Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
"Aku ingin kamu mengerjai kami bertiga," bisik si pemuda yang membuat Zalina semakin menganga.
"What the hell?!"
Zalina segera berbalik dan melayangkan protes pada pemuda berwajah innocent tadi. "Maaf, tapi aku tidak bisa! Dalam satu sewaan, aku hanya melayani satu orang saja!" desis Zalina sambil bersiap pergi. Apa-apaan ini?! Dia harus segera melayangkan protes pada Miss Helena.
Namun niatnya terhenti karena si pemuda mencekal pergelangan tangan Zalina dengan sangat kuat. Diikuti dengan perkataan yang kembali mencengangkan hati.
"Tapi aku dan kedua temanku sudah membayar tiga kali lipat pada muci karimu. Dan dia setuju. Dia bilang ... kami bebas memakaimu sesuka hati sampai pagi!"
Seolah tersengat aliran listrik, jantung Zalina seakan berhenti berdetak untuk sesaat. "Ss-sampai pa-gi?"
"Ya." Pemuda berambut ikal yang duduk di tepi ranjang menyahuti.
"Jadi ayo kita mulai saja!" seru pemuda berambut gondrong yang sedari tadi memainkan ponselnya.
Zalina mengetatkan rahang. Kedua tangannya mengepal di sisi badan. Rasa sakit menusuk hati. Mengoyak jiwa yang memang sudah terkoyak sejak lama.
Baru kali ini ia merasa sangat terhina melayani pelanggannya. Dirinya benar-benar dijadikan budak s*ks oleh ketiga pemuda yang kini tengah menggerayangi tv bvhnya.
Seluruh tv bvhnya benar-benar dija mah.
"Suck my dick, bitch!" Pemuda gondrong menarik rambut Zalina dan memasukan benda panjangnya ke mulut Zalina.
Di belakang, si pemuda innocent menggempur pintu surga milik Zalina. Sedangkan si pemuda berambut ikal, menyuruh Zalina memainkan benda miliknya dengan tangan.
Peluh, air mata dan air menjijikan keluar bersamaan dari tubuh Zalina. Malam ini, dia merasa seperti seekor binatang.
"HAH?! KAKAAK!" Zeona terengah-engah bangun dari tidurnya. Matanya berair dan jantungnya berdetak kencang tak beraturan.
Mimpi yang dialaminya barusan begitu nyata. Di mana dia melihat Kakaknya sedang dicabik-cabik oleh binatang buas.
Rasa khawatir menyeruak dalam dada. Zeona mengambil ponselnya, berniat menelepon Zalina.
"Jika Kakak tidak meneleponmu, maka kamu jangan coba-coba menelepon Kakak!"
Ponsel berwarna putih itu kembali disimpan oleh Zeona. Dia tak jadi menghubungi Zalina karena teringat pesan dari sang Kakak.
"Tuhan ... tolong lindungi Kakakku," pintanya berderai air mata.
Zeona berusaha memejamkan kembali matanya karena jam dinding di kosannya baru menunjukan pukul tiga dini hari. Setelah mencoba beberapa puluh menit, akhirnya Zeona kembali tertidur.
Berbeda dengan Zalina yang masih membuka mata karena ketiga pemuda yang menyewanya masih anteng mengerjainya.
"Uuggh ... tt-to-long ber-hen-ti! Ak-aku ss-sudah ss-sangat le-lah ..." Zalina tergolek lemah dengan kedua paha yang terbuka lebar.
Si pemuda berwajah innocent masih setia memompa tv bvhnya. Sedangkan yang dua lagi sedang merokok sambil memainkan handphone di tangan.
"Break dulu lah, Jeff! Kasihan tuh lont* pussy-nya pasti lecet," ujar si gondrong seraya membumbungkan asap rokoknya ke udara.
"Ngghh ... nggak bisa, Dion! Gg-gue masih belum puas. Si Elsi udah lama banget nggak ngasih gue jatah. Pasca abor si waktu itu, dia jadi sulit banget diajak nge ue," adu Jeff sambil terus berusaha mencapai puncaknya sendiri tanpa peduli pada rintihan Zalina.
"Dasar mani ak lo!" Si lelaki berambut ikal ikut berkomentar.
"Lo juga sama kali Gio! Buktinya hampir semua murid cewek di kelas kita udah lo ubek-ubek goa surgawinya. Kecuali Si Zeona! Dia licin kayak ikan lele."
Di tengah kesadarannya yang semakin menipis, Zalina tersentak mendengar nama Zeona disebut. Benaknya bertanya-tanya, apakah Zeona yang dibicarakan ketiga pemuda ini adalah Zeona adik kandungnya, atau Zeona yang lain?
"Ougghh bitch! Aku akan segera sampai!" Lahar putih menyebar, masuk ke dalam sesuatu di antara dua paha. Bersamaan dengan itu, Zalina pun hilang kesadaran.
Karena rasa cemas yang menyesakkan dada, pada akhirnya Zeona memberanikan diri menelepon Zalina.
Panggilan terhubung tapi belum mendapat jawaban.
Zalina mengerjapkan mata ketika telinganya menangkap nada dering ponsel miliknya. Dia mengabaikan itu. Seluruh tubuhnya serasa remuk, apalagi bagian di antara dua pahanya. Perih dan ngilu. Dia membiarkan ponselnya menjerit-jerit. Zalina masih butuh waktu untuk memejamkan mata.
"Semoga Kakak baik-baik saja!" Zeona menekan ikon telepon berwarna merah di layar hapenya. Beranjak dari kontrakannya untuk pergi ke sekolah.
Zeona mendudukan tubuhnya di kursi miliknya, keadaan kelas masih lengang seperti biasa karena dia selalu jadi yang pertama datang. Rasa ingin menghubungi Kakaknya muncul lagi. "Aku khawatir banget sama Kakak," keluhnya bersiap menekan nomor Zalina lagi, namun terhenti karena terdengar derap langkah dan kekehan yang semakin lama semakin mendekat.
Ternyata itu berasal dari teman-teman sekelasnya yang mulai berdatangan. Tiga orang lelaki yang terkenal bad boy sekolah muncul. Tertawa dan berceloteh ria. Awalnya Zeona tak terlalu memperhatikan mereka. Namun berbeda, ketika Gio, Jeff dan Dion terbahak tawa seraya menyebut nama 'Zalina'.
"Jeff, kapan-kapan kita sewa lagi tuh Si lont* Zalina. Bukan cuma goya ngannya yang delicious, tapi staminanya tahan lama. Cuma pingsan sepuluh menit, eh dia langsung bangun lagi. Nggak ada matinya tuh tobr*t!" Gio terbahak tawa di akhir ucapannya.
"Tenang Yo, itu bisa diatur. Nanti kita book ing lagi. Gue juga keta gihan sama barangnya. Tight banget anj*y! Beda sama lont*-lont* yang pernah gue pake!" Jeff menimpali ucapan Gio.
"Kita pake bertiga lagi ya! Seru soalnya. Bisa or g as me berjamaah!" Dion ikut berkomentar yang akhirnya mengundang gelak tawa dari kedua temannya.
"Kakak ..." Zeona melirih. Hatinya bagai diiris belati. Dia yakin, jika wanita baya ran yang dibicarakan ketiga teman sekelasnya itu adalah sang Kakak. Beranjak dari duduknya, Zeona buru-buru keluar dari kelas menuju kamar mandi.
Sesampainya di sana, ia lekas mengeluarkan ponsel dari saku celana olahraga. Mendial nomor sang Kakak untuk yang kesekian kalinya.
Di seberang sana, Zalina berdecak kesal karena mendapati nomor Zeona tertera di layar hapenya. Dia baru keluar dari kamar mandi, membersihkan diri. "Untung aku masih di hotel. Kalau sudah di tempat Miss Hel 'kan berabe!" dengusnya seraya mengangkat panggilan tersebut.
[Kakak 'kan sudah bilang padamu, jika Kakak tidak menelepon, maka kamu tidak boleh menelepon Kakak. Ada apa kamu nelepon sepagi ini?]
Meski mendapatkan omelan sebagai pembuka percakapan mereka, tapi Zeona merasakan bahagia karena bisa mendengar suara nyaring Kakaknya. [Aku cemas sama Kakak. Soalnya tadi malam aku mimpi buruk tentang Kakak. Makanya aku melanggar janji dan menelepon Kakak duluan.]
Decakan nyaring keluar dari bibir Zalina. [Kakak baik-baik saja! Jangan mengingkari janji lagi, Zeo. Jangan menelepon Kakak, sebelum Kakak menelepon kamu! Sudah dulu. Kakak harus siap-siap kerja!]
Belum sempat Zeona menyahuti, panggilan itu keburu diakhiri.
"Padahal aku ingin menanyakan apakah Kakak tadi malam mela yani tiga pria sekaligus atau tidak. Huh, malah buru-buru dimatiin!" Zeona mendengus sebal. Dia memasukan kembali ponselnya ke saku celana. Kemudian keluar dari kamar mandi.
_________
"Anjel, Vivi ... kapan kalian berdua akan memberikan cucu kepada Mami? Sudah delapan tahun loh kalian berumah tangga, masa masih betah berdua aja. Mami ingin sekali menimang cucu sebelum Mami pergi dari dunia ini." Gerakan Anjelo yang tengah mengunyah sandwich terhenti seketika karena pertanyaan tersebut. Nafsu makannya langsung menghilang.
Selalu saja setiap menginap di rumah megahnya, sang mertua tak pernah absen menanyakan tentang momongan. Hal itu sedikit banyak membuat Anjelo jengah.
Boro-boro untuk punya anak. Berhubuhngan b a d a n saja jarang. Dia dan Vivian terlalu sibuk mengurusi pekerjaan. Ditambah lagi pernikahan mereka tidak didasari dengan rasa cinta. Hanya untuk keberlangsungan bisnis semata.
"Mi, please deh, nggak usah ngomongin soal itu terus! Aku dan Anjel belum kepikiran ke arah sana. Apalagi tahun ini dan satu tahun ke depan, kami berdua banyak schedule bisnis di luar kota dan luar negeri. So, stop talking about children!" Vivian bangkit, mendorong kursi yang ia duduki, lalu berpamitan pergi setelah mendaratkan ciuman singkat di pipi Anjelo. "Aku berangkat duluan!" ujarnya yang diangguki Anjelo. "Bye, Mi!" Satu kecupan singkat juga didaratkan Vivian di pipi mulus Maminya, Marina.
Beberapa menit setelah kepergian Vivian, Anjelo pun undur diri dari meja makan. "Aku berangkat ke kantor dulu, Mi," pamit Anjelo seraya mencium punggung tangan mertuanya.
"Hati-hati, Jel! Jangan lupa besok malam kamu harus hadir di acara ulang tahunnya Alden! Di hotel Mayapada Hills," beri tahu Marina.
Anjelo mengangguk samar, "Iya, Mi." Lelaki berjas hitam bermata tajam itu melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Terus mengayun langkah keluar menuju mobil RRP-nya yang sudah siap membawanya ke kantor Holland Corporation. Perusahaan turun temurun milik keluarga besarnya yang didirikan oleh almarhum Kakeknya yang kini menjadi milik Anjelo. Karena sang Papa sudah lama meninggal dunia.
"Eric, apakah besok malam saya ada kegiatan?" Lelaki berkemeja biru yang duduk di kursi kemudi menolehkan kepala ke belakang, lalu menggeleng pelan seraya mengeluarkan suara.
"Tidak ada, Tuan! Besok malam anda free."
"Baguslah. Berarti saya tidak perlu mengosongkan jadwal untuk menghadiri acara membosankan itu!" desis Anjelo. "Tolong kamu belikan kado ulang tahun untuk Alden!" sambungnya memerintah.
"Baik Tuan. Tapi kado apa yang harus saya beli untuk Mas Alden?" tanya Eric sambil mengemudikan mobil dengan pelan.
"Belikan saja dia jam rolex keluaran terbaru!"
"Siap Tuan!"
"Ya Tuhan ... aku harus ngasih kado apa sama Alden? Dia 'kan anak orang kaya. Pasti barang-barang yang dia pake harganya selangit. Duh, bingung banget ini!" Sejak pulang sekolah, Zeona terus menscroll-scroll toko online. Mencari kado apa yang pantas ia berikan kepada Alden, cowok tertampan dan terpopuler di sekolah, sekaligus teman sekelasnya. "Baju? Nggak mungkin. Sepatu? Apalagi. Tas? Nggak deh kayaknya. Terus apa dong?" Zeona seperti orang gila. Mengajukan pertanyaan dan dijawab lagi oleh dirinya sendiri.
Gadis berkaos oversize merah marun itu beranjak dari kasur lepek miliknya. Menarik laci meja belajarnya. Dia mengambil sebuah gelang kaukah yang ia beli saat ikut berziarah ke salah satu makam wali bersama guru ngajinya satu bulan yang lalu. "Ini aja kali ya? Terserah deh, mau dipake atau enggak sama Alden. Yang penting aku udah ngasih kado!" Zeona menghembuskan napas pelan sebelum memasukan gelang berwarna cokelat tua itu ke dalam kotak dan membungkusnya.
_________
Tamu-tamu dan keluarga sudah berdatangan. Kue ulang tahun pun sudah dibawa ke hadapan Michael Alden Prawira. Namun pemuda yang malam ini resmi menginjak usia tujuh belas tahun itu enggan untuk meniup lilin.
Matanya masih mengedar, mencari-cari seorang gadis yang ia tunggu kedatangannya dari tadi. Decap lidah terdengar. Alden menggusak rambutnya yang sudah diberi pomade. "Zeo ke mana sih? Masa dia nggak dateng ke ulang tahun aku." Napas kasar berembus dari bibir Alden.
"Happy brithday, My Brother!" Ucapan selamat diberikan Vivian kepada adik kesayangannya berbarengan dengan pelukan hangat dan juga kecupan singkat di pipi. "Nih kado dari Mbak!" Sebuah kotak beludru berwarna biru diberikan Vivian kepada Alden.
"Thank you, Mbak." Kebahagiaan terpancar dari pemuda berjas biru muda itu. Gantian dia yang melayangkan ciuman kecil di pipi Kakaknya.
"Selamat ulang tahun, Al!" Giliran Anjelo yang memberikan selamat dan memberikan kado.
"Makasih, Mas." Alden juga memeluk Kakak iparnya.
"Dari Mami dan Papi kadonya nanti ya, kalau kamu sudah meniup lilin dan potong kue," ujar Marina yang diangguki oleh suaminya, Yudis.
"Ayo tiup lilinnya sekarang, Al!" Vivian berseru seraya mengusap punggung adiknya.
Alden enggan melakukannya, dia masih menunggu kedatangan Zeona. Tapi gadis pujaan hatinya itu belum juga menampakan diri.
"Cepetan, Al! Kamu nungguin siapa lagi sih? Riana? Dia 'kan lagi di Belanda. Udah ih, tuh temen-temen kamu udah pada nungguin. Kasihan tahu!" desak Vivian berceloteh bawel.
"Nggak! Siapa juga yang nungguin Riana. Aku udah nggak ada hubungan apapun sama dia. Aku cuma lagi nunggu--" Perkataan Alden rumpang karena getaran ponsel di saku jasnya. Dia lekas merogoh ponsel iphone miliknya. "Zeona." Jantungnya langsung jedag-jedug tak karuan. "Aku permisi sebentar!" Alden menjauh dari hadapan keluarganya. Ditempelkannya benda pipih itu ke telinga.
[Zeo?]
[Al, aku udah di depan lobi hotel. Tapi nggak bisa masuk, penjaga yang ada di sini melarang aku, soalnya aku nggak bawa surat undangan. Kadonya aku titip--"]
Alden menyela perkataan Zeona. [Tunggu di sana! Aku turun sekarang!]
Panggilan diputus sepihak oleh Alden membuat Zeona tak jadi melanjutkan kalimatnya.
Sementara Alden melesat turun ke lantai satu menggunakan lift.
Zeona berdiri gusar di luar lobi hotel. Gadis berambut hitam sepinggang itu tampak meremat jemari tangannya. Sesekali dia juga meremas dress biru muda sebetis yang dipakainya.
Tak berapa lama, Alden muncul dan langsung menghampiri Zeona. "Ayo masuk!" Dia mengulurkan tangan pada Zeona dan gadis itu menyambutnya dengan ragu-ragu. "Cepetan Zeo! Lilinnya sengaja belum aku tiup karena aku nungguin kamu datang," celotehnya seraya menuntun Zeona masuk ke dalam lift. Sesekali pemuda tampan itu mencuri-curi pandang pada Zeona. Dia selalu terpesona melihat wajah meneduhkan Zeona. Rasa nyaman itu selalu hadir saat dirinya berdekatan dengan teman sebangkunya itu.
"Al!" Lamunan Alden buyar berhamburan karena seruan dari Zeona. Buru-buru Alden menyahutinya.
"Ya, ada apa Ze?"
"Ini kado dari aku. Maaf ya, aku nggak bisa ngasih barang branded dan limited edition. Aku cuma ngasih itu, semoga kamu suka," kata Zeona sembari memberikan kado yang sedari tadi digenggamnya.
Dengan wajah berbinar, Alden menerimanya. Bibir tipisnya langsung menyunggingkan senyum bahagia. "Makasih, Ze. Aku pasti suka, karena ini dari kamu. Pujaan hati aku."
"Eh?"
Makasih udah baca😊