Mentari dijodohkan oleh ayahnya dengan pria lumpuh. ia terpaksa menerimanya karena ekonomi keluarga dan bakti dia kepada orangtuanya.
apa yang terjadi setelah mentari menikah?
apa akan tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya?
apakah mentari bahagia? atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Bisa Berkata-kata
Denok terjengkang kebelakang dan menimpa tubuh Narti, mereka berdua teriak kesakitan. Terutama Narti yang tertimpa tubuh Denok yang cukup berisi.
"Tolong! Aduh, Nok. Cepat bangun, kamu berat!" pekik Narti emosi.
"A___aduhhhh....!" Denok kesakitan, namun ia kesulitan untuk bangun. "Aku juga mau bangun, Mbak. Tapi kakiku sepertinya keseleo , sakit banget. Tolooong!!" pekiknya ikut minta tolong.
"Ya Allah, Denok. Bangun kamu! Berat banget!" Narti mendorong tubuh Denok, namun tubuh adiknya itu tidak bergeser sedikit pun.
"Kalian, kenapa?"
Tanya seseorang yang mengalihkan perhatian Denok dan Narti, mereka berebut menyambut tangan seseorang itu ketika dia mengulurkan tangan. Tak lama setelahnya, kedua kakak beradik itu sudah berdiri meskipun terseok.
"Syukurlah kamu datang, Wi. Kaldu tidak, aku bisa mati tertimpa tubuh, Denok", kata Narti ketus.
"Ya ampun, Mbak. Aku gak sengaja lho. Namanya juga kecelakaan", jawab Denok sambil meringis.
Dewi yang melihat hal itu, menggeleng prihatin. Untung saja ia datang kesini, kalau tidak mana ada orang mau membantu Narti dan Denok. Walaupun banyak orang yang lewat disini, tetap saja tidak ada yang berniat menolong mereka berdua.
"Aku langsung datang kemari, waktu kalian bilang rumah ini sudah ada yang menempati, Mbak. Aku ikut kepo dengan pemiliknya, maksudku .... Gak mungkin rumah ini milik Mentari, kan?" tanya Dewi sangsi. "Aku gak rela banget, jika mereka memiliki rumah lebih mewah ketimbang punya kita, Mbak".
"Halah, mana mungkin. Kalau kata Reza sih, Mentari hanya memanasi Gendis saja. Masuk akal apa yang dikatakan Reza, mana mungkin laki-laki lumpuh dengan orang tua yang bekerja sebagai pembantu dan sopir bisa memberikan mahar sebuah rumah yang mewah seperti ini? Iya kan?" Narti dengan senang membeberkan analisis menantunya itu. "Reza itu kan polisi, loh. Instingnya tajam, mana mungkin salah!" katanya lagi sambil membanggakan profesi menantunya itu.
Denok dan Dewi mengangguk-angguk saja, mereka begitu percaya dengan ucapan kakak kandung nya itu. Karena memang kenyataannya Narti memiliki menantu seorang polisi. Yang banyak orang kira, pandai dalam menganalisis sesuatu. Mereka tidak sadar bahwa menganalisis yang berasal dari hati yang buruk tidaklah akurat, sebab mereka hanya mencari kesalahan bukan kebenaran.
"Wi, motomu mana?" tanya Denok tiba-tiba.
"Ya, dirumah, Mbak Narti lah!" jawab Dewi cepat. "Jadi gimana ini? Kita tidak bisa melihat siapa pemilik rumah ini?" tanyanya lagi.
"Orang kaya kan memang aneh-aneh, Wi. Sukanya misterius dan membuat orang penasaran", cibir Denok sambil kesakitan.
"Jadi gimana ini? Kita pulang saja atau gimana ini?" Dewi menatap Narti dan Denok secara bergantian.
"Duh, rugi banget kalau kita pulang. Kita tidak bisa membuktikan kebohongan Mentari, dong", Narti menyahut cepat.
"Ya terus gimana, Mbak? Mau disini menunggu kayak orang bego? Aku mah O___"
KRIETTTT
Pagar besar yang mengelilingi rumah mewah itu terbuka, seorang satpam keluar dari sana, belum sempat Denok, Dewi dan juga Narti mengintip pagar besar itu, tapi sudah di tutup oleh satpam itu.
"Ibu-ibu ini kenapa ya? Saya dengar dari dalam kalian ribut banget. Ada masalah apa? Hah?", tanya satpam itu dengan wajah sangar.
Dia duduk di pos satpam di sebrang pagar dengan beberapa rekan kerjanya, dari tadi ia mendengar keributan dari luar. Dia berinisiatif untuk keluar melihat ada apa, dan ia menemukan ada tiga orang wanita disana dengan wajah yang mencurigakan.
"Saya tetangga, Pak. Rumah saya ada di sebelah sana", Narti menunjukkan rumahnya tepat di sebelah rumah mewah ini.
"Oh, begitu. Lalu ibu-ibu sekalian mau sekalian, mau apa kesini?" tanya si satpam heran.
"Kita mau lihat-lihat saja, Pak. Mau silaturahmi sama yang punya rumah", kata Dewi dengan semangat. Ia berharap di perbolehkan masuk oleh satpam tersebut.
Dewi dan Denok saling sikut, satpamnya ganteng walaupun kelihatan usianya di atas tiga puluh tahunan, dan jelas kelihatan bukan berasal dari Desa sini. Mungkin saja orang kaya pemilik rumah itu membawa para pekerjanya dari kota.
"Loh, pemilik rumah ini kan berasal dari Desa ini juga , ibu-ibu. Masak kalian tidak tahu sih? Ngapain kalian kenalan?", tanya satpam itu keheranan.
Satpam itu dan rekan-rekannya di pindahkan kerjanya kesini dari rumah utama yang ada di kota, Revan dan Dita menyuruh mereka untuk menjaga rumah Dirga. Tuan muda mereka baru saja menikah dengan gadis Desa sini, seharusnya mana mungkin ketiga orang yang ada disini tidak mengenalnya.
"Hah? O___orang kampung sini?"
"Iya, namanya ___",
KRIETTTT
Sekali lagi pintu pagar itu di terbuka, dan orang yang tidak pernah mereka sangka keluar dengan mengendari sepeda motor matic keluaran terbaru dengan sangat mengkilat.
"Pak, kata Pak Din di suruh bantuin pindahin pot bunga ke taman samping rumah", ujarnya menatap sang satpam.
"Ok, baik Den. Ibu-ibu saya masuk dulu ya". Satpam itu berlari masuk meninggalkan sosok empat orang yang saling pandang satu sama lain.
"Loh, Bulek? Ngapain disini?" tanya sesosok itu dengan keheranan.
"Bara? Ngapain kamu disini?" Narti bertanya dengan nada terkejut.
Bara adalah adik bungsu Mentari, di sangat tampan, dan saat ini baru tamat SMP. Tubuhnya tinggi dan dialah yang sering membantu Mentari dan Bagas untuk mencari uang tambahan. Dia sering ikut memanen sawit para tetangga dan upah seluruhnya akan ia berikan pada Laras.
"Kamu ikut nyari kerja disini?", tanya Denok melotot.
Bara meringis, " Nggak Bik, aku sama Ayah lagi___",
"Heh, kamu itu biasa kerja berat dan kasar. kamu itu tidak pantas kerja disini, nanti takutnya kamu merusak barang-barang mahal yang ada didalam rumah itu!" tukas Denok memotong kalimat Bara.
Bara menelan ludah, kesal juga rasanya karena kata-katanya terus di potong. Umurnya memang baru menginjak lima belas tahun, tapi ia sudah sangat tahu bahwa keluarganya selama ini sering mengalami hinaan dan cacian dari adik-adik Ayahnya itu.
Dulu Denok pernah mencari orang untuk memanen sawitnya, namun sewaktu Bara datang untuk meminta pekerjaan, dia malah di tertawakan oleh Denok. kalau ingat itu, Bara rasanya ingin memakinya.
"Ini lagi, kami pakai motor siapa, hah? Kenapa kamu berani-beraninya pakai motor mahal ini? Kalau rusak nanti bagaimana? Kamu gak bakalan mampu gantinya, Bar. Jangan sok jadi kaya deh, sadar diri!" Dewi melirik kilauan motor yang berwarna silver itu dengan wajah iri.
"Ini motornya Mbak___"
"Apapun alasannya, kamu itu gak berhak memakai sembarangan motor orang. Kalau di suruh-suruh, ya sudah jalan kaki saja", cibir Dewi lagi.
Bara menarik napas panjang. "Dengar ya, Bulek Narti, Bulek Denok, dan Bulek Dewi!", suara Bara terdengar tegas. "Aku disini sama Ayah, Ibu, Mbak Tari, dan Mbak Mira. Kami tidak mencari pekerjaan disini, kami pindahan. Sakali lagi aku bilang PINDAHAN!", Bara menekankan kalimat pindahan.
Narti, Denok, dan Dewi menganga, dan sebelum mereka menyahuti, Bara melanjutkan perkataannya.
"Ini juga bukan motor pinjaman, ya. Ini motor NMAX punya Mbak Mira, di beliin mas Dirga tadi malam dan baru datang tadi pagi. Bagus, ya? Bagus, dong! Motor aku KLX, tapi belum datang karena indent satu Minggu lagi!", Bara menaikkan ujung bibirnya mengejek.
Puas sekali melihat wajah-wajah ayahnya yang cengo seperti kehilangan jiwa, wajah pucat dan keringat dingin. Bara membayangkan wajah mas Dirga nya yang baik sekali padanya, bara jadi senang, ia seperti mendapatkan banyak kekuatan baru.
Bara sebelum pergi dari sana, ia menyempatkan diri kembali berbicara.
"Dan motor ini di beli secara CASH oleh mas Dirga, sama kayak motorku yang belum datang, looooohhhhh! Bye, Buleekk". Bara melajukan motornya meninggalkan Narti, Denok, dan Dewi yang mematung seperti orang bodoh.
"Mbak!!" Dewi menjerit saat melihat Narti pingsan.
...****************...
aku mampir yah, kayanya ceritanya menarik.
sukses selalu