Setelah kejadian kecelakaan kerja di laboratorium miliknya saat sedang meneliti sebuah obat untuk wabah penyakit yang sedang menyerang hampir setengah penduduk bumi, Alena terbangun di suatu tempat yang asing. Segala sesuatunya terlihat kuno menurut dirinya, apalagi peralatan di rumah sakit pernah dia lihat sebelumnya di sebuah museum.
Memiliki nama yang sama, tetapi nasib yang jauh berbeda. Segala ingatan tentang pemilik tubuh masuk begitu saja. Namun jiwa Alena yang lain tidak akan membiarkan dirinya tertindas begitu saja. Ini saatnya menjadi kuat dan membalaskan perlakuan buruk mereka terutama membuat sang suami bertekuk lutut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alena tidak aman di rumah ini!
Althaf hanya menatap nanar tanpa ekspresi wajah Alena yang masih terlelap tidur. Dia tidak merasa bersalah sama sekali telah membuat istri pertamanya itu pingsan. Sekarang dia tengah menunggu kedatangan dokter pribadi untuk memeriksa kondisi Alena yang tengah demam. Entah apa yang dirasakan oleh Althaf, yang jelas dia tidak ingin wanita miliknya itu sakit.
Tok
Tok
Tok
“Tuan Althaf, ini dokter Alex sudah datang,” ucap salah seorang pelayan.
“Masuk.”
Muncullah seorang pria gagah memakai kemeja berwarna biru muda sambil menjinjing tas kerja miliknya. Sudah pasti di dalamnya terdapat alat bantu kerja untuk memeriksa kondisi pasien dan beberapa obat umum untuk pertolongan sementara.
“Apa lagi yang kamu lakukan Al?” tanya Alex dengan ketus.
Meskipun sebagai dokter pribadi Althaf, tapi kejadian ini sudah sering dimana Alena yang ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri.
“Periksa!!” tegas Althaf
Meskipun Alex adalah teman dekat sekaligus sahabatnya tetapi dia paling tidak suka orang lain ikut campur atau mengomentari tentang kehidupannya.
Dengan berdecak Alex memeriksa kondisi Alena yang nampak lemah. Wajahnya yang tirus, bibirnya yang pucat dan lebam berwarna ungu yang terdapat di sisi dahinya selalu membuatnya merasa prihatin dan kasihan. Meskipun tak begitu mengenal dengan baik sosok Alena, tetapi beberapa kali bertemu Alex sudah bisa menyimpulkan jika Alena gadis yang baik.
“Demamnya 39.5 celcius, tekanan darah 85/60, kondisi alat vital semuanya bagus. Istrimu ini sebaiknya dirawat dirumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lemah dan kelelahan. Jika ingin masih melihat Alena hidup sebaiknya turuti anjuran saya,” sahut Alex memberikan gambaran kondisi Alena.
“Apa tidak bisa dirawat di rumah dan diberikan obat penurun panas?”
“Bisa saja, tapi saya tidak yakin Alena bisa istirahat dengan baik. Saya sudah suntikkan obat anti demam dan vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya,” ucap Alex sambil memasukkan stetoskop dan peralatan lainnya ke dalam tas.
Althaf hanya berdiam tanpa ekspresi.
Karena tugasnya sudah selesai, Alex langsung berdiri dan hendak meninggalkan kamar Althaf. Namun ketika di ambang pintu, Alex berbalik.
“Saya harap kamu mengerti Al. Alena tidak aman di rumah ini!”
Tak banyak kata terucap, setelah itu Alex segera pergi menuju rumah sakit. Untuk biaya pemeriksaan tentu akan di berikan tanpa harus diminta.
Althaf tak bergeming, mencerna kalimat terakhir yang diucapkan oleh Alex. Dengan perlahan, Althaf mendekati tubuh Alena yang masih terbaring agar tidak mengganggu istirahatnya. Jemarinya terulur untuk mengusap lembut pipi Alena yang mulus. Wajah Alena dalam tidur terlihat sangat cantik di mata Althaf.
“Tuan, maaf anda harus segera pergi ke kantor karena 30 menit lagi rapat bulanan akan dimulai. Jangan sampai anda terlambat,Tuan.” Tiba-tiba Gilbert masuk ke dalam kamar karena pintunya sudah terbuka.
“Tunggu saya 10 menit lagi. Jangan lupa membawa berkas yang diperlukan, USB ada di laci ketiga di meja kerja,” jawabnya tanpa melihat ke arah Gilbert.
Setelah memandangi wajah Alena cukup lama, sebuah kecupan singkat tepat di bagian dahi Alena yang lebam akibat terbentur ujung kursi. Althaf pun, pergi meninggalkan Alena seorang diri di kamar pribadinya.
⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐
Suasana hening di ruang makan hanya ada Ruby istri ketiga dan Dyah istri kedua Althaf. Mereka menyantap sarapan tanpa kehadiran Althaf yang harus pergi ke kantor. Althaf memang menerapkan aturan keras agar semua istrinya selalu makan bersama tanpa terkecuali. Namun itu hanya berlaku jika Althaf hadir di antara mereka bertiga. Jika Alfa tidak ada tentu Alena akan dijadikan pelayan oleh Ruby dan Dyah, karena menurut kedua isi tersebut Alena tidak selevel dengan mereka yang berasal dari keluarga konglomerat.
Pada satupun pelayan yang berani melaporkan karena beberapa pelayan pun turut merendahkan status Alena di rumah tersebut. Dukungan dari Ruby dan Dyah membuat para pelayan berani kepada Alena dan berbuat semena-mena.
“Kemana Upik abu, jam segini belum muncul? Apa Althaf menghukumnya lagi?” Ruby celingukan mencari keberadaan Alena. Ada sesuatu hal yang ingin dia lakukan kepada istri pertama Althaf.
“Maaf Nyonya Ruby, dia sedang beristirahat di kamar Tuan Althaf. Kabarnya dia sakit karena tadi pagi dokter Alex berkunjung,” terang salah satu pelayan yang berada tak jauh dari meja makan.
“Apa?? Jadi jam segini si Upik abu itu masih tidur nyenyak di kamar Althaf. Enak banget hidupnya. Seperti aku harus berbuat sesuatu!!” geram Ruby mendengar keterangan dari pelayan itu.
“Mohon maaf Nyonya Ruby, tapi sebelum berangkat Tuan berpesan agar tidak ada yang mengganggu Nyonya Alena,” ucap pelayan itu sambil menundukkan kepalanya, dia takut Ruby akan marah-marah seperti biasanya.
“Tidak bisa, peduli setan dengan pesan Althaf. Selama Upik abu itu tinggal di sini akan aku buat hidup serasa di neraka,” sahut Ruby sambil mengepalkan tangannya.
“Kau tidak ikut bersenang-senang,Dyah?” Dyah masih berdiam diri sambil menikmati sarapannya yang belum habis. Biasanya Dyah tak pernah absen turut serta menindas Alena.
“Tidak By, kau tahu sendiri dokter menyuruhku untuk bedrest. Kejadian jatuh kemarin membuat kandunganku sedikit lemah,” jawab Dyah sambil menggelengkan kepalanya.
Kemarin lusa saat Dyah hendak mendorong Alena, karena posisi tubuhnya yang tidak seimbang justru dirinya yang berakhir jatuh di lantai. Untung saja pendarahan tidak fatal dan Alena yang sigap menolong Dyah pada saat itu.
“Ya sudah, aku sendiri yang akan bersenang-senang. Enak saja dia bisa nyenyak tidur di kamar utama, sedangkan aku untuk memasukinya saja dilarang keras oleh Althaf,” sungut Ruby dengan membara.
“Jangan lupa, pelayan sudah memberitahumu untuk jangan ganggu si Upik abu. Jangan sampai Althaf murka kau mengabaikan perintahnya.” Dyah berusaha untuk memperingatkan Ruby, sedikitnya dia memiliki rasa simpati karena pertolongan Alena kemarin.
Ruby seakan tak mendengarkan nasehat Dyah dan justru melambaikan tangannya agar tidak mengkhawatirkan dirinya. Ruby membawa dua pelayan lainnya menuju kamar Althaf di mana Alena sedang beristirahat. Dia sudah memikirkan apa yang akan dilakukannya kepada Alena.
Bbbyyyuuurrrrr
Sebaskom air bekas cucian piring disiramkan ke wajah Alena yang masih tertidur. Alena tentu terkejut dan terbangun saat rasa dingin menyentuh wajah dan tubuh bagian atas. Ruby sama sekali tidak peduli dengan kondisi Alena padahal dia jelas melihat ada infusan yang masuk ke dalam tubuhnya.
“Bangun ja-lang, enak sekali jam segini masih tidur. Apa kamu berpikir bisa berstatus nyonya di rumah ini hah!! Cepat bangun, banyak pekerjaan harus kamu kerjakan,” hardik Ruby sambil menarik rambut Alena.
Tentu rasa sakit luar biasa Alena rasakan di bagian kulit kepalanya. Belum lagi rasa pusing di kepalanya sejak semalam tak kunjung hilang. Alena berusaha mengumpulkan kesadarannya yang belum penuh, jika masih nekat berdiam tentu tindakan Ruby akan semakin lama.
“Aaaahhhkkkk….” pekik Alena kesakitan saat Ruby menarik dengan paksa jarum infus, darah pun mengalir dari bekas tusukan jarum tersebut.
“Apa ini hah, tidak pantas kaum rendahan seperti kamu mendapatkan semacam ini. Dasar lemah. Cepat bangun.” Ruby menarik tangan Alena, hampir saja terjatuh ke depan jika tangannya tak kuatnya menopang tubuhnya.
Dua orang pelayan yang berada di belakang Ruby, terpaksa mengikuti perintah Ruby karena takut akan ancaman dipecat dari pekerjaannya. Mereka pun memegang kedua tangan Alena dan memaksanya agar bergerak.
Mau tidak mau Alena memaksakan tubuhnya untuk berjalan meskipun hanya ada sedikit tenaga. Kondisinya yang masih demam ditambah dengan bajunya yang basah tentu membuat Alena merasa kedinginan.
“Lama!! Bisa cepat ga sih jalannya, sudah kaya keong sawah saja,” umpat Ruby yang jengkel melihat Alena berjalan perlahan.
Kedua pelayan yang membantu memapah Ruby merasa kesulitan.
Ruby yang tidak sabaran akhirnya melepas dengan paksa pelayan yang memegangi kedua tangan Alena. Alena berusaha menopang tubuhnya agar mampu berdiri dengan berpegangan pada pagar besi di lantai dua.
Selangkah demi selangkah Alena menuruni tangga meskipun kepalanya semakin berat dan pandangannya mulai sedikit berbayang. Namun tangannya dengan kuat berpegangan agar tidak terjatuh. Tetapi Ruby melakukan hal yang di luar dugaan.
“Nyonyaaa…”