Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 21
Nenek Ratih mengikuti menantunya masuk ke dalam ruangan gelap berdebu di lantai dua rumahnya itu, disana ia melihat Sukma yang berusaha membangunkan Dira, cucunya itu sepertinya pingsan. Sukma menangis terisak, memanggil-manggil nama Nadira sambil mengguncang kuat tubuh kecil gadis itu.
Wanita sepuh itu berjalan menyusuri dinding untuk mencari saklar lampu, tapi sayang lampu mati karena ruang itu memang sudah lama tak terpakai. Nenek Ratih lantas mendekati menantu dan cucunya, “kita bawa turun dulu Sukma,” ujarnya.
Sukma hanya diam, wanita itu sadar fisik mereka tak akan mampu membawa tubuh Nadira turun ke lantai dasar seorang diri, dan jika pun menggendongnya bersama ia justru khawatir akan keselamatan ibu mertuanya yang sudah sepuh itu.
“Ibu, tolong jaga Nadira sebentar. Biar Sukma cari bantuan, terlalu sulit bagi kita membawa Nadira lewat tangga sempit ini Bu.”
“Oh, baiklah. Cepat kamu turun,” titahnya. Sukma berlari cepat turun ke lantai dasar, lantas keluar rumah menuju rumah Seno. Saat ini lelaki itulah yang hadir dalam pikirannya.
“Assalamualaikum, mbah… Seno nya ada?” ucapnya tanpa basa basi begitu melihat mbah Sani berdiri di samping gerobak bakso, rupanya wanita itu tengah memesan bakso.
“Waalaikumsalam, ada di dalam Sukma. Ada apa?”
“Makasih, Seno… Seno tolong bantu aku!” ucapnya. Lelaki itu keluar rumah dan sedikit terkejut melihat Sukma berlari tanpa alas kaki dengan mata yang sembab.
“Ada apa Sukma?” Seno yang kebingungan segera memakai sandal dan bersiap mengikuti Sukma kembali ke rumah nenek Ratih, wanita itu memang tak menjelaskan tapi ia sempat menyebut nama Nadira lantas berlari kembali ke rumahnya sendiri. Sementara mbah Sani yang sangat penasaran meminta tukang bakso menunggu sekejap hingga ia memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Seno begitu keduanya masuk ke dalam toko.
“Putriku… dia, pingsan di atas, tolong bantu kami bawa dia turun. Ibu bersamanya sekarang,” ucapnya terbata-bata.
Begitu Sukma berhasil menyelesaikan kalimatnya, Seno segera naik ke lantai dua. Di sana ia melihat nenek Ratih menjaga cucunya seorang diri, “mbah… biar saya bantu bawa Nadira turun, mbah Ratih ikuti saya pelan-pelan ya.”
Nenek Ratih mengangguk, ia membiarkan Seno menggendong cucunya. Setelah itu Sukma datang mendekat, memapahnya turun ke lantai dasar.
Seno meletakkan Nadira di sofa, disusul nenek Ratih yang duduk di sampingnya. Sukma bergegas pergi ke kamar, membawa minyak kayu putih dan juga air putih dalam gelas. Memberikan air pada ibu mertuanya, lantas mendekati putri kecilnya yang terbaring tak sadarkan diri.
“Sukma, cepat kamu buka hijab putrimu. Lantas kendorkan sedikit pakaiannya,” titah nenek Ratih kemudian.
Sukma melaksanakan perintah nenek Ratih, tapi ia terkejut tatkala melihat lebam berwarna biru keunguan memenuhi tangan dan leher Nadira. Begitupun Seno dan nenek Ratih yang merasa heran dengan apa yang terjadi.
“Sebenarnya apa yang terjadi Sukma?” tanya Seno.
“Entahlah, kami baru saja pulang dan menemukan Nadira disana. Ta-tapi ini semua, apa yang terjadi? kenapa tubuhnya seperti ini?” Sukma mencoba melihat bagian kaki dan juga perut putrinya, lebam ditemukan hampir di sekujur tubuh gadis itu. “Siapa yang berbuat seperti ini?!” teriak Sukma frustasi.
Sementara itu, Rendra dan Indra baru saja keluar dari rumah Pak Naim. Keduanya berjalan beriringan di sepanjang jalan menuju rumah Nadira, Indra terus saja menyalahkan temannya yang dianggap tidak peka itu.
“Gimana kalau ada apa-apa sama Nadira Ren, harusnya tadi kita jagain dia dulu sampai ibu dan neneknya datang. Kamu sih pake acara khawatir apa kata orang, emang orang bakal ngomong apa kalau kita nggak aneh-aneh.”
“Bukannya kamu tadi juga setuju, kalau memang kamu punya pikiran begini kenapa tadi hanya diam?”
“A-aku, aku cuma… takut, kejadian bercak darah malam itu masih sangat menggangguku Rendra.” Indra menjelaskan alasannya saat tak sengaja berpapasan dengan mbah Sani di pertigaan samping rumah Nadira.
“Astaga, apa yang sebenarnya terjadi. Merinding sekali aku.” Mbah Sani memeluk dirinya sendiri, berjalan mendekati penjual bakso yang menunggunya sedari tadi.
“Assalamualaikum Mbah,” ucap Indra sopan.
“Waalaikumsalam, hey kalian berdua dari mana dan mau kemana?” Mbah Sani menepuk pelan pundak Indra.
“Baru pulang dari rumah kang Naim Mbah, diutus kyai buat bahas masalah masjid, tapi kita sudah mau pulang ini, sudah malam,” jawab Indra, berharap wanita seumuran nenek Nadira itu tak mengajak mereka berbincang terlalu lama. Sebab mereka tahu nenek tua satu ini kalau sudah bicara sulit sekali untuk dihentikan.
“Tunggu dulu, jangan tergesa-gesa. Tadi kalian kan yang antar Nadira pulang?” tanya mbah Sani, dia memang tak sengaja melihat Nadira datang bersama dua pemuda di depannya itu saat hendak menutup jendela, hari itu mbah Sani memang agak kurang enak badan, ia absen acara yasinan dan memilih istirahat di rumah, sambil menunggu tukang bakso lewat.
Indra mengangguk, melirik Rendra yang hanya diam. Entah kenapa perasaannya jadi tak nyaman melihat mimik muka nenek tua itu. Namun, mereka tak segera bertanya melainkan menunggu mbah Sani melanjutkan ucapannya.
“Tadi apa kalian tahu kalau gadis itu sendirian di rumah?”
Lagi-lagi Indra mengangguk, kali ini bukan hanya hatinya yang gelisah. Rendra disampingnya mulai tak sabar menanti informasi apa yang akan dikatakan mbah Sani pada mereka.
“Kenapa Mbah?” tanya Rendra, pada akhirnya ia yang tak sabar menanti.
“Itu loh, Nadira ditemukan pingsan di lantai dua rumahnya. Dan yang aneh, seluruh tubuhnya besem Le.”
“Besem?” Indra tak memahami maksud kata terakhir yang diucapkan mbah Sani pada mereka, tapi ia terkejut kala Rendra berlari meninggalkannya. Rupanya rekannya itu bergegas masuk ke rumah Nadira lewat pintu samping yang memang masih terbuka.
“Woy, Ren tungguin!” teriaknya yang tak mendapatkan respon sama sekali dari Narendra, Indra pun terpaksa mengikuti temannya itu, bahkan tanpa mendengar penjelasan mbah Sani lagi.
Sedangkan Rendra berhenti tepat di ruang tamu, dengan nafas tersengal ia menyaksikan bagaimana Nadira yang baru dilihatnya beberapa menit lalu sekarang tak sadarkan diri di atas sofa, disampingnya ibu Sukma mengoleskan minyak kayu putih di kening dan leher gadis itu. Sementara nenek Ratih dan Seno duduk di kursi.
“Rendra?” Seno terkejut melihat kedatangan pemuda itu yang tanpa mengucapkan salam, tak seperti biasanya Rendra yang selalu mengutamakan kesopanan, pemuda itu kini terlihat begitu khawatir. Seolah ia tak peduli keberadaan tuan rumah, tatapannya hanya tertuju pada Nadira yang masih tak sadarkan diri.
“A-apa yang terjadi disini, Om?” Rendra mengajukan pertanyaan tapi pandangan matanya tak bergeser sedikitpun. sementara itu Indra masuk setelah mengucap salam, pemuda satu ini lebih terlihat takut-takut, mengangguk sopan dan bergegas menyalami Seno.
“Seperti yang kamu lihat, Nadira ditemukan pingsan di lantai dua toko dengan badan penuh lebam. Oh iya, menurut ibu tadi kalian kan yang antar Nadira pulang?” tanya Seno begitu mengingat informasi yang diberikan mbah Sani tadi.
Namun, belum juga Rendra menjawab Sukma berdiri menghampirinya. Wanita itu tampak begitu putus asa, air mata berurai tanpa henti di kedua pipinya yang bersemu merah. “Rendra, Indra, apa yang terjadi pada putriku. Kalian yang terakhir bersama dia kan?”
Perasaan bersalah bergelayut dalam hati Rendra, kalau tahu akhirnya begini ia pasti akan mempertimbangkan ajakan Nadira untuk mampir. Pertanyaan dari Sukma tak mampu ia jawab, bibirnya terasa kelu, sementara hatinya berderap keras bagai langkah seribu kuda.
Ada perasaan takut menyusup tanpa permisi di dalam sana. Namun, bukan takut pada keluarga Nadira yang mungkin akan menyalahkannya, melainkan takut jika terjadi hal buruk pada gadis kecil yang selama ini selalu mengganggu hari-hari tenangnya itu.
“Rendra, kenapa diam? katakan sesuatu!” Sukma mengguncang tubuh pemuda yang lebih tinggi darinya itu, kalau mau sebenarnya Rendra bisa mengelak, tapi ia justru diam membiarkan ibu Nadira memukul dadanya berulang-ulang.
Kondisi Nadira memang terlihat begitu memprihatinkan, lebam di sekujur tubuhnya yang membuat penampilan gadis itu terlihat menyedihkan. Remuk redam hati Rendra mendengar tangisan Sukma, sementara Indra berusaha melindungi temannya, bergerak maju menghalangi pukulan demi pukulan yang Sukma berikan pada tubuh tegap rekannya itu.
Seno pun turut membantu, ia menarik paksa tubuh Sukma yang terus merangsek maju. Sedangkan nenek Ratih hanya diam menatap tubuh cucunya yang tergolek tak berdaya, wanita penuh misteri itu seolah tengah berperang batin, melawan egonya sendiri.
Disaat semua menjadi kacau, datanglah Wijaya bersama Narso, mereka membawa seseorang yang mungkin bisa membantu. Sesaat setelah kepergian Indra dan Rendra tadi, mbah Sani melihat Wijaya datang bersama temannya.
Wanita tua itu lantas menceritakan apa yang terjadi pada keponakannya. Ia juga melarang Wijaya untuk masuk rumah, dan menyarankan lelaki itu segera pergi ke pesantren untuk menjemput kyai Usman. Hingga berkumpul lah mereka semua di rumah nenek Ratih bersama Kyai Usman malam ini.
“Bude, Mbak Sukma, aku sudah jemput kyai,” ucap Wijaya begitu masuk ke dalam rumah.
Tbc
Haloha yeorobun, sejauh ini gimana nih menurut anda semua kisah Ibu Sukma, Nenek Ratih, Nadira dan Rendra? Kasih penilaiannya dong, syukur-syukur bisa lempar vote dan bintang limanya buat author. Biar makin semangat nih othornya... 🤗🙏