Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Momen yang Tidak Disangka
Pagi itu, Zoe dan Ethan kembali ke rutinitas mereka. Setelah hiking kemarin, Ethan merasa tubuhnya sedikit pegal, sementara Zoe tampak seperti tidak pernah kehabisan energi. Ethan berpikir kalau Zoe mungkin punya baterai cadangan di suatu tempat, karena sepertinya dia tidak pernah kelelahan, apalagi mengeluh.
Hari itu dimulai dengan sarapan di kafe kecil yang terletak di tepi pantai. Zoe yang merekomendasikan tempat itu, katanya terkenal dengan pancake-nya yang lembut dan kopi yang enak. Ethan, yang selalu skeptis dengan rekomendasi Zoe, hanya mengangkat bahu. "Oke, kita lihat apakah pancake-nya beneran enak, atau cuma promosi doang."
Saat mereka sampai di kafe, suasana terasa santai. Kafe itu penuh dengan turis yang menikmati pemandangan laut, dan suara deburan ombak terdengar jelas di latar belakang. Mereka duduk di teras, di mana angin pantai yang sejuk berembus pelan, memberikan kesejukan yang pas.
"Jadi, kamu mau pesan apa?" tanya Zoe sambil membuka menu, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja melihat permen favoritnya.
Ethan memandang menu sejenak. “Kamu tahu, aku nggak terlalu suka makanan manis di pagi hari. Jadi kayaknya aku bakal pesan... toast dan telur aja.”
Zoe menatapnya dengan pandangan tidak percaya. “Toast dan telur? Di kafe yang terkenal dengan pancake? Seriusan, Eth? Kamu terlalu konservatif.”
Ethan tertawa kecil. “Bukan konservatif, Zo. Ini cuma preferensi aja. Lagian, kamu kan tahu, aku nggak suka terlalu bereksperimen soal makanan.”
Zoe mendesah. “Ya udah deh, terserah. Tapi aku pesan pancake spesial mereka. Kalau kamu nggak mau coba, jangan nyesel nanti.”
Mereka memesan makanan, dan seperti biasa, Zoe tak pernah gagal membuat suasana jadi lebih ringan dengan candaan dan cerita-ceritanya yang kocak. Ethan selalu terkejut dengan betapa mudahnya Zoe bisa membuat hal yang sederhana terdengar begitu lucu. Seperti saat dia bercerita tentang pengalaman anehnya di bandara kemarin, ternyata Zoe lupa membawa boarding pass-nya dan harus berlari bolak-balik antara check-in counter dan security check. "Aku merasa kayak atlet lari olimpiade waktu itu," katanya sambil tertawa keras.
Ethan menggelengkan kepala. "Kenapa ya, kamu selalu punya cerita yang aneh-aneh?"
Zoe mengangkat bahu. "Ya, mungkin karena aku selalu ngalamin hal-hal yang... ya, gitu deh. Lucu, aneh, tapi jadi cerita."
Saat makanan mereka datang, Zoe langsung menyerang pancake-nya dengan penuh semangat. “Wow! Ini pancake beneran lembut banget. Kamu harus coba ini, Ethan!” katanya sambil menyodorkan sepotong pancake ke arah Ethan.
Ethan melihat Zoe dengan skeptis. “Ah, nggak usah, Zo. Aku udah nyaman dengan toast dan telurnya. Tapi kalau kamu maksa...”
Zoe menaruh pancake di piring Ethan dengan senyum penuh kemenangan. “Aku tahu kamu nggak bisa nolak.”
Ethan mengambil sedikit pancake itu dengan garpu, mencicipinya. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Oke, aku akui. Ini enak.”
Zoe tersenyum lebar, puas. “See? Aku nggak pernah salah soal makanan.”
Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pantai. Zoe berjalan lebih cepat, berlarian kecil di pasir, sementara Ethan mengikuti di belakang dengan langkah lebih santai. Zoe selalu menjadi pusat dari energi positif, dan Ethan sering kali merasa terbawa oleh semangatnya.
Mereka menemukan sebuah spot di pantai yang agak sepi, di bawah pohon kelapa besar, dan duduk di sana untuk beristirahat. Zoe melepas sandal dan mulai bermain-main dengan pasir di antara jari-jari kakinya, sementara Ethan duduk di sampingnya, menatap lautan dengan pandangan kosong.
Zoe menoleh ke arah Ethan, menyenggolnya dengan siku. “Kamu lagi mikirin apa, Eth? Kok tiba-tiba jadi serius gitu?”
Ethan menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Nggak ada apa-apa sih. Cuma, akhir-akhir ini aku banyak mikir aja. Tentang hidup, tentang apa yang udah kita lewatin. Kayaknya semuanya berubah sejak kita mulai jalan bareng.”
Zoe menaikkan alis, tertarik. “Oh ya? Berubah gimana?”
Ethan menatap Zoe sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Dulu, hidupku tuh monoton banget. Bangun, kerja, tidur, ulang lagi. Tapi sejak kamu masuk ke hidup aku, semuanya jadi lebih… berwarna. Kamu bikin aku belajar buat menikmati hidup, buat nggak selalu terlalu serius.”
Zoe menatap Ethan dengan senyum tipis, tapi kali ini senyumnya lebih lembut. “Aku senang dengarnya, Eth. Aku juga ngerasa hal yang sama. Kamu bikin aku lebih tenang, lebih bisa mikir dengan jernih. Kadang aku terlalu spontan dan sering bikin keputusan bodoh, tapi kamu selalu ada buat ngingetin aku.”
Mereka terdiam sejenak, memandangi laut yang tenang di depan mereka. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka, suasana yang terasa lebih dalam, lebih penuh makna. Tapi seperti biasa, Zoe selalu tahu bagaimana meredakan suasana.
“Tapi Eth, ngomong-ngomong soal keputusan bodoh, aku barusan ingat. Kamu tahu nggak, aku hampir lupa bayar listrik di apartemen minggu lalu,” kata Zoe sambil tertawa kecil.
Ethan menatapnya tak percaya. “Serius, Zo? Lagi-lagi?”
Zoe mengangkat bahu sambil tertawa. “Ya, kamu tahu aku gimana. Untung aja ada reminder di ponselku.”
Mereka berdua tertawa, kembali ke ritme percakapan yang ringan. Tapi Ethan tahu, ada sesuatu yang berbeda hari itu. Hubungan mereka perlahan berkembang ke arah yang lebih dari sekadar pertemanan. Mungkin mereka belum siap mengakui hal itu sepenuhnya, tapi Ethan bisa merasakan ada perasaan yang mulai tumbuh, meskipun mereka berdua belum sepenuhnya menyadarinya.
Setelah beberapa jam berjemur di pantai, mereka memutuskan untuk kembali ke vila. Perjalanan pulang terasa lebih lambat, mungkin karena mereka berdua enggan meninggalkan ketenangan yang mereka rasakan hari itu. Zoe duduk di kursi penumpang, memainkan radio sambil bernyanyi-nyanyi kecil, sementara Ethan fokus pada jalan di depan.
“Hey, Ethan…” Zoe tiba-tiba memanggil, suaranya terdengar lembut.
Ethan menoleh sedikit. “Ya?”
Zoe tersenyum pelan. “Thanks, ya. Buat semuanya.”
Ethan mengerutkan dahi. “Maksudmu?”
“Ya, karena selalu ada buat aku. Kamu tahu, nggak semua orang bisa nerima aku yang kayak gini spontan, sedikit berantakan, dan sering bikin masalah. Tapi kamu selalu sabar, selalu ada buat bantuin aku.”
Ethan tersenyum. “Kamu nggak perlu berterima kasih, Zo. Aku senang bisa ada buat kamu. Lagian, kamu juga banyak ngebantu aku dalam hal-hal yang nggak pernah aku pikirin sebelumnya.”
Zoe menatap Ethan dengan penuh rasa syukur. “Kamu tahu nggak, Eth? Aku pikir… aku bakal kehilangan banyak momen indah kalau nggak ketemu kamu.”
Ethan hanya tersenyum dan melanjutkan perjalanan, sementara di dalam hatinya, dia merasakan kehangatan yang perlahan menyebar. Hari itu, meskipun penuh dengan canda tawa seperti biasa, terasa berbeda. Ada perasaan baru yang tumbuh, perasaan yang mungkin akan mengubah segalanya di antara mereka.
Dan mungkin, itu baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar.