Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jebakan Masa Lalu
Setelah menyelesaikan belanjaan di bagian makanan segar dan susu, mereka tiba di bagian pakaian bayi. Lily berhenti dan memandang dengan mata berbinar-binar, terpesona oleh baju-baju mungil berwarna pastel. Isaac tersenyum melihatnya, lalu mengajaknya melanjutkan belanja.
Di tengah perbincangan, Lily menyenggol lengan Isaac.
“Kira-kira kalau anak kita laki-laki, kita kasih nama siapa?”
Isaac tersenyum penuh percaya diri. “Emm-” Isaac tampak berpikir keras, memilih nama yang cocok untuk anaknya.
“Kalo Leon gimana? Bagus, kan?”
Lily mendesah dan tersenyum geli. “Leon? Aku malah lebih suka nama yang manis, kayak Caleb atau Noah.”
Isaac menautkan kedua alisnya, lalu menatap Lily tak percaya. “Caleb atau Noah,” ulangnya.
“Iya, kenapa emang?”
“Nama Leon itu kuat, cocok buat anak kita. Bayangin nanti dia jadi sosok yang berani dan tangguh,” jawab Isaac sambil mengambil sekotak yogurt.
Lily terkekeh. “Tapi kalo aku lebih suka nama yang lembut. Caleb punya arti setia, bagus juga buat anak cowok kita nanti, kan?”
Isaac menggeleng, masih dengan pendiriannya. “Tapi Leon keren, dan berarti singa. Aku yakin dia bakal bangga dengan nama itu.”
“Sekalian aja di kasih nama Lion,” protes Lily membuat Isaac tertawa.
Perdebatan kecil tentang nama terus berlanjut, dan tawa mereka bergema pelan di lorong supermarket, menarik beberapa pandangan penasaran dari pengunjung lain.
Meski tak ada yang menyerah soal nama, keduanya merasa senang membicarakan masa depan bayi mereka. Di tengah percakapan, Isaac menggenggam tangan Lily dengan lembut, menatapnya penuh kasih sayang.
“Soal nama, nanti kita pikirkan lagi. Yang jelas, aku mau yang terbaik buat kamu dan anak kita.”
Lily tersenyum lebar, hatinya terasa hangat. "Aku juga. Terima kasih karena menjadi suami dan calon ayah yang perhatian.”
Dengan perasaan bahagia dan trolinya yang penuh dengan bahan-bahan sehat, mereka akhirnya menuju kasir, siap membawa pulang segala persiapan untuk menyambut sang buah hati.
***
Agatha hampir tersedak soda yang sedang diminumnya ketika layar ponselnya menyala, memperlihatkan nama Calvin. Dengan alis terangkat, dia mengangkat teleponnya.
“Agatha, aku di lobi kantormu”, kata Calvin dengan nada santai.
“Hah? Lobi kantor?” tanya Agatha tidak percaya. Pasalnya, ini di siang bolong dan dia tidak ada janji apapun dengan Calvin.
“Cepetan turun, aku sendirian mirip orang ilang,” protes Calvin dengan nada tak sabaran.
Agatha terdiam, lalu dengan rasa penasaran yang menggelitik, dia membereskan mejanya dan segera turun ke lobi. Begitu tiba, dia mendapati Calvin duduk dengan senyum santai, memegang sebuah kotak besar.
“Calvin, kamu ngapain kesini, sih?” tanya Agatha dengan pandangan heran.
Calvin hanya mengangkat kotak di tangannya, memperlihatkan senyum lebar. “Aku bawa makan siang. Makanan sehat!” ujarnya sambil menunjuk kotak makan yang dibawanya dengan penuh penekanan pada kata makanan sehat.
“Kamu kan nggak boleh kebanyakan junk food lagi.”
Mendengar itu, Agatha tersenyum geli. “Oh, jadi kamu sekarang peduli sama asupan makanku?”
Agatha duduk di sampingnya dan mengintip isi kotak yang dibawa Calvin. Di dalamnya, ada salad quinoa dengan potongan alpukat, salmon panggang, sayuran kukus, dan potongan buah-buahan segar.
Calvin membuka kotak tersebut dengan bangga. “Ini sehat semua, liat aja. Ada quinoa, salmon panggang, sayuran segar, buah… khusus buat kamu, yang harus jaga kesehatan.”
Agatha menatapnya, terharu dan sedikit terkejut. “Baik banget, sih, jadi temen,” ujarnya lembut sambil tersenyum tipis.
Keduanya lalu pindah ke taman kecil yang nyaman di lantai dua kantor Agatha, tempat para karyawan biasa menikmati udara segar di sela-sela jam makan siang. Dengan tenang, mereka mulai makan bersama.
Saat menyantap salmon panggangnya, Agatha memandang Calvin. “Gimana kerjaan kamu? Aman?
Calvin menghela napas kecil, menyantap potongan alpukatnya sebelum menjawab. “Mengelola dua restoran emang nggak mudah. Harus terus berinovasi, memastikan semuanya berjalan lancar. Kadang aku sampai bingung sendiri.”
Agatha mengangguk memahami. “Tapi kelihatannya kamu sukses. Dua restoran bukan pencapaian kecil.”
Calvin tersenyum sedikit bangga, lalu tatapannya berubah saat Agatha bertanya, “Ngomong-ngomong, cewek yang sama kamu waktu itu siapa?”
“Yang mana?”
Agatha menelan makanannya, lalu menjawab, “waktu kamu jenguk aku.”
“Oh, itu? Bukan siapa-siapa, kok,” jawab Calvin sambil tersenyum datar.
“Dia teman, nggak lebih. Kenapa? Kamu cemburu ya?” goda Calvin membuat Agatha mendelik dan memukul lengan Calvin dengan sedikit keras.
“Idih, ngapain cemburu sama buaya!”
“Siapa yang buaya?” tanya Calvin sambil mengangkat sebelah aslinya.
“Kamu, lah,” kata Agatha sambil menunjuk Calvin dengan sendok yang dipegangnya.
“Aku nggak gampang jatuh cinta sama orang,” elak Calvin.
Agatha menatap Calvin dengan rasa ingin tahu. “Maksudnya, nggak gampang? Padahal kamu genit kalo ke cewek. Lebih tepatnya gatel kalo ke cewek, sih,” sahut Agatha dengan enteng, membuat Calvin mendengus kesal.
Setelah selesai makan, Calvin membuka suara.
“Dulu pacarku meninggal,” ujarnya dengan mata yang tampak menerawang sejenak.
Agatha terkejut sejenak, namun dia tak bertanya lebih lanjut. Dia lebih memilih Calvin untuk melanjutkan ceritanya.
“Dia meninggal karena kanker,” katanya dengan suara pelan.
Agatha terpaku mendengar cerita itu. “Maaf, aku turut berduka atas apa yang kamu alami.”
Calvin mengangguk lemah, senyum getir menghiasi wajahnya. “Kanker payudara stadium akhir udah nyebar ke tulang, nggak ada yang bisa dilakukan.”
“Sejak dia meninggal, rasanya… susah buat buka hati lagi.”
Agatha tak pernah menyangka bahwa di balik sikap Calvin yang tampak riang dan terkadang genit, ada luka yang begitu dalam. Dia diam, memberikan ruang untuk Calvin melanjutkan cerita.
“Mungkin aku keliatan nggak serius soal hubungan, tapi sebenarnya… aku masih takut. Takut kehilangan lagi.” Mata Calvin terlihat menerawang, namun dia mencoba tersenyum menutupi kesedihannya.
Selain mengantar makan siang, Calvin sebenarnya butuh teman curhat karena dia kembali mengingat sang kekasih, padahal sudah dua tahun berlalu.
Agatha tersenyum lembut, menepuk bahu Calvin dengan pelan. “Kalo kamu udah siap buka hati lagi, aku yakin kamu akan menemukan seseorang yang tepat.”
Calvin menatap Agatha dengan senyum yang lebih hangat. "Mungkin. Atau seenggaknya, aku bisa pelan-pelan mencoba.”
Agatha mulai melihat sisi lain Calvin, yang lebih mendalam dan penuh ketulusan, dan Calvin pun merasa lebih nyaman membuka dirinya di hadapan Agatha.
Agatha dan Calvin seperti terjebak belenggu dimasa lalu. Mereka masih sulit melangkah maju karena tragedi yang menimpa mereka di masa lalu.
“Lucu, ya, kita sama-sama terjebak dimasa lalu,” kata Agatha sambil menatap lurus, ke arah rekan kerja yang tampak asyik bergosip.
“Sama-sama gamon, maksudnya?” tanya Calvin memastikan.
“Idih, bukan gamon,” elak Agatha tidak terima.
“Tapi-” Agatha menghentikan kalimatnya. Dia tidak tahu harus mendeskripsikan masa lalunya seperti apa. Di hati paling dalam, Agatha masih dendam pada mantan kekasihnya itu.
Agatha menggeleng lemah, dia tidak tahu harus mendeskripsikan seperti apa.
kenalin yahhh aku author baru 🥰
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor