Yang baik hati boleh follow akun ig di bawah.
ig: by.uas
Tag: comedy, slice of life, sistem, Kaya raya, semi-harem.
Jadwal Update: Random—kalo mau upload aja.
Sypnosis:
Remy Baskara, pemuda sebatang kara tanpa pekerjaan, sudah lelah dengan hidupnya yang hampa. Saat hampir mengakhiri hidupnya, tiba-tiba sebuah suara menggema di kepalanya.
[Sistem "All In One" telah terikat kepada Host...]
Dengan kekuatan misterius yang bisa mengabulkan segala permintaannya, Remy bertekad mengubah nasibnya—membalas semua yang menindasnya dan menikmati hidup yang selama ini hanya ada dalam angannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 - Anak Bos Gangster
Remy meregangkan tubuhnya, "Pulang yuk?" ajaknya kepada teman-temannya.
Semuanya langsung menoleh ke arahnya, ekspresi mereka di bumbui keluhan.
"Nanti aja Rem," kata Raul. "Baru juga jam berapa."
Semua orang setuju dengan perkataan Raul, padahal udah jam 23:59.
"Mau kemana lagi emang?" tanya Remy pelan. Matanya berputar melihat kawan-kawannya.
"Pergi kemana aja," balas Yudha, sambil membalas pesan di ponselnya.
"Gimana kalo ke pantai?" ajak Nika kepada teman-temannya.
Langsung di balas oleh Dina. "Orang gila mana anjir malem-malem ke pantai."
"Yaudah mau kemana emang?" ujar Nika kepada Dina. Jir di balikin dong.
"Eeeee" Dina kebingungan langsung tuh.
Para cewe-cewe mulai berdebat ingin lanjut kemana, sedangkan kubu cowo sedang melihat Yudha yang senyum-senyum ketika bermain ponsel.
Remy melirik ke arah Alfan, memberikan kode untuk mengambil handphone Yudha.
Dalam sekejap, Alfan berhasil mengambil ponsel Yudha.
"HAHAHA." tawanya pecah saat membaca pesan dari Yudha. "'Kondom aku habis sayang, kamu sih kemarin keluarnya sampe dua belas kali'." dia membaca chat itu dengan suara kencang.
Yudha langsung menyiapkan pukulan kepada Alfan, namun Alfan berhasil menghindarinya dan berlari sekencang mungkin.
Kubu laki-laki tertawa lepas melihat kejadian itu, sedangkan kubu perempuan terlihat jijik.
"Jorok banget ya cowo-cowo." ucap Adelia, tangannya menutup mulut.
Cewe-cewe mengangguk setuju, dan Niken hanya tersenyum manis.
Remy memandang Niken yang sedang tersenyum, membuatnya tanpa sadar ikut tersenyum.
[Aku muak]
Merasa di perhatikan, Niken menoleh ke arah Remy.
"Jir noleh," batin Remy terkejut, segera mengalihkan pandangannya dari Niken.
Raul merangkul Remy tiba-tiba, "Karaoke aja yuk." ajaknya.
"Wah, ide bagus tuh tot." ucap Bima dari belakang, "Ayo gas aja."
Mereka berjalan keluar dari tempat futsal menuju parkiran kafe nostalgik. Deket ya jangan lupa.
Saat dalam perjalanan, Remy memperhatikan sekitarnya, dia melihat di kejauhan terdapat seorang perempuan yang tampaknya familiar.
"Itu bukannya Laila ya?" pikirnya, memperhatikan wanita itu.
Terlihat, Laila sedang di kerumuni oleh para pria berbadan besar.
"Eh, gue pulang dulu ya!" seru Remy, segera berlari menuju Laila.
Teman-temannya melihat ke arahnya yang sudah pergi menjauh.
"Buset dah, kebelet berak apa gimana tuh bocah." Bima terkejut dengan kecepatan berlari Remy.
Salah satu dari pria tersebut mencoba memegang lengan Laila, hingga tiba-tiba sebuah bogeman mentah menghancurkan rahangnya.
Pria tersebut terlempar cukup jauh hingga menabrak dinding.
Remy berhadapan dengan Laila, "Lo gak kenapa-napa kan?" tanyanya khawatir.
Laila mengangguk, meski ekspresinya terlihat jelas sedang menahan rasa takutnya.
Remy menoleh ke arah kumpulan pria berotot di sana, matanya menatap sangat tajam.
Dia bergumam pelan. "Kayaknya, gue harus nunjuk kin skill berantem gue semasa SMA nih?"
Dulu Remy jago banget berantem, bahkan jadi abang-abangan nya para jagoan.
Yang mungkin, para 'jagoan' yang dulu nganggep dia abang-abangan nya sekarang udah pada jadi kriminal besar.
Remy meretakkan buku jarinya satu per satu, bunyinya jelas terdengar di tengah malam yang sunyi.
"Gue kasih lo semua kesempatan buat cabut sekarang, sebelum gue bikin salah satu dari lo jadi mural di tembok sana," katanya santai tapi mengancam.
Salah satu pria berbadan besar maju, mengacungkan tinjunya. "Lo siapa, sok jago banget, bocah?"
Remy nyengir tipis. "Yang bakal bikin lo nyesel malam ini."
Pria itu langsung mengayunkan pukulan ke arah Remy, tapi Remy dengan gesit menghindar ke samping.
Sekali gerakan, siku kanan Remy menghantam rahang pria itu dengan keras, membuatnya terhuyung mundur.
Sebelum sempat pulih, Remy menambah tendangan lutut ke perutnya, membuat pria itu tersungkur sambil memegangi perutnya.
"Aduh, gampang amat, serius dikit dong!" ejek Remy sambil memutar pergelangan tangannya.
Dua pria lainnya langsung maju barengan. Yang satu mencoba menghantam Remy dari samping kiri, sementara yang lain menargetkan punggungnya.
Remy melihat keduanya dari sudut matanya, lalu menjatuhkan tubuh ke tanah dengan cepat, berguling ke belakang, dan langsung melompat ke udara.
Tendangan berputarnya tepat mengenai pelipis pria di sebelah kiri, membuatnya jatuh tersungkur dengan suara yang keras.
Pria kedua berhasil menangkap pergelangan tangan Remy saat mendarat.
Tapi bukannya panik, Remy justru menarik lawannya lebih dekat, lalu menghantamkan kepala ke hidung pria itu.
Darah langsung mengucur, dan pria itu melepaskan cengkeramannya sambil mundur terhuyung.
"Yah, nyerah duluan? Udah gitu doang nih?" Remy meremehkan, sambil mengayunkan tinjunya sekali lagi ke wajah pria itu, memastikan dia terkapar.
Sisa tiga pria lainnya mulai ragu-ragu, tapi salah satu dari mereka, yang terlihat seperti pemimpin kelompok, membuka jaket dan memamerkan tato naga di lengan.
"Oke bocah, gue serius sekarang." ancamnya sambil meraih pisau lipat dari saku. "Lo bakal nyesel cari ribut sama gue,"
Remy hanya tertawa kecil. "Wah, sekarang boss-nya nih yang maju. Mantap."
Pria bertato langsung menyerang, mengayunkan pisaunya dengan cepat.
Remy mundur sedikit, menghindari setiap serangan dengan gerakan ringan yang terlihat effortless.
Setelah beberapa detik, Remy menangkap pergelangan tangan pria itu dengan gerakan cepat, memutarnya hingga terdengar bunyi tulang patah. Pisau terlepas dari tangannya.
"Eh, maaf, kekencengan ya?" Remy pura-pura polos sebelum menendang lutut pria itu hingga dia berlutut.
Satu pukulan siku ke belakang kepalanya memastikan pria itu kehilangan kesadaran.
Sisa dua orang yang melihat kejadian itu langsung kabur tanpa pikir panjang, meninggalkan teman-temannya yang sudah terkapar.
Remy menarik napas panjang, melirik tangan kanannya yang sedikit merah karena terlalu banyak mendaratkan pukulan. "Lama gak berantem, ternyata masih lumayan ya."
Dia berbalik ke arah Laila yang masih berdiri kaku, wajahnya setengah terkejut, setengah kagum.
"Lo ngapain di sini sendirian La?" tanyanya tanpa basa-basi.
Laila menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosinya yang masih kacau.
Dia memandang Remy, yang sedang membersihkan tangannya dengan santai seolah habis mukulin nyamuk, bukan manusia.
"Lo ngapain di sini sendirian, La?" ulang Remy, alisnya terangkat.
Laila menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Sebenernya gue gak sendirian, tadi gue dijagain bodyguard. Tapi ya lo liat sendiri kan, bodyguard gue pada di hajar. Mereka kalah duluan sama orang orang itu."
"Bodyguard?" Remy mengerutkan dahi. "Ngapain lo pake bodyguard? Lo siapa emangnya, Putri Kerajaan?"
Laila menatapnya, ragu sejenak. "Gue anaknya Pak Kaladin."
Remy langsung berhenti mengelap tangannya, menatap Laila dengan kaget. "Pak Kaladin? Itu Kaladin? Bos besar itu?"
Laila mengangguk. "Iya, bokap gue. Gue pindah ke kost-an tempat lo tinggal karena gue gak mau jadi titik lemah buat dia. Rival bokap gue tau siapa gue, dan ini buktinya," ucapnya sambil menggerakkan tangan menunjuk ke arah pria-pria yang sekarang terkapar di tanah.
Remy mendengus, menatap pria-pria itu sebentar sebelum kembali memandang Laila. "Pantes aja lo mau tinggal di kost an burik. Tapi kalo lo anaknya Pak Kaladin, kenapa bisa sampe kayak gini? Maksud gue, lo kan harusnya dijagain ketat, kan?"
Laila mendesah, matanya berkaca-kaca tapi dia tahan. "Iya, Rem. Gue dijaga, tapi lo tau sendiri gimana rival bokap gue. Mereka nggak main-main. Bahkan bodyguard yang udah gue pake itu aja nggak cukup. Tadi mereka kalah sebelum gue bisa kabur. Gue kira udah tamat aja hidup gue."
Remy mengangguk pelan, mulai memahami situasi. "Jadi, mereka bawa lo ke sini buat...?" Dia berhenti, enggan menyelesaikan kalimatnya.
Laila memalingkan wajah, jelas nggak nyaman. "Entahlah, Rem. Mau dijadiin sandera atau yang lebih buruk... gue gak tau, dan jujur, gue nggak mau tau."
Remy meretakkan lehernya, kembali melirik ke pria yang tadi mengayunkan pisau. "Yah, untung aja gue lewat, ya. Tapi seriusan, kalo rival bokap lo udah mulai kayak gini, lo gak bisa sendirian, La. Gimana pun juga, lo harus bilang ke bokap lo."
"Gue gak mau jadi beban buat dia!" potong Laila tegas, tapi suaranya sedikit bergetar. "Bokap gue udah punya banyak urusan. Gue gak mau nambah masalah lagi."
Remy menghela napas panjang, nyengir kecil. "Ya kalo lo gak mau jadi beban, minimal jangan bikin diri lo gampang diserang. Serius deh, La, lo pikir ngehindar di tempat kayak kost-an kita aman? Kalo gue aja sampe lewat sini nggak sengaja, gimana kalo nggak ada gue? Lo udah tau endingnya, kan?"
Laila terdiam. Kata-kata Remy tajam, tapi nggak ada yang salah.
Remy melangkah mendekat, menepuk bahunya dengan lembut. "Udah, balik ke kost-an aja ayo. Gue anter. Urusan kayak gini lo harus cerita ke bokap lo. Kalo lo nggak cerita, lo sama aja kasih musuhnya peluang buat nyerang lagi."
Laila memandang Remy dengan mata yang penuh rasa bersyukur. "Makasih ya, Rem. Kalo lo nggak ada tadi..."
"Udah, nggak usah lebay," potong Remy sambil nyengir santai. "Anggep aja gue bodyguard pribadi lo sementara ini. Tapi janji, abis ini, lo kasih tau bokap lo. Deal?"
Laila tersenyum kecil dan mengangguk. "Deal."
Remy mengantarnya ke arah kost dengan santai, tapi di dalam pikirannya, dia tahu masalah ini belum selesai.
Rival Pak Kaladin pasti nggak bakal tinggal diam, dan Remy harus siap kalau kejadian kayak tadi terulang.
"Lindungin anak bos gangster, ya..." gumamnya sambil melirik Laila yang berjalan di sebelahnya. "Lah, gue ngelindungin kriminal dong berarti?"