Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdua di Taman
Rasa frustasi masih menyelimuti Richard Loey. Setelah pertemuannya kembali dengan gadis yang masih dicintainya di sebuah toko buku, beberapa waktu lalu. Richard masih tidak percaya jikalau sang kekasih jalan dengan pria lain.
Kekasih? Ya, Richard tak pernah menganggap hubungan mereka kandas, karena bagi dirinya, Soya masih kekasihnya dan akan tetap menjadi kekasihnya. Dikarenakan Soya hanya memutuskan hubungan mereka secara sepihak.
Walaupun sang ibu sudah menceritakan kondisi keluarga mereka dan menentang keras hubungannya dengan bungsu keluarga Dexter. Namun, hal tersebut tidak membuat api tekad seorang Richard padam begitu saja. Ia tetap akan mengejar Soya dan membuat gadis itu kembali jatuh di pelukannya.
“Sophia, lihat saja, aku akan merebutmu kembali, Sayang. Kau masih gadisku, masihlah milikku!" gumam Richard sambil menyeringai, “aku harus mencari tahu tentang pria itu."
Richard langsung menyalakan komputer miliknya dan mencari informasi tentang Kai di sana. Jarinya menari-nari dengan lincah di atas keyboard. Matanya berselancar sejurus dengan mulut yang berkomat-kamit membaca setiap informasi yang terpampang di layar PC.
“Ternyata dia orang kaya, ya. Anak pengusaha ternama Joseph Devinter? Cih! Pantas saja dia berani mendekati gadisku," Richard mendecih saat membaca informasi mengenai Kai.
“Akan tetapi, aku tidak akan kalah darinya, meskipun dia lebih kaya dibandingkan diriku," Richard meyakinkan diri sendiri, kemudian ia melanjutkan menelusuri data diri Kai Devinter.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, dibawah gelapnya langit malam bertabur bintang yang bersinar menghiasi langit malam, dinginnya angin yang bertiup hingga menusuk tulang, tak membuat gadis bermanik bulat itu terusik sama sekali. Gadis itu tetap bergeming dalam dinginnya malam dan riuhnya suasana taman malam itu.
Pikirannya melanglang buana entah ke mana tubuhnya seperti raga tanpa nyawa, pandangan kosong tak ada kehidupan di sana.
“Mengapa aku sangat gelisah malam ini?" tanyanya entah pada siapa. Hembusan angin malam pun tak berniat menjawab. Seolah mereka enggan mendengar curahan hati Soya.
“Apa yang membuat hatimu gelisah?" tanya seseorang menyentak kesadaran Soya. Soya menoleh memandang seseorang yang sedang ia hindari saat ini.
“Pak Kai," beo Soya, “kenapa Bapak ada di sini?"
“Taman ini tempat umum, siapa pun boleh ke mari," Kai menjawab sambil mendudukkan dirinya di bangku yang diduduki oleh Soya seorang diri, gadis itu mendengus dan sedikit bergeser menciptakan jarak dengan pria disebelahnya. “Kau sedang memikirkanku?"
“Cih, percaya diri sekali, Anda?!" Soya mencoba menutupi kegugupannya. Jantungnya sedang senewen sejurus mata elang Kai menatapnya dan bertanya padanya.
“Aku bukannya percaya diri, aku hanya bertanya. Jika tebakanku tidak benar kau bisa menjawabnya, tidak masalah kok. Namanya juga tebak-tebak buah manggis," jawab Kai seringan angin. Soya sendiri tidak habis pikir mengapa gurunya ini punya rasa percaya diri tingkat tinggi.
“Jadi, aku salah, nih. Jangan-jangan kau memikirkan mantanmu itu, ya? Atau kau masih mencintainya?" Kai menebak, dengan mata yang memandang ke arah langit malam.
Soya tidak menjawab, jika ditanya bagaimana perasaannya terhadap Richard? Dia akan menjawab cinta. Namun, cintanya tak sedalam itu. Masih ada keraguan yang bercokol di hatinya meski kata cinta sering terucap.
“Cinta itu memang rumit, tidak dapat didefinisikan dengan kata-kata. Itu menurutku, karena cinta itu sejatinya berurusan dengan hati, bukan dengan mulut," Kai bersuara kembali.
“Jika Anda ada di posisi saya, mana yang akan Anda pilih?" Kai menolehkan kepalanya menatap dalam mata Soya.
“Aku tidak tahu, karena aku belum pernah berada di posisi itu, itu adalah hidupmu dan itu adalah masalahmu. Jadi kau harus menjawabnya sendiri, jangan menyuruh orang lain untuk menjawabnya."
Soya mendengus, dia pikir gurunya ini akan memberikan solusi mengingat pria disampingnya ini lebih dewasa daripada dirinya, pastilah gurunya ini sudah pernah mengalami kisah cinta remaja seperti pada umumnya. Akan tetapi, nyatanya nol besar.
“Ngomong-ngomong aku serius mengatakan itu, jika cinta itu urusannya dengan hati dan logika. Meski terkadang mereka bertentangan, tapi logika itu juga penting dalam cinta," ujar Kai, “Yang harus kau pahami adalah, sebelum dirimu mencintai orang lain, cintailah dirimu sendiri ...."
“... jika dirimu saja tidak mencintai diri sendiri, lalu bagaimana caranya orang lain mencintaimu? Mencintai seseorang itu memang boleh, tetapi jika hatimu terlalu sering disakiti dan terluka, kau bisa melepasnya sebelum ia membuat luka di hatimu semakin dalam. Itu salah satu bentuk mencintai diri sendiri."
Kata-kata yang dilontarkan Kai membuat Soya menjadi tafakur, apakah ini saatnya untuk melepas Richard dan memulai menata hatinya untuk seseorang?
“Jadi, saya harus melepasnya begitu?" tanya Soya lagi.
“Itu terserah dirimu, yang merasakan seberapa besar rasa cinta yang kau dan dia miliki adalah dirimu, yang bisa merasakan disakiti olehnya juga dirimu. Semua pilihan ada di tanganmu, kau tinggal memilih ingin bertahan, atau melepas," jawab Kai lagi.
Soya benar-benar tafakur dengan jawaban Kai. Bagaimana bisa Kai berpandangan seperti itu tentang cinta? Namun, jika dipikir-pikir, apa yang dikatakan Kai itu ada benarnya juga.
“Bapak terlihat pengalaman sekali, apa Bapak pernah mengalami jatuh cinta juga?" sebenarnya Soya hanya berniat basa-basi. Namun, entah kenapa mulutnya lancar sekali bertanya mengenai kisah cinta pria tersebut sebagai topik basa-basi kali ini.
Dalam hati ia merutuki mulutnya yang bisa-bisanya refleks menanyakan hal tersebut. Ia tidak ingin dianggap terlalu kepo dengan kisah cinta sang guru, meski kenyataannya memang demikian.
“Ka ... kalau Bapak keberatan menjawab, tidak perlu dijawab saja, tidak apa-apa, kok. Anggap saja saya tidak pernah bertanya seperti itu," Soya buru-buru meralat ucapannya, sungguh rasa takut mendadak menjalar, merayapi hatinya.
“Saya pernah memiliki seorang kekasih, atau mungkin tunangan. Cinta? Sudah pasti saya mencintai kekasih saya, mungkin ia juga. Kami sama-sama saling mencintai, hingga kami berjanji untuk selalu bersama. Akan tetapi, yang namanya rencana manusia hanyalah sebuah rencana, bukan? Ya, walaupun kami saling mencintai dan berjanji untuk hidup bersama, tetapi dunia seolah tidak merestui hubungan kami," Kai menghela napas dalam, kemudian menghembuskannya lagi. ”Tuhan ... mengambil dirinya terlebih dahulu daripadaku ...."
“... aku merasa hancur dan terluka. Ditinggalkan orang yang kucintai selama-lamanya. Di saat kami sudah berjanji untuk sehidup semati, dia justru meninggalkanku terlebih dulu. Ini bahkan sudah 11 tahun semenjak dia meninggalkanku untuk selama-lamanya. Berat memang. Akan tetapi, ini justru lebih baik, daripada diselingkuhi."
Soya merasa tak enak hati, secara tidak langsung ia menyuruh Kai mengingat kenangan pahit yang mungkin ingin pria itu lupakan, tetapi karena dirinya menyinggung, membuat Kai mau tak mau bercerita tentang kisah cintanya yang rumit karena dipisahkan oleh Yang Maha Kuasa.
“Maaf membuat Bapak mengingat kenangan pahit, saya tidak tahu, kalau kekasih Bapak sudah ...," ucapan Soya terpotong oleh Kai yang langsung menyahut ucapannya.
“Tidak apa-apa. Kau juga berhak tahu," jawab Kai cepat.
“Eh ... saya?" tunjuk Soya pada diri sendiri, lantaran ia merasa aneh dengan jawaban gurunya, memang dirinya orang penting dalam kehidupan gurunya, kah?
“Ha-ha-ha ... Bapak ini ada-ada saja, memang saya ini siapanya, Bapak. Kok saya berhak tahu? Bukannya yang berhak tahu itu kekasih, Bapak ya?" tanya Soya dengan tawa hambar.
Kai menatap Soya sembari tersenyum, “Ya, memang kekasih saya yang berhak tahu masa lalu saya. Kau, kan kekasihku, Viola."
Perkataan Kai berhasil membuat gadis itu terkejut dan seketika itu juga pipinya memerah tanpa disuruh.
Kai yang melihat rona merah di wajah gadisnya hanya melempar senyum. Harus Kai akui, gadisnya ini sangat cantik saat pipinya merona. Warnanya tidak begitu merah, kulit putihnya masih terlihat. Jika seperti ini, Soya mirip sekali dengan buah persik.
Pria itu lantas bergeser mendekati Soya, membunuh jarak yang tercipta hingga tubuhnya begitu menempel pada gadis itu. Kai dengan cepat melepas jaketnya dan mengenakannya pada sang gadis, “Tubuhmu, begitu dingin. Angin malam tak baik untuk kesehatanmu."
Mendapat perlakuan tak biasa dari gurunya membuat Soya tergemap, dirinya mendadak senewen dan detak jantungnya terasa jumpalitan. Tidak sampai di situ saja, Kai bahkan melingkarkan tangannya di pundak Soya, lalu dirinya semakin merapatkan pelukannya.
Seharusnya ... seharusnya gadis itu memberontak seperti biasanya, tetapi entah mengapa tubuhnya seperti ada yang mengendalikannya.
“Jangan biarkan dirimu terkurung terlalu lama dalam kesedihan dan patah hati, itu dapat melemahkan jantung dan daya tahan tubuh, tidak baik untuk kesehatanmu, kau itu masih muda, Soya. Tidak mau, kan jika di usia muda kau memiliki riwayat penyakit yang serius?" Kai bertanya sambil mengeratkan pelukannya, sembari meletakkan kepala Soya untuk bersandar di dadanya.
Soya hanya menggelengkan kepalanya, masih bersandar dengan nyaman.
“Kalau saya sakit, kasihan keluarga saya dong, mereka nanti sedih, karena saya paling disayang oleh Daddy, Mommy, dan Kakak."
“Kalau denganku kasihan tidak?"
“Kenapa, Bapak takut kehilangan saya?"
“Iya aku takut kehilanganmu. Kau adalah detak jantungku, kau adalah separuh napasku, saat pertama bertemu dan menatap matamu, jujur saja, aku lupa cara bernapas, aku merasa gugup. Akan tetapi, sekarang aku tidak merasa gugup lagi, justru aku merasakan debaran lain dalam jantungku. Rasanya jantungku akan meledak seperti popcorn," Kai mulai melancarkan gombalan manis pada muridnya ini.
“Sudah berapa banyak perempuan yang termakan gombalan Bapak?" Soya bertanya, tangan lentiknya masih memainkan jari-jari tangan milik gurunya.
“Hanya satu orang sebelumnya, yaitu kekasihku, kau jadi orang kedua," Kai menjawab dengan jujur.
Di bawah gelapnya langit malam, Kai dan Soya mengobrol ringan ditemani angin sepoi-sepoi yang bertiup membuat anak rambut Soya menari-nari dengan gemulai.
Keheningan menyelimuti mereka berdua, Kai mata elang milik Kai menjeling menatap Soya yang justru jatuh tertidur di pelukan Kai.
Senyum kecil tersemat di wajah tampannya yang dingin, tiba-tiba ....
Cup! Ciuman lembut mendarat di kening mulus Soya.
“Have a nice dream, Princess," bisik Kai kedua tangannya langsung menggendong Soya dan mengantar gadis itu pulang.
typ typ😝
tapi karya ini bagus.. alurnya agak lambat sih mnurutku, tapi ada kejutan di tiap bab nya, jadi mencegah bosan. terutama tokoh wanitanya, digambarkan sebagai wanita kuat, kuat dari semua sudut.