkejut.
.
.
Kesal lantaran dianggap takut pada sang mertua, Ganeeta memperlihatkan kemampuan berkamuflase-nya di hadapan sang mertua pasca menginjakkan kaki di kediaman mewah keluarga Faaz.
Kebetulan sewaktu datang hanya ada Umi Fatimah saja, tentu semakin mudah untuk Ganeeta memaksimalkan sandiwaranya.
Kurang lebih sama seperti sikapnya di Bandara, Ganeeta terlihat Masya Allah dan meneduhkan mata.
"Masya Allah, Umi benar-benar kaget ... Faaz juga tidak kasih kabar kalau mau datang."
"He-he-he, kejutan, Umi, aku yang minta ke sini," aku Ganeeta di hadapan Faaz yang benar-benar tercengang mendengarnya.
"Oh iya? Serius, Nak?"
"Iya, sekalian udah kangen sama Yogya," tambahnya lagi mengada-ada.
Tak ayal, pengakuan Ganeeta membuat mertuanya tambah bahagia. Mereka tidak sempat berbincang lama, mengingat wanita itu sibuk dan ada rencana pengajian bersama ibu-ibu yang lain, Umi Fatimah terpaksa pamit lebih dulu.
Menyisakan mereka berdua saja hingga Faaz mengajak istrinya ke kamar segera. Setelah pintu tertutup, saat itulah Faaz kembali mendapati wajah masam Ganeeta.
Lagi dan lagi penyesalan itu muncul di benaknya. Perlahan, Faaz mendekat dan duduk di sisi sang istri yang sibuk sendiri di ponselnya.
"Maaf kalau Mas bikin kecewa, tapi satu hal yang perlu kamu tahu lambat laun kamu memang akan ikut Mas pulang ... jadi, tidak ada salahnya latihan dari sekarang."
"Hah?" Kening Ganeeta berkerut seketika, ucapan Faaz terdengar mengejutkan di telinganya. "Maksudnya? Kita akan tinggal di Yogya gitu?"
Faaz mengangguk. "Kamu tahu sendiri anak laki-laki Abi cuma satu dan itu Mas," ucap Faaz lagi.
"I-iya aku tahu, tapi kenapa begitu? Kuliahku gimana? Kita tidak pernah bahas ini loh, Mas sebelumnya."
"Nanti, setelah kamu selesai, bukan sekarang."
"Ish, ini pasti Papi lagi yang nyuruh, 'kan?" selidik Ganeeta menatap Faaz penuh curiga.
"Bukan, ini bukan perintah Papi."
"Mana mungkin. Mas kan apa-apa disuruh Papi, nurut banget sama Papi ... dibayar berapa sih?"
Faaz tergelak, kemarahan sang istri agaknya sudah benar-benar mencapai puncak hingga dia melayangkan tuduhan sedemikian rupa.
"Dih, malah ketawa, orang serius."
"Mas juga serius, ini buktinya dinikahin."
"Ck, bukan gitu!! Sekarang jawab aja deh, berapa yang Papi kasih sampai Mas mau disuruh ini itu? Hah?"
Tak segera menjawab, Faaz justru menatap Ganeeta lekat-lekat.
"Hei, aku tanya berapa? Mas sudah kaya, pasti miliaran, 'kan dikasihnya?"
Faaz menggeleng, seolah jawaban itu kurang tepat.
"Triliunan?" terka Ganeeta lagi, dan ya jawaban Faaz masih sama, dia menggelengkan kepala.
"Terus berapa?"
"Tidak ternilai," jawabnya masih terus menatap lekat sang istri.
"Heuh?"
"Iya, Papi memang membayar mahal agar Mas mau melakukan segalanya ... dan bayarannya tidak ternilai. Bahkan, seluruh harta yang papimu punya tidak sebanding nilainya dengan yang Papi berikan, Ganeeta."
"Woah, apa itu?" tanya Ganeeta dengan begitu polosnya hingga membuat Faaz menghela napas panjang. "Sudah jelas bayarannya dia sendiri dan dengan polosnya masih tanya 'woah, apa itu?' ... apa mungkin otaknya memang terlalu sulit mencerna ucapanku?"
.
.
- To Be Continued -
Hai, last eps hari ini ... maaf terlambat, see you esok hari 🫶
sikap wanita itu emang susah ditebak nya... kadang saat lagi ceria tiba-tiba jadi sedih.. tergantung moodnya kek gimana... istighfar ya paaz... sabar ngadepin istrimu itu...