"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
"Riko, kamu sekarang dimana?" tanya Antares pada assistant-nya lewat panggilan ponselnya sambil berjalan menuju lift. "Ya sudah, aku ke sana sekarang."
Setelah turun di lantai dasar, Antares berjalan jenjang keluar dari perusahaannya. Saat dia menuju tempat parkir, dia melihat Aira yang duduk sambil menekan dadanya. Dia segera memutar langkahnya dan berjalan mendekati Aira.
"Kamu kenapa?" tanya Antares sambil menyentuh bahu Aira.
Aira mendongak menatap Antares. Dia hanya terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Antares membungkuk dan mengambil tas Aira tapi di dalam tas itu hanya ada botol obat yang telah kosong. "Kamu belum beli obat?"
Aira hanya menggeleng pelan.
Antares membantu Aira berdiri lalu membantunya berjalan menuju mobilnya. "Aku antar ke apotek atau kamu ke dokter dulu minta resep." Antares membukakan pintu untuk Aira.
Aira tak juga masuk. Sebenarnya dia ingin menolak bantuan itu tapi untuk bicara saja rasanya sangat sulit.
Antares mendorong Aira hingga duduk di kursi depan lalu menutup pintu mobilnya. Kemudian dia segera masuk ke dalam mobilnya dan duduk di kursi mengemudi.
"Kalau kamu tidak menjawab, aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Biar segera ditangani psikiater," kata Antares sambil melajukan mobilnya keluar dari tempat parkir.
"Tidak perlu. Turunkan saya di depan apotek kimia farma. Saya akan menebus obat di sana."
Antares hanya menganggukkan kepalanya. "Aira, yang bisa menyembuhkan mental illness itu hanya diri kamu sendiri. Kamu harus tenang, kalau orang lain tidak bisa membahagiakan kamu, kamu bahagiakan saja diri kamu sendiri."
Aira hanya menundukkan kepalanya sambil memainkan jemarinya. "Saya juga tidak mau seperti ini."
Antares diam beberapa saat. Dia melirik Aira. Mungkin sejak tadi bicaranya keterlaluan. "Maaf," katanya singkat.
Mendengar perkataan itu, seketika Aira menatap Antares. "Maaf buat apa?"
"Aku sudah berkata keterlaluan sama kamu."
"Tidak apa-apa," jawab Aira. Dia mengalihkan pandangannya dari Antares. Entah mengapa tiba-tiba detak jantungnya meningkat, bukan karena panik tapi ada satu hal yang aneh. Bahkan rasa sesak itu perlahan menghilang.
Beberapa saat kemudian, Antares menghentikan mobilnya di depan apotek. Dia mengambil resep obat milik Aira begitu saja. "Kamu tunggu saja di mobil, biar aku yang menebusnya."
"Tapi ...." Aira akan mencegahnya tapi Antares sudah keluar dari mobil dan menutup pintu mobil itu.
Aira memejamkan kedua matanya. Dia masih tidak menyangka, kebetulan terus terjadi di antara dirinya dan Antares. Hingga Antares kembali sambil membawa minuman, barulah Aira membuka kedua matanya.
Antares akan memberikan sebotol obat yang berisi 30 butir itu dia tahan saat Aira akan mengambilnya. "Obat ini aku belikan tapi jangan sampai berkurang."
Aira mengambil dompetnya lalu memberikan beberapa lembar uang pada Antares. "Saya ganti uangnya."
Antares menjauhkan kembali botol obat itu dan mendorong tangan Aira yang mengulurkan uang. "Sudah aku bilang, aku yang bayar. Tapi jika obat ini berkurang 1 tablet saja, kamu bayar seratus ribu."
Aira membulatkan kedua matanya. "Kenapa begitu? Saya beli obat ini karena saya butuh dan itu yang meresepkan juga dokter yang sudah memeriksa kondisi saya."
Antares masih saja menjauhkan botol obat itu meskipun Aira berusaha merebutnya hingga akhirnya Aira terjatuh dalam pelukan Antares. Dia menatap Antares dengan jarak yang sangat dekat. Kedua mata itu terpaut beberapa saat. Tersadar Aira kembali ke tempat duduknya.
Akhirnya Antares memasukkan botol obat itu ke dalam tas Aira. "Peraturan khusus dariku tetap berlaku. Mulai besok sebelum kamu memulai pekerjaan, tunjukkan dulu total obat itu. Denda akan berlaku mulai besok."
"Mengapa harus seperti itu? Yang terpenting saya bisa bekerja dengan baik."
"Karena aku ingin membersihkan catatan kesehatan kamu."
Aira hanya diam sambil mengalihkan pandangannya dari pria yang sekarang mulai melajukan mobilnya itu.
"Kamu suka kucing?" tanya Antares.
"Suka tapi saya tidak punya."
"Aku belikan, saat kamu kesal atau butuh teman curhat, kamu curhat dan peluk kucing itu. Akan efektif untuk menghilangkan stres."
"Pak, tapi ...."
Perkataan Aira terpotong karena Antares memasang headset di telinganya dan menghubungi assistant-nya. "Riko, aku tidak jadi ke tempat kamu. Nanti jam 4, kamu ambil motor dan jaket aku di rumah. Lalu antar ke tempatku. Nanti aku sharelok."
Setelah mendapat jawaban dari Riko, Antares memutuskan panggilan itu.
"Jangan menolak. Aku melakukan ini karena kamu sudah resmi menjadi sekretarisku. Aku tidak mau kamu membuat masalah di kantor. Kamu sudah pernah bekerja di perusahaan besar, jadi kamu pasti tahu bagaimana bekerja di bawah tekanan. Hal yang utama adalah mental. Jika mental health kamu terjaga, pekerjaan itu tidak akan melelahkan."
Aira hanya mengangguk. Ya, anggap saja Antares melakukan itu memang semata-mata agar dia bisa lebih baik bekerja di perusahaannya untuk ke depannya.
Antares menghentikan mobilnya di depan pet shop. Kemudian mereka turun dari mobil dan masuk ke dalam pet shop itu.
Aira tersenyum melihat kucing-kucing yang sangat lucu itu. Dia berhenti di dekat kucing anggora berwarna campuran abu dan putih. "Lucu sekali."
Kucing itu bersuara kecil sambil menyentuh tangan Aira.
"Mau yang ini?" tanya Antares.
Aira menganggukkan kepalanya. "Nanti uangnya potong gaji saya saja."
Antares hanya berdecak. Dia memilih kandang kucing dan semua perlengkapannya. "Total semua itu sekalian lengkapi vaksin untuk kucing ini."
"Baik, Pak."
Antares melipat tangannya sambil melihat Aira yang masih saja mengusap kucing barunya saat akan divaksin.
Setelah selesai membayar, Antares membuka bagasi mobilnya untuk memasukkan kucing dan semua perlengkapannya.
Makanan dan tempatnya, pasir kucing dan tempatnya juga, kandang, shampo, mainan, dan lain-lainnya, semua Antares beli. "Semua ini?" Aira menatap Antares tak percaya.
"Memang kamu pikir merawat kucing itu gak butuh ini semua. Kasih nama Bintang. Jangan sampai mati. Kalau mati, kamu ganti rugi semuanya." Kemudian Antares masuk ke dalam mobilnya.
Aira masih berdiam dan berpikir. Apa dia bisa merawat kucing itu dengan baik?
"Aira, masuk!"
"Iya." Aira masuk ke dalam mobil itu dan beberapa saat kemudian, mobil itu melaju.
"Kita makan dulu, lalu nunggu motorku diantar Riko. Kemudian aku antar pulang."
"Katanya sudah tidak mau jadi pacar pura-pura," gumam Aira.
"Siapa yang bilang mau jadi pacar pura-pura kamu. Bagaimana kalau langsung menikah saja?"
Seketika Aira menatap Antares. Apa dia tidak salah dengar?
rebut hatinya Aira res biar ga ke gaet sama mantan 😁😁