Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 26
Aku mungkin sudah beranjak dewasa, saat ini aku tidak ingin banyak bermain-main dalam segala hal, meski teman-teman di kampus selalu bilang, "tak apa bersenang-senang, kita harus menikmati masa muda." Sayangnya akun tidak bisa terima dengan semboyan itu. Aku tidak mau terlalu nyaman di zona aman, aku harus bergerak lebih cepat dari pada yang orang lain kerjakan. Aku sadar, kesempatan tidak akan datang berkali-kali, itu sebabnya aku tidak boleh menyia-nyiakan setiap peluang yang ada. Sekarang aku sedang berada di kantor ayah, mengamati pekerjaan ayah dan beberapa karyawan yang kudekati dan ditanyai apa yang kerjakan, seberapa lama mereka mengerjakan dan apa target pengerjaan tersebut. Mumpung kuliah sedang libur, itu tidak membuatku lantas bisa santai dan menghabiskan waktu tanpa kejelasan.
Ibu sering memperingati, aku boleh bersemangat dengan semua rutinitas belajar bahkan juga belajar tambahan, tapi jika aku kehilangan masa kesenanganku di usia muda, ibu khawatir aku akan menyesal di masa mendatang dan kelak akan mencari kebahagiaan saat sudah bukan waktunya. Aku menekankan pada ibu bahwa dengan cara gila belajar inilah yang membuatku senang atau pun bahagia. Toh jika jenuh aku masih menghabiskan waktu bermain dengan teman-teman, Lia khususnya.
"Bagaimana, De. Apa yang kamu ambil dari semua pengamatan kamu hari ini?" tanya ayah saat kami istirahat dan makan bersama di kantin.
"Banyak yah, mungkin aku harus mencatat point-nya?" jawabku sambil meletakkan gelas berisi minuman rasa buah.
"Hah, really?" ayah sedikit tercengang.
"Serius," aku tersenyum penuh percaya diri. Ayah tidak terlalu percaya dengan apa yang aku katakan. Aku hampir menyampaikan semuanya hingga sayangnya, handphone-ku berdering.
[Ya?]
[De, Raisa masuk rumah sakit.]
[Hah, kok bisa?]
[Percobaan bunuh diri.] aku lantas menutup telepon dan berpamitan pada ayah untuk segera pergi. Sebelumnya aku mengirim wa pada Denada untuk membagikan lokasi tempat Raisa di rawat.
"Pa, aku harus pergi. Maaf ya, tidak bisa menemani makan siang ayah."
"Hei, mau ke mana?" ayah kebingungan.
"Nanti aku ceritakan," aku mengangkat tas berwarna putih, dengan setelan ala wanita mandiri berwarna biru wardah, celana model cutbray dan juga jas ramping warna senada membuat aku terlihat lebih dewasa dari usianya.
*****
Akun turun dari mobil dan bergegas ke lantai atas mendatangi tempat yang dibagikan Denada lewat Goggle share lock, meski aku dan Raisa bukan lah teman dekat, tapi beberapa Minggu kebersamaan kami membuat aku merasa ia adalah teman yang baik dan sangat peka terhadapku, bicaranya lembut, tidak mencle mencle, humble dan murah senyum, ia seperti tidak memiliki beban dalam hidupnya, lantas kenapa tiba-tiba ingin melakukan pembunuhan atas dirinya sendiri.
"Nad," panggilku pelan sambil melihat ke arah Raisa yang sudah diberikan selang oksigen. Nadia mendatangi lalu memeluk tubuhku sebentar. Orang tua Raisa juga sepertinya sudah ada ditempat menemani.
"Tante, saya Devani, teman Raisa," aku menyalami mereka.
"De, kenapa Raisa, ada masalah apa?" aku terkejut saat mendengar pertanyaan mama Raisa, mana mungkin orang rumah tidak melihat gerak-gerik seorang anak jika mereka merasa tidak aman atau nyaman. Kalau memang benar tidak ada yang mencium masalah Raisa, artinya Raisa mampu menyembunyikan semuanya sendiri.
Aku mengajak Denada keluar, itu setelah orang tua Raisa dipanggil oleh dokter ke ruangannya guna memberi tahukan apa yang terjadi dengan tujuan buh Raisa. Kami berinisiatif untuk duduk di luar kamar, sambil menjaga. Tidak lama, kedua orang tua Raisa keluar dan menangis, mama Raisa juga tergugu bahkan sesenggukan.
"Tante ada apa?" tanyaku mendatangi. Ia perlahan menoleh pada suaminya, sedang Papa Raisa menggeleng seolah memberi kode bahwa ia dilarang memberi tahu. Denada yang mengekor sejak tadi mencolek lenganku untuk tidak memaksa ingin tahu bagaimana kondisi Raisa. Karena sudah tidak mendapat respons yang baik, kami akhirnya pamit untuk pulang dulu dan mungkin akan kembali besok.
Denada tidak membawa mobil,.karena tadi terburu-buru setelah mendapat telepon dari keluarga Raisa, ia naik taksi online.
"Menurutmu, kenapa Raisa ya, kok mama dan papanya langsung aneh gitu?" aku masih bertanya-tanya.
"Mungkin dia punya kelainan yang harus dirahasiakan." jawab Denada menerka.
"Ya kali." aku kurang setuju dengan pendapat Denada yang terlalu menjalur ke luar logika, mengingat Raisa terlihat seperti perempuan pada umumnya tidak ada yang aneh.
*****
Keesokan harinya, gosip tentang Raisa meledak di kampus, bahwa ia melakukan percobaan bunuh diri karena sedang berbadan dua, dan sialnya orang yang menghamili tidak mau bertanggung jawab pada janin yang dikandung. Ini gila, dari mana kabar itu datar dan tersirat, kenapa begitu cepat mengalir ke berbagai telinga. Apakah ini nyata atau fitnah?
"De," Lia datang mengangetkan dari belakang.
"Apa sih Li, kebiasaan bikin orang jantungan." aku sewot.
"Maaf, kamu denger kabar kalau Raisa mau bunuh diri."
"Tau, kan kemarin aku ke rumah sakit jenguk dia."
"Oh, jadi sekarang mau putus hubungan?"
"Maksudnya?"
"Kenapa tidak mengabarkan?"
"Hei nona, aku buru-buru dan panik, mana mungkin ada waktu berkabar."
"Halah, terus gimana kabar dia kemarin?"
"Dia belum sadarkan diri dan tidak bisa diintrogasi."
"Tapi tadi pagi, ada yang bilang katanya dia hamil, cowoknya lepas tanggung jawab, jadi dia depresi."
"Ah yang benar saja?" aku memalingkan tubuh dari hadapan Lia membuat mood Lia yang bagus langsung kacau, ia emosi kenapa aku membelakanginya tanpa pamit. Ia merasa seperti batu.
"Hei ndoro putri kanjeng Diningrat, sopankah begini?" Lia menepuk pundakku kasar membuatku terkejut sambil menahan sakit.
"Ha, ... ha ... ha ..." aku tertawa gurih melihat wajahnya penuh dengan amarah.
Riski tiba-tiba saja lewat, kalau tidak salah dia teman dekat Dewa, pacar Raisa. Aku pernah melihat dia ada di antara Raisa dan Dewa, karena terpikir, aku langsung memanggil dan menghentikan langkahnya.
"Ki,"
"Iya," ia langsung menoleh.
"Kamu sudah dengar kabar tentang Raisa, kan?"
"Sudah!" katanya singkat.
"Kamu tau alasan dia apa?"
"Tau, dia hamil sama Dewa, tapi Dewa tidak mau bertanggung jawab, malah suruh gururin, gila aja."
"Tau dari mana kamu?"
"Pembicaraan mereka. Maaf bukannya aku temen yang cepu ya, aku harus bocorin ini demi keadilan buat Raisa." jelas Riski panjang lebar.
"Kamu bukan lagi ngarang cerita, kan?"
"Ya Tuhan, liat aja. Cepat atau lambat, semua pasti terbukti." Riski kemudian melanjutkan perjalanannya tanpa ingin tahu siapa namaku, padahal kami beda fakultas. Lia segera mendekat setelah mendengar percakapan kami tadi. Ia bengong, tidak percaya bahwa Riski yang terlihat menjadi teman baik bagi Dewa ternyata bisa juga menghindar hanya demi memberikan keadilan bagi Raisa. Salut, di zaman ini masih ada pertemanan laki-laki yang harus hancur karena satu pihak tidak ikut menjadi jahat hanya demi kata solidaritas.